Nasional

Nyai Sinta Lebih dari Dua Dekade Merawat Kerukunan 

Sabtu, 30 November 2024 | 17:00 WIB

Nyai Sinta Lebih dari Dua Dekade Merawat Kerukunan 

Nyai Sinta menyapa langsung lansia di Rumah Pergerakan Gusdurian Pare, Kediri, Jawa Timur saat sahur keliling pada 26 Maret 2023 (Dok. Gusdurian Jatim).

Jakarta, NU Online

Pada Selasa (26/11/2024), untuk kesekian kalinya, Nyai Sinta Nuriyah Wahid menerima penghargaan Lifetime Achievement dalam ajang People of The Year 2024. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas dedikasinya dalam memperjuangkan kemanusiaan, hak perempuan, dan toleransi antaragama.


Keberanian Nyai Sinta Nuriyah dalam menyuarakan Islam toleran serta memperjuangkan kelompok minoritas di Indonesia menjadikannya figur inspiratif banyak generasi selanjutnya untuk membangun kehidupan berbangsa yang lebih inklusif. 


Selama lebih dari dua dekade, Sinta Nuriyah konsisten menggelar dialog lintas iman dan berbagai kegiatan kemanusiaan, menguatkan semangat persatuan dan toleransi bangsa salah satunya lewat sahur keliling.


Di tengah keberagaman agama, budaya, dan status sosial, Nyai Sinta menjadikan sahur bersama sebagai ruang dialog dan persaudaraan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk komunitas lintas iman, kelompok marginal, dan pemuka agama.


Kegiatan ini telah dimulai sejak suaminya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menjabat sebagai Presiden keempat Indonesia. Setelah Gus Dur wafat, Nyai Sinta tetap melanjutkan tradisi ini, menjadikannya sebagai medium mendekatkan diri dengan masyarakat, terutama kelompok marginal.


Dalam setiap kunjungannya, ia menyambangi pasar, kolong jembatan, kampung, pesantren, bahkan gereja dan vihara untuk berbuka dan sahur bersama. Ia tidak saja meninggalkan keluarga dan makanan lezat di rumah melainkan juga rela makan sahur dan buka puasa di tempat dan dengan sajian makanan yang sederhana yang dimiliki rakyat. 


Imam Maliki, Koordinator Wilayah (Korwil) Gusdurian Jawa Timur menceritakan pengalamannya mendampingi Nyai Sinta di beberapa daerah. Di Jombang, misalnya, Nyai Sinta menyapa anak-anak difabel dari SD Muhammadiyah dan pedagang kaki lima. Sinta menyapa mereka dan buka bersama di lokasi tersebut. 


Tidak hanya para pedagang saja, beberapa tukang becak dan masyarakat yang berada di sekitar lokasi ikut merapat. Meski kala itu turun hujan, tetapi masyarakat antusias menyambut dan mendengarkan sambutan dari Nyai Sinta.


"Selama membersamai Ibu Sinta dan mengikuti acara ini, saya banyak belajar dan melihat bagaimana beliau membangun komunikasi, berdialog, mendengarkan problem masyarakat serta memberi solusi atas masalah yang mereka alami," kata Cak Imam, sapaan akrabnya kepada NU Online.


Usai menemui warga di Jombang, perjalanan dilanjut ke Kecamatan Pare, Kediri. Nyai Sinta singgah di rumah lansia yang dikelola oleh penggerak Gusdurian Mojokutho, Pare, Kediri. Rumah Kemanusiaan GUSDURian (RKG), demikian tempat itu diberi nama, merawat mbah-mbah sepuh, yang tidak tahu di mana keluarganya atau bahkan sengaja ‘dibuang’ oleh anaknya sendiri. Ada 33 lansia dan 14 anak-anak jalanan yang ada di rumah kemanusiaan ini.


