Nasional

Intoleransi Awal dari Tindakan Radikalisme, Kemudian Terorisme

Jumat, 28 Februari 2020 | 19:14 WIB

Intoleransi Awal dari Tindakan Radikalisme, Kemudian Terorisme

Suasana Talkshow Peci dan Kopi yang diselenggarakan 164 Channel di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (28/2). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Salah satu akibat paling nyata dari intoleransi adalah merenggangnya keharmonisan dalam masyarakat yang pada akhirnya dapat menciptakan persoalan serius dalam perdamaian antarumat beragama di Indonesia.

Untuk mengurai secara lebih luas persoalan intoleransi, LTN PBNU melalui 164 Channel membahasnya lewat Talkshow Peci dan Kopi yang diselenggarakan di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (28/2).

Talkshow yang mengusung tema "Intoleransi dan Tantangan Kebinekaan" ini menghadirkan sejumlah narasumber. Mereka ialah Staf Khusus Wapres RI H Masduki Baidlowi, Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia M Najih Ar-Romadhoni, Eks Jamaah Islamiyah Ali Imron, Kepala Bidang Intelijen Densus 88 Kombes Ibnu Suhendra, dan Peneliti senior dari Wahid Foundation Alamsyah M. Djafar.

Dalam pengantaranya, Masduki Baidlowi menyatakan bahwa tema yang disusung pada diskusi ini penting karena tengah menjadi perbincangan hangat di mana-mana.

Menurut Masduki, intoleransi menjadi tantangan semua pihak karena tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara luar, baik negara berkembang maupun negara maju seperti Amerika Serikat. Sebagai negara yang dikenal kampiun demokrasi, Amerika Serikat melalui supremasi kulit putih telah merendahkan kulit hitam atau yang lainnya.

"Amerika Serikat kita sekarang juga sedang sedih kalau kita melihat demokrasi di sana. Trump itu adalah orang yang menjadikan dirinya sebagai presiden yang pertama kali menggunakan senjata-senjata SARA, senjata-senjata rasis, yang disebut dengan white supremasi. Jadi orang kulit putih itu adalah supreme, yang utama. Jadi orang yang lain itu kelas kere. Obama, orang kulit hitam itu kelas kere," terang Masduki.

Alamsyah M Dja'far memaparkan hubungan antara intoleransi dan radikalisme. Alamasyah menyatakan bahwa para ahli secara umum mengansumsikan bahwa intoleransi merupakan tahap awal atau dasar sebelum melakukakan tindakan radikalisme, dan kemudian terorisme.

"Sehingga sebagian orang kemudian mengatakan ini proses yang linear. Intoleran dulu baru mengalami radikalisasi, lalu melakukan tindakan kekerasan, bahkan dalam bentuk terorisme," kata Alamsyah.

Namun, katanya, belakangan yang paling rasional adalah orang yang intoleran tidak selalu menjadi radikal, tetapi hampir pada umumnya, orang-orang yang radikal, termasuk orang-orang yang melakukan tindakan terorisme itu berasal dari sikap intoleran dalam pengertian tidak suka atau tidak menghargai, bahkan membenci kelompok-kelompok yang lain.

Kepala Bidang Intelijen Densus 88 Kombes Ibnu Suhendra juga menyatakan bahwa intoleransi merupakan embrio dari radikalisme, dan radikalisme adalah embrio dari terorisme. Radikalisme terjadi tidak hanya di satu agama, tetapi juga pada agama-agama lain.

"Semua ada (penganut agama yang) pemahamannya radikal," kata Ibnu.

Dampak dari pemahaman keagamaan yang radikal, katanya, menciptakan aksi teror di berbagai tempat, seperti penganut agama Katolik yang melakukan pengeboman kantor FBI di Amerika Serikat dan penganut agama Hindu yang membunuh Presiden Rajiv Gandhi.

Sementara M Najih Ar-Romadhoni mengatakan bahwa persoalan intoleransi sangat mencemaskan dan meresahkan. Najih menyebut bahwa keberadaan intoleransi sangat membahayakan kehidupan keberagaman di Indonesia.

"Intoleransi ini kalau kita menyadari bahayanya, sebetulnya menurut saya lebih berbahaya, bahkan lebih (berbahaya) dari terorisme karena apa? Karena negara kita ini memang didirikan di atas asas kebhinekaan, dan intoleransi itu menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara kita, sendi-sendi kehidupan berbangsa kita," kata Najih.

Pewarta: Husni Sahal
Editor: Abdullah Alawi