Jakarta, NU Online
Presiden Joko Widodo dalam debat capres dan cawapres pada Kamis (17/1) malam mengatakan bahwa akan membuat pusat legislasi nasional yang langsung dikontrol presiden. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan H Robikin Emhas mendukung rencana tersebut jika dapat melahirkan peraturan perundang-undangan yang harmonis dan sinkron.
"Jika Pusat Legislasi Nasional dimaksudkan untuk memastikan agar seluruh peraturan perundang-undangan yang dilahirkan sejalan dengan konstitusi dan nilai-nilai Pancasila, dan dapat mencegah lahirnya peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis, tidak sinkron, tumpang-tindih dan saling bertentangan satu dengan lainnya, kita dukung," kata Robikin kepada NU Online pada Jumat (18/1).
Selain hal itu, Robikin juga melihat bahwa saat ini Indonesia sudah over regulasi atau obesitas regulasi. Tahun 2017 saja, misalnya, disinyalir terdapat 62.000 peraturan perundangan-undangan. Hal itu, lanjutnya, belum termasuk 32.000 undang-undang organik (peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang) yang dibatalkan Kemendagri. "Jumlah yang sangat banyak untuk suatu negara kesatuan," ucapnya.
Terlebih, perundang-undangan itu tidak lahir dari koordinasi antarkementerian dan lembaga karena ego sektoral yang masih sangat menonjol. Tak jarang karena hal itu, ditemukan adanya peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak harmonis, tidak sinkron, tumpang-tindih dan saling bertentangan.
"Dampaknya, birokrasi menjadi panjang dan rumit, terjadi ketidakpastian hukum, serta mengganggu iklim investasi," terang Robikin.
Meskipun sudah ada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), ia khawatir tidak memberi dampak maksimal. "Merevitalisasi peran dan fungsi BPHN itu diantara pilihannya. Namun dikhawatirkan tidak memberi dampak maksimal," pungkasnya. (Syakir NF/Ahmad Rozali)