LBM PBNU: Pemerintah Berhak Menindak Pembangkang soal Covid-19
Selasa, 24 Maret 2020 | 02:45 WIB
Kiai Najib Bukhori menyatakan bahwa pemerintah–kalau dipertimbangkan perlu dalam situasi yang sangat darurat–memberikan sanksi sekurangnya penindakan atas tindakan pembangkangan tersebut.
"Dalam konteks ini dan dengan mempertimbangkan maslahat yang lebih besar, yaitu keselamatan jiwa banyak orang, iya perlu (bikin sanksi oleh pemerintah)," kata Najib Bukhari kepada NU Online, Senin (23/3) malam.
Menurutnya, pelarangan pemerintah dan kewajiban untuk mematuhinya dalam konteks ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh masyarakat. Larangan ini cukup kuat karena dimulai dengan kewenangan pemerintah mengambil kebijakan demi keselamatan orang banyak meskipun dengan melarang hal yang semula wajib.
Pemberian sanksi cukup beralasan. Pasalnya, tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri saja dapat dikenakan sanksi, terlebih lagi tindakan yang juga membahayakan diri sendiri sekaligus orang lain. Ia menganalogikan kasus pembangkangan ini dengan sanksi ketidakdisiplinan dalam berkendara. Tentunya, tingkat sanksinya ini harus mempertimbangkan kategori daerahnya, zona merah atau zona kuning Covid-19.
"Nggak pakai sabuk keselamatan yang untuk keselamatan pribadi saja ditilang, apalagi untuk keselamatan banyak orang," kata Kiai Najib Bukhari kepada NU Online.
Sebelumnya, LBM PBNU menyatakan, secara umum ketaatan kepada ulil amri atau pemerintah itu adalah wajib berdasarkan firman Allah SWT Surat An-Nisa ayat 59, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu."
Dalam kasus darurat Corona ini, pembangkangan atas imbauan pemerintah adalah perbuatan dosa atau maksiat karena pengumpulan massa dengan jumlah banyak dalam shalat Jumat, haul, muktamar, munas, tabligh akbar, maulid, isra dan miraj, dan lain sebagainya adalah perbuatan haram li ghairihi atau haram karena faktor eksternal.
LBM PBNU menyatakan, setiap orang boleh memiliki keyakinan sendiri dan tidak percaya pada arahan para ahli kesehatan. Namun, sebagai warga negara ia terikat pada putuskan ulil amri atau pemerintah sebagaimana pandangan Syekh Nawawi, "Ketika seorang ulil amri memerintah…perkara mubah, maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik, maka wajib dipatuhi." (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain: 112).
Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Terpopuler
1
Gus Baha Jelaskan Alasan Mukjizat Nabi Muhammad Tak Seperti Nabi Sebelumnya
2
Khutbah Jumat: Keistimewaan Umat Nabi Muhammad
3
Harlah Ke-95, LP Ma’arif NU akan Wujudkan Visi Pendidikan Bereputasi Internasional
4
Kemenag Umumkan Hasil Seleksi Administrasi CPNS 2024 Malam Ini, Berikut Cara Ceknya
5
Khutbah Jumat: Meraih Berkah dan Syafaat dengan Shalawat
6
Gelar Munas, Sako Pramuka Resmi Berganti Nama Jadi Pandu Ma'arif NU
Terkini
Lihat Semua