Nyai Sinta saat itu menyampaikan makna ibadah puasa yang sesungguhnya bukan hanya menahan lapar dan haus sahaja tetapi tentang budi pekerti yang luhur, akhlak mulia, serta menjaga dan merawat persaudaraan antarsesama. Salah satu yang dilakukan dengan merawat lansia yang ada di rumah kemanusiaan dengan sungguh-sungguh sebab itu bagian dari memuliakan manusia dan termasuk dalam ajaran agama yang juga menjadi bagian dari sembilan nilai utama yang diwarisi Gus Dur.


"Dari sini saya melihat dari dekat bagaimana Nyai Sinta mengaplikasikan kerukunan dengan praktik bukan ucapan saja," kata Imam. 


Salah satu momen berkesan juga terjadi di Cirebon, ketika sahur bersama diadakan di halaman Klenteng Talang, bekerja sama dengan komunitas Konghucu. Suasana penuh kehangatan menunjukkan bagaimana perbedaan tidak menjadi penghalang untuk hidup berdampingan. Hal ini disampaikan penggerak Gusdurian Cirebon, Kamalatun Nihaya kepada NU Online.


"Buka puasa dan sahur keliling di Cirebon ini adalah yang kesekian kalinya. Yang saya ingat, beliau pernah buka puasa dan sahur bersama di Pesantren Arjawinangun, komunitas Tionghoa, Konghuchu, Klenteng, Ahmadiyah Manis Lor, Sunda Wiwitan Cigugur, komunitas pemulung dan anak jalanan, dan lain-lan," kata dia.


Pendekatan ini telah menciptakan dampak nyata di berbagai daerah. Nyai Sinta mengajarkan bahwa kerukunan adalah praktik, bukan sekadar slogan. Sinta Nuriyah juga pernah berkunjung ke Santa Maria Tak Bercela (SMTB) di Ngegel Surabaya dalam rangka menyampaikan duka cita atas tragedi bom tiga gereja 13 Mei di Surabaya. Saat itu dia terus meminta tisu karena matanya terus menetes tak henti-hentinya saat mendengar kesaksian dari banyak orang.


Romo Adrianus Maradiyo, Vikaris Episkopalis untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, menyambut baik inisiatif Nyai Sinta Nuriyah Wahid dalam kegiatan sahur keliling. Ia menilai ajakan Sinta untuk mempererat persaudaraan antarumat sangat relevan dan penting.


Menurutnya, hal ini juga sejalan dengan rencana induk Keuskupan Agung Semarang, yaitu mewujudkan kasih dalam masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat, dan beriman.


 

Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid memberikan tausiyah di hadapan mahasiswa UIN KHAS Jember saat giat Sahur Keliling 2024 (26/3/2024). (Dok. UIN Khas Jember).


Pesan perdamaian yang berkelanjutan

Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember Prof Hepni merangkum makna dari sahur keliling ini dalam akronim SAHUR, yaitu Sustainable (berkelanjutan), Adaptable (beradaptasi), Humanity (kemanusiaan), Unstoppable (tak terhentikan), dan Responsible (bertanggung jawab).


"Sahur keliling bukan hanya tentang makanan, tetapi juga menyemai nilai-nilai perdamaian yang terus berkembang dan relevan menghadapi tantangan zaman," kata dia.


Kerukunan sebagai warisan bangsa

Melalui sahur keliling dan dialog lintas agama, Nyai Sinta Nuriyah Wahid membuktikan bahwa perdamaian tidak hanya dibangun melalui dialog  tetapi melalui tindakan nyata. Aktivitas ini menjadi model penting bagaimana masyarakat Indonesia dapat merajut persatuan di tengah perbedaan. Sahur keliling adalah bukti bahwa kerukunan adalah praktik sehari-hari yang bisa dilakukan siapa saja, kapan saja.


Kegiatan Sahur Keliling sudah dijalaninya selama kurun waktu 24 tahun, ia tak pernah absen melibatkan para pemuka agama. Tak ayal karena kerja-kerja merawat kerukunan ini, Majalah TIMES menobatkan Nyai Shinta menjadi 100 orang berpengaruh di Dunia. Pada 2019, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta juga menganugerahinya gelar doktor kehormatan bidang Sosiologi Agama.


