Muhammad Faizin
Penulis
Jakarta, NU Online
Pada tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah haji sudah berada di Mina setelah melaksanakan Wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah dan Mabit di Muzdalifah pada malam harinya. Di Mina, jamaah akan melaksanakan ibadah lempar Jumrah Aqabah di hari pertama dan lempar jumrah secara lengkap (ula, wustha, dan aqabah) di hari Tasyriq 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Namun saat berada di Mina, jamaah haji memiliki dua pilihan yang biasa disebut Nafar Awal dan Nafar Tsani. Kedua istilah ini merujuk pada kapan jamaah akan meninggalkan Mina. Apakah akan keluar tanah Mina lebih awal, atau akan menyempurnakan sampai dengan habisnya hari Tasyrik.
Dalam artikel NU Online yang ditulis M Mubasysyarum Bih berjudul 'Berapa Durasi Minimal Menginap di Mina saat Haji?', disebutkan bahwa Nafar Awal adalah jamaah lebih awal keluar dari Mina yakni tanggal 12 Dzulhijjah sebelum tenggelamnya matahari di hari tersebut. Sementara Nafar Tsani adalah jamaah keluar dari Mina setelah menginap selama tiga malam, mulai malam 11, 12, sampai 13 Dzulhijjah.
Menginap di Mina, menurut pendapat yang disahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah yang lain, masuk kategori wajib haji yang berkonsekuensi membayar dam (denda) bila ditinggalkan.
Durasi minimal menginap di Mina adalah mu‘dham al-lail (sebagian besar waktu malam) terhitung mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
“Misalnya kalkulasi waktu malam hari di Mina adalah 10 jam, maka menginap di Mina cukup 8 atau 9 jam. Tidak disyaratkan datang tepat setelah maghrib, namun boleh selepas Isya’ dengan catatan dapat menginap di sebagian besar waktu malam di Mina,” demikian penjelasan artikel yang ditulis Ustadz M Mubasysyarum Bih dan dikutip NU Online, Rabu (28/6/2023).
Menurut Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, aktivitas di Mina lebih berat dibanding dengan di Arafah. Durasi jamaah berada di tenda Mina lebih lama dibandingkan saat Wukuf di Arafah. Selain itu, jika di Arafah, jamaah hanya diam sementara di Mina melakukan aktivitas lontar jamarah. Apalagi jamaah harus berjalan kaki dari tenda menuju jamarat dengan jarak berkilo-kilometer.
Pihaknya menyiapkan skenario agar jamaah yang mayoritas lansia ini bisa beribadah dengan nyaman tanpa harus gugur kewajiban hajinya. Sebab, di Fikih menurutnya banyak alternatif. "Sehingga, mereka yang tidak mampu bisa dibadalkan lontar jumrahnya," jelasnya.
Menag Yaqut meminta Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi untuk menerapkan skema perlindungan, pelayanan, dan pembinaan dengan menyesuaikan kondisi fisik jamaah, agar mereka tidak memaksakan.
Menag menegaskan bahwa badal lempar jumrah itu sah secara fikih dan tidak dipungut biaya. Sehingga, jamaah tidak perlu khawatir.
"Tidak ada pungutan apa pun atas badal lontar jumrah," tegasnya sebelum berangkat ke Muzdalifah, Selasa (27/6/2023) dikutip dari laman Kemenag.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Syamsul Arifin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua