Nasional

PBNU Komentari Kisruh Impor Beras

Sabtu, 22 September 2018 | 12:10 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bidang Ekonomi KH Umar Syah turut mengomentari kisruh impor beras antara Bulog dan kementerian Perdagangan. Ia menilai ada dua hal yang melatarbelakangi konflik tersebut yakni masalah koordinasi dan sumber data yang digunakan.

“(Konflik) Ini mengemuka lantaran, pertama koordinasi dua kementerian dan Bulog yang belum optimal. Kemudian yang kedua adalah penggunaan sumber data yang belum ada keseragaman,” ujar Umarsyah kepada NU Online di Gedung PBNU, Sabtu (22/9).

Kondisi seperti saat ini, kata Umar Syah, tidak akan terjadi jika Kementerian Perdagangan mendengarkan masukan dari Bulog dan Kementerian Pertanian sebelum mendatangkan beras impor. 

"Yang terpenting adalah menurunkan ego sektoral, terutama Kementerian Perdagangan yang kerap merasa menjadi leader untuk masalah impor-ekspor dan mengabaikan kementerian teknis yang membidangi masalah itu,” kata Umarsyah. 

Dalam pandangannya, selama ini Kementerian Pertanian menunjukkan kinerja yang baik, misalnya Operasi Khusus padi, jagung dan kedele (Pajale), yang meningkatkan produktivitas dalam negeri. Karena besarnya partisipasi para petani terutama dengan adanya insentif dari Kementerian Pertanian.

Terbukti dalam menghadapi lebaran lalu baik Idul Fitri dan Idul Adha, ketersediaan beras terjamin sehingga tidak ada gejolak harga di pasar.

“Indikasinya pertama harganya stabil, kedua ketersediaan barang di pasar induk dan tradisional, dan dalam lebaran kemarin aman. Buktinya tidak ada gejolak. Kalau memang tidak mencukupi stok beras akan ada gejolak. Nah keberhasilan seperti opsus ini yang tidak mau dilihat dan didengar oleh Kementerian Perdagangan,” kata Umar Syah.

Selain itu, masalah data perlu disamakan antara kementerian dan lembaga yang membidangi satu persoalan. Ia menambahkan, data yang digunakan kedua kementerian dan lembaga semestinya yang berasal dari lembaga yang sudah qualified dan kredibel. "Misalnya menggunakan data BPS," katanya. (Ahmad Rozali)