Dalam rapat senat terbuka Ketua Promotor Ema Marhumah menyampaikan dua sepak terjang promovenda yang membuat keputusan UIN Sunan Kalijaga tidak salah menganugerahkan gelar doktor kehormatan. 


“Kerja perdamaian ditunjukkan oleh promovenda dengan mengadakan kegiatan Sahur Keliling setiap bulan puasa, berkeliling antarkota untuk menyemai gagasan perdamaian. Hal ini sudah promovenda lakukan sejak tahun 1998. Berarti sudah sekitar 22 tahunan,” kata Ema saat menyampaikan pidatonya.


Nyai Sinta dalam pidato penganugerahan doktor honoris causa (HC) membeberkan alasan mengadakan sahur keliling. Menurutnya, berbuka puasa bersama telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat, terutama di kota-kota besar, karena adanya anjuran bahwa memberi makan orang yang berpuasa akan mendatangkan pahala yang berlipat. 


Namun, jarang ada tradisi sahur sehingga ia memutuskan untuk mengadakan sahur keliling yang dilakukan dengan menyasar kaum duafa dan marjinal, seperti tukang becak, pengamen, dan pemulung, di tempat-tempat seperti kolong jembatan, terminal, pasar, atau lokasi bencana. 


"Kami memutuskan untuk melaksanakan sahur keliling bersama kaum dhuafa dan kaum pinggiran. Kami juga mengajak seluruh komponen masyarakat, tanpa memandang suku dan agama, untuk bersama-sama menjalankan kegiatan ini," ungkapnya.


Keputusan ini, kata dia, sejalan dengan makna ayat dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, yang mengajarkan untuk hidup harmonis dan saling tolong-menolong, tanpa sekat-sekat sosial, ekonomi, dan politik.


"Kami juga mengundang teman-teman lintas agama untuk berkolaborasi dalam program ini. Dukungan datang dengan antusias, terutama dari kelompok Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) dan Keuskupan Jakarta," ucap Sinta.


Sinta menyebut Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu yang negatif, seperti amarah, serakah, dan korupsi.


"Ibadah puasa seharusnya dapat memperbaiki perilaku dan gaya hidup kita agar lebih baik, penuh harapan, serta membawa kita pada tindakan sosial yang positif, seperti kasih sayang, toleransi, dan empati terhadap orang lain," jelasnya.


"Program Sahur Keliling pun terlaksana dengan sukses di seluruh kota di Indonesia. Kegiatan ini memberi kami kesempatan untuk merasakan betapa indahnya kerukunan dan betapa hangatnya keberagamaan di antara kita semua," kesannya.


Nyai Sinta juga mendapat gelar 11 tokoh perempuan paling berpengaruh versi harian New York Times 2017; Soka Women’s College Comendation of Friendship dari Soka Women’s College Universitas Universitas Soka sebagai pejuang Perempuan.


Kerukunan tak hanya dibahas dalam kegiatan sahur keliling, Nyai Sinta aktif menyuarakan persaudaraan dari tahun ke tahun melalui forum titik temu kebangsaan yang dihadiri oleh para tokoh agama, aktivis, mahasiswa, dan pemangku kebijakan. Saya sendiri beberapa kali mengikuti kegiatan yang diinisiasi Jaringan gusdurian bekerjasama dengan Yayasan Nur Cholis Madjid Society itu.


Forum para cendekiawan dan tokoh agama ini, Sinta selalu menekankan agar Indonesia terus memperkuat buhul kebangsaan bahwa keberagaman merupakan kenyataan yang harus diterima oleh warga bangsa Indonesia. Sejak lahir di dunia, setiap warga bangsa harus menghadapi berbagai perbedaan, seperti etnis, agama, bahasa, tradisi, dan kondisi sosial yang berbeda.  


“Di Indonesia lah, orang bisa hidup bersama sebagai suatu bangsa,” kata Sinta Nuriyah saat berbicara pada Forum Titik Temu di DoubleTree Hilton Hotel Jakarta, Rabu (18/9/2024).


Ia menyatakan kompleksitas keragaman di Indonesia tidak bisa hanya diselesaikan melalui kelembagaan di luar diri manusia, seperti hukum, politik, dan ekonomi. Karena, semua perangkat kelembagaan ini berlaku umum dan universal. Sedangkan, kondisi masyarakat Indonesia sangat beragam dan unik, sehingga terkadang kelembagaan itu tidak mampu menjangkaunya.


Pada kondisi demikian diperlukan obat yang jelas berupa kearifan agar penerapannya bisa berjalan secara efektif. Tanpa kearifan, bangsa Indonesia akan mudah rapuh dan mengancam persatuan dan persaudaraan.  Sebaliknya, kata dia, kini hukum, politik, dan ekonomi tidak lagi menjadi alat pemersatu. Tetapi, menjadi ajang kontestasi yang justru mengancam keutuhan. Masing-masing kelompok tidak memandang kelompok lain yang berbeda sebagai mitra. Tetapi sebagai kompetitor yang harus disingkirkan.


“Semua ini (ancaman retaknya keutuhan) akan hilang jika ada kearifan dalam diri manusia karena kearifan akan memberikan ruang atas perbedaan,” jelas ibu empat anak perempuan ini.


 

Nyai Sinta menghadiri forum titik temu kebangsaan yang diinisiasi Nurcholis Madjid Society, Ma’arif Institute, Wahid Foundation, Jaringan Gusdurian dan Yayasan Terang Surabaya di Jakarta, Rabu (10/4/2019). (Dok. NU Online).


Nyai Sinta dan peran Puan Amal Hayati

Nyai Sinta kian dikenal sebagai tokoh perempuan yang membawa perubahan melalui gerakan sosial dan pendidikan. Salah satu wujud kontribusi Nyai Sinta adalah pendirian Amal Puan Hayati, yayasan yang membangun masyarakat di mana perempuan dan kelompok minoritas dihargai, dihormati, dan memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi.


Inisiatif ini menjadi sorotan dalam skripsi berjudul "Aktivitas Dakwah Dra. Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan di Yayasan Puan Amal Hayati" yang ditulis mahasiswa Ilmu Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdaue Azizah (2013).


Dalam wawancara yang menjadi bagian dari penelitian mahasiswa UIN Jakarta itu, pendirian yayasan Puan Amal Hayati untuk memperjuangkan hak-hak perempuan  agar terbebas dari kekerasan. Melalui program-program pendampingan korban kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, memberikan perlindungan menghadapi pengadilan, memberikan keterampilan kepada korban. 


"Yang kita harapkan adalah perempuan-perempuan bisa mendapatkan perlakuan-perlakuan yang adil, layak, yang sama berjuang dengan laki-laki baik dalam kelaurga, masyarakat, maupun negara. Bukan untuk saya tapi untuk seluruh perempuan," kata Sinta dalam wawancara bersama Abdaue.


Dalam skripsinya, mahasiswa UIN Jakarta menyoroti bahwa program-program yang dijalankan Puan Amal Hayati telah memberikan dampak positif yang signifikan. Hal ini diakui salah satu korban kekerasan seksual yang dibantu oleh yayasan. 


Lina, salah satu korban kekerasan, yang mendapat pendampingan langsung dari Yayasan Amal Puan Hayati menceritakan pendampingan yang dilakukan Puan Amal Hayati. 


"Saya waktu berumur 11 tahun itu saya diperkosa sama ayah saya, saya digitu lagi diperkosa lagi berulang-ulang. Sampai saya punya anak empat terpaksa gitu kan kalau saya gak nurutin sama ayah saya nanti dibunuh, ya saya diperkosa sampai kasus saya terungkap di kantor polisi saja. Udah diberi keterangan terus saya dibawa ke sini, ke puspita Puan Amal Hayati. Pas sudah kesini saya seneng banget gitu..aa yang nolong di sisi, saya diajarin agama terus dikasih keterampilan," ucapnya.