Robot Kiai, Tantangan Pesantren Hadapi Artificial Intelligence
Jumat, 9 Oktober 2020 | 13:30 WIB
Kita ke depan akan melawan mesin. Tantangan kita terbesar bukan hanya kelompok Wahabi, tetapi melawan manusia mesin atau artificial intelligence
Muhammad Syakir NF
Penulis
Jakarta, NU Online
Perkembangan teknologi sangat pesat setiap waktunya. Baru-baru ini, sudah ada penciptaan robot bernama Sofia di Arab. Bukan tidak mungkin bakal muncul robot kiai yang memiliki hafalan tidak biasa, bukan saja Fathul Mu’in, tetapi bisa juga Syarah Muhadzab Imam Nawawi juga bisa dihafalnya. Teknologi demikian ini disebut sebagai artificial intelligence.
“Artificial intelligence is coming. Ini yang saya kira akan melampaui teknologi yang sekarang dan ini yang harus kita antisipasi khususnya dalam pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren,” kata KH Nadirsyah Hosen saat menjadi pembicara pada Muktamar Pemikiran Santri Nusantara 2020 dengan tema Pesantren dan Tantangan Media pada Jumat (9/10).
Namun, mudahnya mengakses informasi dan pengetahuan ini justru menimbulkan persoalan baru, yakni fundamentalisme yang semakin meningkat. Menurutnya, modernitas bukan melahirkan progresifitas, melainkan fundamentalisme.
“Kita ke depan akan melawan mesin. Tantangan kita terbesar bukan hanya kelompok Wahabi, tetapi melawan manusia mesin atau artificial intelligence,” kata Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Monash, Melbourne, Australia itu.
Jika tidak melakukan perubahan, menurutnya, bakal muncul pengangguran lebih banyak lagi, kemudian melahirkan krisis kemanusiaan. Sementara selama ini, pesantren dianggap sebagai benteng dari kemanusiaan kita. KH Mustofa Bisri, jelasnya, selalu mengingatkan agar agama itu memanusiakan kembali kemanusiaan kita.
Adanya artificial intelligence menjadi tantangan tersendiri. Hal itu harus dipadukan dengan pendekatan humanis. Karena itu, menurutnya, pendidikan kita akan lebih dipacu dengan pendekatan artificial intelligence dengan tetap mengajarkan nilai-nilai pesantren dan kepercayaan.
Gus Nadir menegaskan perlunya kerjasama pesantren dengan ahli teknologi guna menciptakan telepon sendiri khusus untuk kalangan pesantren, gim, dan platform lainnya untuk proses pembelajaran di kalangan internal pesantren. hal tersebut tanpa harus meninggalkan nilai-nilai dan keterampilan yang selama ini dipelajari pesantren.
Tindakan demikian merupakan bentuk paradigma baru yang ditawarkan Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2015-2018 KH Ma’ruf Amin yakni perbaikan terus-menerus yang ia terjemahkan sebagai melampaui teknologi.
Pesantren dan tantangan media
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia Selandia Baru itu menyampaikan ada 3M dalam melihat pesantren dan tantangan media, yakni (1) melampaui teknologi yang telah disebutkan di awal, (2) memanfaatkan teknologi, dan (3) meninggalkan madharat. Dua hal terakhir itu sejalan dengan konsep maslahah Syekh Izzuddin bin Abdissalam, bahwa inti syariat Islam itu adalah, mengambil manfaat dan meninggalkan madharat.
Sampai hari ini menurut Gus Nadir, masyarakat pesantren baru sampai pada tahap memanfaatkan. Di negeri-negeri Barat, katanya, muncul kepedulian sekarang mengenai dampak negatif dari platform media sosial.
Ia menjelaskan, data-data yang dimasukkan dalam sebuah platform digital bisa menjadi bahan prediksi kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. “Melebihi para psikolog bahkan bisa mencatat pahala dan dosa kita seperti Raqib-Atid jejak jejak digital itu,” katanya.
Media digital begitu kejam karena memberikan jejak digital. Jika kita punya dosa dan kita beristighfar kepada Allah SWT. bisa langsung diampuni, sedangkan jejak digital sangat sulit. “Berbeda sedikit dengan pemerintah saja sekarang harus hati-hati nanti dibongkar kanan kiri,” ujarnya.
Senada dengan Gus Nadir, Nyai Umdatul Baroroh menegaskan bahwa pesantren harus beradaptasi dengan media digital guna tafaqquh fiddin. “Pesantren harus mulai, mau tidak mau, untuk melek terhadap media digital,” katanya.
Jika tidak melek terhadap media digital, lanjutnya, maka akan mengalami ketertinggalan, terkucilkan, dan terisolir, serta tidak mampu membawa pesantren pada percaturan di tingkat global.
“Untuk seperti itu, pesantren butuh membangun jejaring karena saya menyadari betul pesantren-pesantren tradisional yang masih mempertahankan salaf tidak mudah untuk mengubah pola pikir seperti itu,” pungkas Direktur Pusat Studi Pesantren dan Fiqih Sosial itu.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua