Majelis Alimat Dorong Regulasi Pencegahan Kekerasan Seksual Lebih Konkret
Ahad, 20 Februari 2022 | 23:00 WIB
Ketua Umum Majelis Alimat Indonesia (MAI) Prof Hj Amany Lubis (kiri) saat memimpin rapat kerja tahunan MAI. (Foto: Dok. MAI)
Ali Musthofa Asrori
Penulis
Jakarta, NU Online
Majelis Alimat Indonesia (MAI) mendorong regulasi pencegahan kekerasan seksual lebih jelas dan konkret serta tidak menimbulkan multitafsir. Penghapusan kekerasan seksual harus didorong dengan regulasi yang tepat.
Hal tersebut merupakan salah satu bunyi pernyataan sikap atas isu kekerasan seksual yang dibacakan Ketua Umum MAI, Prof Hj Amany Lubis, dalam rapat kerja tahunan sekaligus lokakarya bertema Kontribusi Ilmuwan Muslimah dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang digelar secara hybrid, Sabtu (19/2/2022).
Pernyataan sikap MAI atas isu kekerasan seksual ini berisi tujuh poin. Pertama, MAI menentang kekerasan seksual yang bertentangan dengan prinsip agama, Pancasila, dan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kedua, MAI prihatin dengan kekerasan seksual yang terus meningkat karena kekerasan seksual terjadi di tempat paling aman, seperti keluarga, tempat pendidikan, tempat kerja, dan sebagainya,” kata Amany dalam keterangan tertulis yang diterima NU Online, Ahad (20/2/2022) malam.
Ketiga, mencegah tindak kekerasan seksual melalui undang-undang, peraturan pemerintah pusat dan daerah serta regulasi spesifik lainnya, termasuk keputusan Dirjen Pendis dan Permendikbud 30/2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Keempat, MAI mengambil bagian dengan melakukan edukasi, pendampingan kepada korban, melakukan penelitian sebagai masukan kepada pemerintah,” tutur Amany.
Kelima, menekankan ajaran dan nilai syariat Islam sehingga selaras dengan nilai moral Pancasila dan UUD 1945. Keenam, pencegahan dan penanganan seksual tidak hanya bisa dilakukan oleh negara. Tetapi membutuhkan pelibatan masyarakat dan perguruan tinggi.
“Ketujuh, negara perlu memiliki aturan yang jelas dan konkret serta tidak menimbulkan multitafsir,” tegas Amany.
Menurut dia, penghapusan kekerasan seksual harus didorong dengan regulasi yang tepat. Memang, RUU TPKS masih perlu disempurnakan. Sebab, masih banyak celah yang harus diperjelas dan diselaraskan dengan UU yang sudah ada seperti KUHP, UU Anti Pornografi, UU Perlindungan Anak, dan UU lainnya.
Tetapi, lanjut Amany, jika RUU TPKS ini disahkan maka bagi masyarakat terdapat mekanisme yang lebih jelas untuk penanganan korban kekerasan seksual dan tindakan hukum bagi pelakunya serta membuat masyarakat berani bersuara.
“Terhadap isu kekerasan seksual, MAI mencoba ikut serta melindungi masyarakat. Sekarang ini masih banyak masalah yang didiamkan. Misalnya, ketika ada tindak kekerasan seksual di unit pendidikan mereka diam dengan alasan segan pada guru karena relasi kuasa atau untuk menjaga nama baik institusi,” paparnya.
“Ini tidak boleh lagi terjadi. Semua harus bergerak dan bersuara karena korban dilindungi payung hukum yang jelas,” sambung Amany.
Sebagai organisasi para ilmuwan muslimah, lanjut dia, MAI memahami urgensi disahkannya RUU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS) oleh DPR. Meski demikian, organisasi yang memiliki cabang di 12 wilayah dan sudah beraktivitas sejak tahun 2000 ini mensyaratkan agar regulasi tersebut memprioritaskan pencegahan, perlindungan, dan penanganan terhadap korban.
“Terpenting, penegakan hukumnya berefek jera bagi pelakunya,” tegas Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Diapresiasi Menteri PPPA
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, yang didaulat membuka resmi lokakarya mengapresiasi kegiatan bertema isu kekerasan seksual sebagai wujud kepedulian MAI pada masalah krusial yang terjadi di masyarakat.
“Sebab, kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, terutama kelompok rentan, perempuan, dan anak yang menjadi korban,” kata Menteri Gusti Ayu.
“Tindakan kekerasan seksual itu bertentangan dengan HAM. Ini jadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak warga negara,” sambungnya.
Ia menambahkan, pemerintah berkomitmen kuat untuk memberikan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dan merendahkan harkat martabat manusia. Komitmen itu ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo melalui hasil rapat terbatas pada 9 Januari 2022 yang menghasilkan sejumlah risalah.
“Antara lain memprioritaskan aksi pencegahan, pelayanan pengaduan, manajemen kekerasan dengan membentuk one stop services, proses penegakan hukum yang memberikan efek jera dan rehabilitasi sosial terhadap korban,” tuturnya.
“Untuk penanganan secara komprehensif, dibutuhkan komitmen semua pihak untuk bersinergi dan MAI hadir sesuai dengan kapasitasnya,” sambung Menteri Gusti Ayu.
Lokakarya ini menampilkan para narasumber, antara lain Dirjen Pendis Kemenag M Ali Ramdani, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin, Guru Besar IPB dan Badan Pengawas MAI Aida Vitayala, Guru Besar UIN Bandung dan Ketua Wilayah MAI Jawa Barat Prof Nina Nurmila, dan tenaga profesional Lemhanas Ninik Rahayu.
Dubes Turki untuk Indonesia, Prof Askin Asan, yang hadir pada workshop ini berbagi informasi terkait dengan isu kekerasan seksual di negaranya. Acara ini diikuti oleh 80-an partisipan serta beberapa undangan dari Malaysia dan Thailand.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua