Jakarta, NU Online
Terjadinya kudeta oleh militer di Turki mengejutkan dunia. Meskipun negara tersebut sudah enam kali mengalami kudeta oleh pihak militer, tetap saja peristiwa ini mengagetkan mengingat Turki selama lebih dari satu dekade ini diperintah oleh kelompok sipil dan secara nyata menghasilkan kemajuan dalam berbagai bidang.
Sekjen PBNU H Helmy Faishal Zaini menyatakan keprihatinannya atas terjadinya krisis politik di Turki ini mengingat negara tersebut merupakan salah satu pusat peradaban Islam di dunia.
“Kami prihatin dan sedih dengan adanya ketidakpastian tersebut tanpa berpretensi siapa yang berkuasa. Jangan sampai Turki mengalami nasib seperti Mesir,“ katanya dalam diskusi Taswirul Afkar, dengan tema Kudeta Turki, Transisi atau Konspirasi yang berlangsung di perpustakaan Gedung PBNU, Senin (18/7).
Ia menegaskan, Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan terhadap kondisi keamanan Turki mengingat di negeri yang berada di dua benua ini, Asia dan Eropa, banyak tersimpan artefak-artefak penting sejarah perkembangan Islam seperti stempel yang digunakan Rasulullah, rambut Rasulullah, dan benda-benda bersejarah yang tak ternilai harganya yang tersimpan di berbagai museum. Pergantian kekuasaan, bisa saja menyebabkan benda-benda tersebut dihancurkan sebagaimana yang terjadi di Saudi Arabia yang memusnahkan banyak sekali benda-benda bersejarah.
Berkaca dari Mesir, dari kunjungannya sebelum dan sesudah krisis politik, terlihat dengan jelas Mesir yang sebelumnya ramai dikunjungi wisatawan kemudian menjadi sepi.
“Jangan sampai Turki mengalami krisis dan akhirnya menjadi negara gagal, yaitu Pakistan dan negara-negara Muslim dengan akhiran ‘tan’ seperti Afghanistan dan lainnya,” imbuhnya.
Ia memiliki tiga analisis terkait kudeta di Turki. Pertama, adanya invisible hand, yaitu tangan-tangan global yang bermain, baik dari eksternal seperti Israel atau dari faktor internal, yaitu kudeta yang memang sengaja dibuat.
Kedua, mungkin saja ada keniscayaan dari para pengikut Gulen yang sudah jengah dengan perilaku rezim saat ini yang sudah semakin jauh dari cita-cita yang diinginkan bersama dahulu. Sebelumnya, Erdogan dan Fathullah Gulen merupakan partner, tetapi kemudian pecah kongsi.
Ketiga, rezim Erdogan yang belakangan bersikap semakin otoriter melahirkan perlawanan-perlawanan yang akhirnya pecah dalam kudeta tersebut.
“NU sangat berkepentingan agar kondisi Turki terjaga,” katanya mengakhiri diskusi. (Mukafi Niam)