Nasional

Keuangan dan Kekayaan NU Jadi Bahasan dalam Komisi Organisasi Muktamar

Senin, 13 Desember 2021 | 20:50 WIB

Keuangan dan Kekayaan NU Jadi Bahasan dalam Komisi Organisasi Muktamar

Ketua Komisi Organisasi Muktamar ke-34 NU H Andi Najmi Fuaidi . (Foto: NU Online:Ontiwus)

Jakarta, NU Online
Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akan diselenggarakan di Provinsi Lampung, pada 23-25 Desember 2021. Sekitar satu pekan lagi, forum permusyawaratan tertinggi NU itu akan digelar. Berbagai materi telah disiapkan untuk dibahas di muktamar mendatang.


Tema Muktamar Ke-34 NU adalah Satu Abad NU: Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Peradaban Dunia. Dari tema itu, komisi organisasi akan membahas atau mengkaji ulang beberapa pasal yang terdapat dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) NU yang berhubungan dengan kemandirian. Komisi organisasi juga akan melakukan revisi beberapa pasal yang terdapat di dalam ART NU Bab XXIV tentang Keuangan dan Kekayaan NU.


Ketua Komisi Organisasi Muktamar ke-34 NU H Andi Najmi Fuaidi mengatakan, pihaknya akan membahas soal perangkat organisasi yang di dalamnya terdapat badan khusus yang berorientasi pada keuntungan, baik secara materi maupun sosial.


“Misalnya soal perangkat organisasi yang di dalamnya ada badan khusus. Badan khusus ini adalah sebuah badan yang berorientasi pada keuntungan, baik profit yang bersifat materi maupun sosial. Itu letaknya ada di badan khusus,” jelas Andi dalam konferensi pers di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Senin (13/12/2021).


Ia menjelaskan, perangkat organisasi memiliki konsekuensi sebagai anggota pleno sehingga tidak akan fleksibel ketika diperuntukkan menjadi ‘kamar’ yang berorientasi pada profit atau keuntungan. Ke depan, akan dikeluarkan sebuah badan khusus dari perangkat organisasi itu.


Badan khusus tersebut akan mewadahi semua usaha-usaha yang dimiliki NU, baik di sektor ekonomi maupun sosial yang memberikan keuntungan tertentu. Badan khusus ini bukan anggota pleno sehingga tidak memiliki struktur ke bawah. Meski begitu, badan khusus bisa membuka perwakilan di daerah.


“Badan khusus ini ada di pusat, bisa mendirikan perwakilan di daerah, dan bukan anggota pleno,” terang Andi.


Perangkat organisasi adalah badan otonom dan lembaga, sedangkan fungsi badan khusus yang berorientasi pada keuntungan itu berbeda dengan kedua perangkat itu. Ia menjelaskan, lembaga di lingkungan NU bertugas menjalankan program-program NU. Sementara badan otonom berbasis kekhususan tertentu yang menjalankan struktural ke bawah.


“Itu disebut perangkat organisasi. Keduanya disebut anggota pleno, bisa terlibat di dalam rapat-rapat NU, dan memiliki hak sama dengan pengurus NU yang lain,” terang Andi.


Menurutnya, saat badan khusus itu dikeluarkan maka akan mampu mendongkrak seluruh usaha NU yang memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini akan berhubungan langsung dengan perubahan-perubahan di dalam pasal 96, Bab XXIV tentang keuangan dan kekayaan NU.


Di dalam pasal 96 itu, disebutkan bahwa NU memiliki empat sumber keuangan. Ke empat itu adalah uang pangkal, uang i’anah syahriyah (iuran setiap bulan), sumbangan, dan usaha-usaha lain. Di pasal itu dijelaskan bahwa uang pangkal adalah uang yang dibayar oleh seseorang pada saat mendaftarkan diri menjadi anggota.


Menurut Andi, pasal tersebut kabur atau belum secara khusus mewajibkan seorang anggota membayar uang pangkal. Ke depan, uang pangkal ini akan menjadi kewajiban. Secara teknis, orang-orang yang selama ini menjadi anggota NU tetapi belum membayar uang pangkal, maka bisa ada kebijakan pemutihan.


Sumber keuangan NU yang kedua adalah i’anah syahriyah. Di pasal 96, ART NU hanya menjelaskan mengenai sifat i’anah syahriyah, yakni uang yang dibayar anggota setiap bulan. Namun belum bersifat wajib. Ke depan, kata Andi, iuran bulanan ini akan diwajibkan.


“Kalau kedua ini bisa dilaksanakan, kemandirian NU bakal lebih dari cukup. Hitung-hitungan kasarnya, kalau uang pangkal itu 10 ribu per orang, NU mengambil basis data anggota cukup 50 juta orang, maka akan ada pemasukan sekitar Rp500 miliar,” jelas Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU itu.


Jumlah itu belum berasal dari iuran bulanan. Jika 50 juta anggota NU setiap bulan dikenakan kewajiban membayar iuran Rp5 ribu, maka NU akan memperoleh kekayaan sebesar Rp250 miliar per bulan.


“Kemandirian NU dalam berkhidmat akan sangat bisa ditopang oleh dua hal ini (uang pangkal dan i’anah syahriyah atau iuran bulanan),” kata Andi.


Sumber keuangan ketiga adalah sumbangan, yakni uang atau barang yang berupa hibah, hadiah, dan sedekah yang diperoleh dari anggota Nahdlatul Ulama dan atau simpatisan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sementara sumber keuangan NU yang keempat yaitu usaha-usaha lain, badan-badan usaha Nahdlatul Ulama dan atau atas kerja sama dengan pihak lain.  


“Sumber keuangan lain tentu dibolehkan mengambil usaha-usaha yang halal. Termasuk kerja sama dengan pihak lain, selama itu tidak melanggar ketentuan UU. Jadi, kamarnya sudah disiapkan namanya badan khusus. Pijakan hukumnya ada di sumber keuangan. Pasal ini sangat terkait dalam rangka menopang kemandirian jamiyah NU,” pungkas Andi.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin