Nasional

Kiai Moqsith Sebut Urgensi Keterlibatan Laki-laki dalam Atasi Ketimpangan Gender

Jumat, 11 November 2022 | 17:00 WIB

Kiai Moqsith Sebut Urgensi Keterlibatan Laki-laki dalam Atasi Ketimpangan Gender

Kiai Moqsith sedang menyampaikan gagasan Islam terkait keadilan dan kesetaraan gender di kediaman Nyai Sinta Nuriyah Wahid, Ciganjur, Jakarta Selatan, Rabu (9/11/2022). 

Jakarta, NU Online

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali menegaskan, laki-laki dan perempuan harus bersama-sama untuk terlibat mengatasi problem ketidakadilan berbasis gender. Sebab ketidakadilan berbasis gender itu merupakan masalah kemanusiaan secara universal.


“Tidak cukup hanya melibatkan perempuan saja atau laki-laki saja, tapi laki-laki dan perempuan harus terlibat di dalam memberikan solusi terhadap problem-problem kemanusiaan ini, termasuk problem ketidakadilan,” ungkapnya. 


Hal itu disampaikan Kiai Moqsith saat menghadiri bahtsul masail mengenai keterlibatan lelaki dalam menciptakan keadilan dan kesetaraan gender di kediaman Nyai Sinta Nuriyah Wahid, Ciganjur, Jakarta Selatan, Rabu (9/11/2022) lalu. 


Lebih lanjut, ia menjelaskan tentang posisi perempuan di dalam Islam. Kiai Moqsith menuturkan, sudah sejak zaman dulu perempuan telah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan hukum. Ia lantas menyebutkan beberapa tokoh perempuan yang memiliki peran penting dalam peradaban Islam. 


“Ada tokoh seperti Siti Aisyah, istri baginda nabi yang menjadi perawi hadits dan banyak hadits yang kita rujukkan kepada riwayat Aisyah. Guru dari Imam Syafi’I juga sebagiannya perempuan. Guru dari Muhyiddin Ibnu ‘Arabi juga sebagian besar adalah perempuan,” terang Kiai Moqsith. 


“Bahkan ada putri dari Mbah Hasyim Asy’ari, yaitu Ibu Nyai Chadijah yang mendirikan pesantren putri Lil Banat (di Arab Saudi). Itu menunjukkan keseriusan beliau untuk menyertakan perempuan di dalam pembicaraan mengenai keagamaan,” imbuhnya.


Peran ulama perempuan di pesantren juga sangat penting, di antaranya untuk mengasuh santri-santri putri. Sebab ruang gerak dan aktivitas para kiai di pesantren putri tidak banyak, sehingga hal tersebut harus dilakukan oleh ibu nyai.  


“Hampir semua kebijakan mengenai pondok pesantren putri dipegang oleh bu nyai, termasuk peraturan-peraturan yang ada di dalamnya. Kita tidak menafikan ada banyak perempuan yang memiliki kedalaman ilmu, terutama di bidang ilmu keagamaan,” tutur Kiai Moqsith. 


Di era sekarang, peran perempuan secara umum menjadi lebih luas dan beragam. Misalnya soal perempuan yang bekerja. Dulu, perempuan bekerja menjadi sesuatu yang tidak umum karena pencari nafkah dianggap hanya menjadi tanggungan suami. Kini, telah banyak perempuan yang mengambil peran besar di dalam bekerja mencari nafkah karena berbagai alasan. 


“Mungkin karena suaminya meninggal, karena orang tuanya meninggal, mereka harus menghidupi anak-anak yang ditinggalkan mendiang suaminya. Tidak ada cara lain bagi perempuan kecuali bekerja untuk menghidupi anak-anaknya, itu fakta empiriknya seperti itu,” tutur Kiai Moqsith.


Pada diskusi bersama Nyai Sinta Nuriyah Wahid itu, Kiai Moqsith menawarkan solusi atas problem ketidakadilan gender yang selama ini dialami perempuan. Namun solusi itu tetap bersumber dari fiqih. 


Selama diskusi berlangsung, ia juga menjelaskan tentang kerangka ushul fiqih atau metodologi dalam merumuskan solusi untuk mengatasi problem ketidakadilan gender. Hal itu bertujuan agar solusi yang ditawarkan tidak keluar dari pandangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. 


Sementara itu, Mustasyar PBNU KH Husein Muhammad menegaskan bahwa untuk menyelesaikan persoalan ketidakadilan berbasis gender yang banyak menjadikan perempuan sebagai korban, perlu melibatkan banyak pihak. 


“Perlu melibatkanya banyak pihak dan lembaga. Sekarang yang sedang kita hadapi adalah pengaruh agama menjadi sangat kuat mempengaruhi kehidupan itu. Karena itu cara paling strategis adalah mempengaruhi para tokoh agama untuk bisa memahami persoalan dan mengajaknya untuk bisa mendukung kesetaraan, anti kekerasan, anti diskriminasi,” tegasnya. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan