Nasional

Menteri PPPA Desak Penegakan Hukum Pro-Korban dalam Kasus Kekerasan Seksual

Jumat, 11 April 2025 | 21:00 WIB

Menteri PPPA Desak Penegakan Hukum Pro-Korban dalam Kasus Kekerasan Seksual

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi. (Foto: tangkapan layar akun @arifah.fauzi)

Jakarta, NU Online

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi mendesak aparat penegak hukum untuk memastikan proses hukum dalam kasus kekerasan seksual benar-benar melindungi korban, bukan justru membebani mereka.  


"Kami meminta aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual sesuai undang-undang TPKS serta memastikan proses hukum berpihak pada korban," tegas Arifah melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @arifah.fauzi pada Jumat (11/4/2025) malam. 


Pernyataan ini disampaikan menyusul maraknya kasus kekerasan seksual belakangan ini, termasuk yang menimpa keluarga pasien di RS Hasan Sadikin, Bandung, yang diduga melibatkan seorang dokter PPDS.  


Arifah menegaskan, Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah mengatur bahwa pelaporan bisa diajukan oleh korban maupun saksi, termasuk tenaga medis.

 

Dalam waktu 1x24 jam setelah laporan masuk, polisi wajib memberikan perlindungan sementara, berkoordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), serta menggandeng UPTD PPA untuk memastikan keamanan korban.  


"Tindakan kekerasan seksual dalam bentuk apa pun tidak dapat ditoleransi. Ini pelanggaran serius terhadap HAM, merusak rasa aman masyarakat, dan mencederai kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya melindungi," tegas Ketua Umum PP Muslimat NU ini.  


Ia juga menekankan pentingnya pemulihan bagi korban dan saksi, baik dari segi kesehatan fisik maupun psikologis serta terlindungi dari ancaman dan kehilangan pekerjaan. 


Data terbaru dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 yang dirilis pada 7 Maret 2025 mengungkapkan, kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) mencapai 330.097 kasus—naik 14,17% dibanding tahun sebelumnya.  


Kekerasan seksual menempati posisi tertinggi (26,94%), disusul kekerasan psikis (26,94%), fisik (26,78%), dan ekonomi (9,84%). Lonjakan ini menunjukkan pergeseran dari tren 2023, di mana kekerasan psikis mendominasi laporan.  


Secara geografis, Pulau Jawa masih menjadi wilayah dengan kasus terbanyak. Provinsi lain di luar Pulau Jawa yakni Sumatra Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan juga mencatat angka kasus yang tinggi. Sementara itu, Papua tercatat sebagai provinsi dengan laporan paling sedikit (9 kasus).  


Di tengah tingginya angka kekerasan seksual, Arifah menegaskan bahwa aturan hukum saja tidak cukup tanpa implementasi yang konsisten dan sensitif terhadap korban. Masyarakat pun diharapkan tidak tinggal diam dan turut melaporkan jika menyaksikan atau mengetahui kasus serupa, sesuai amanat UU TPKS.  


Ia berpesan kepada korban atau masyarakat yang mengetahui terjadinya tindak kekerasan untuk segera melapor melalui Call Centre Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, atau melalui WhatsApp 081111129129 agar mata rantai kasus dapat diputus serta ditangani dengan tepat.