Nasional HAUL GUS DUR 2018

Pesan Haul Gus Dur: Politik Hanya Sarana Mewujudkan Nilai-nilai Kemanusiaan

Jumat, 21 Desember 2018 | 09:25 WIB

Jakarta, NU Online
Banyak pihak mengkhawatirkan peningkatan potensi intoleransi, diskriminasi, bahkan konflik kekerasan menjelang pemilihan presiden dan pemilu legislatif 2019. Sejumlah lembaga riset menyuguhnya data-data ini. Misalnya saja riset Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) yang dirilis Agustus silam. Sebanyak 23,6 persen dari 145 ahli di 11 provinsi menyebut politisasi SARA dan identitas masih akan terjadi di pemilu tahun depan. Sebanyak 12,3 persen menilai ancaman konflik horizontal antar pendukung pasangan calon.

Situasi yang tampak tegang juga muncul dalam percakapan antarpara pendukung calon, khususnya calon presiden mendatang, di media sosial. Sebagiannya bahkan melakukan praktik ujaran kebencian (hatespeech). “Situasi ini jelas mengkhawatirkan. Kita harus memberi pesan tegas kepada para calon presiden, calon legilatif, dan masyarakat luas bahwa politik bukan tujuan melainkan sarana dalam menegakan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Bukan sebaliknya. Inilah pesan pokok almarhum Gus Dur,” kata Ketua Panitia Haul Gus Dur ke-9, Alissa Wahid, Jumat (21/12).

Masyarakat dan para politisi, tambah puteri sulung KH Abdurrahman Wahid ini,harus diyakinkan jika penggunaan ketidaksukaan karena agama dan keyakinan merupakan tren yang terus menanjak sejak tahun 2005. Diperlukan usaha-usaha mengatasinya. Dalam pilkada Jakarta dan beberapa pilkada di sejumlah provinsi, isu agama juga sering dipakai untuk menurunkan elektabilitas calon tertentu.

Dalam situasi seperti itu, Haul Gus Dur ke-9 yang digelar Jumat (21/12) pukul 19.00 WIB selesai di Kediaman Almarhum Gus Dur di Jalan Warung Sila Ciganjur Jakarta Selatan ini sengaja mengambil tema “Yang Lebih Penting dari Politik adalah Kemanusiaan”.

Tema itu diambil dari salah satu pernyataan Gus Dur semasa hidup. Sebagai tokoh agama dan pejuang demokrasi, Gus Dur dikenal orang yang gigih memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan menolak cara-cara kekerasan. Saat akan dilengserkan sebagai Presiden pada 2001, putera mantan Menteri Agama KH Wahid Hasyim ini melarang pendukungnya yang marah bergerak ke Jakarta. “Tak ada jabatan setinggi apapun yang pantas dipertahankan dengan darah," katanya suatu ketika. Tapi demi menegakan prinsip dan alasan mengenai berdirinya negara, bentuk negara, “ngasi mati tak lakoni (hingga mati saya lakukan—red),” tegasnya.

Menurut Alissa, haul ini juga hendak menyampaikan pesan penting mengenai agenda strategis dan jangka panjang bangsa ini berupa transformasi nilai-nilai kebaikan di antara persaingan antar nilai. “Jika di sebagian masyarakat lebih memilih nilai bahwa menonjolkan kelompok, aliran dan agamanya, lalu abai pada kepentingan bersama, kita harus berjuang untuk mendorong nilai bersama sebagai bangsa dan sesama manusia. Kita harus terus berjuang agar nilai ini tetap menjadi arus umum masyarakat kita, bukan sebaliknya,” tegasnya. 

Sejumlah tokoh yang hadir dalam haul antara lain Pengasuh Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, KH Maemun Zubair; Tokoh Agama dan pengasuh pengajian di Kota Depok Habib Abu Bakar Al-Attas; mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD; seniman Ebiet G Ade; sastrawan dan tokoh agama asal Madura KH Dzawawi Imron; penulis dan tokoh perempuan Tuti Herati Nurhadi; tokoh jurnalis Aritides Katoppo. (Ahmad Rozali)