Strategi Dakwah Ulama Sulawesi Awal Abad 20
Kamis, 1 Agustus 2019 | 06:30 WIB
Dalam hasil riset Puslitbang Bimas Agama Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang dilakukan oleh sepuluh anggota tim peneliti (Syarifuddin, Husnul Fahimah Ilyas, La Sakka, Muh Subair, Muh Sadli Mustafa, Wardiah Hamid, Taufik, Muslimin AR Effendi, Bambang, dan Hamzah) menyebutkan bahwa Islam masuk tanah Bugis pertama kali pada abad 17 M. Namun, kedatangan pertama kalinya tidak bertahan lama. Perang Rompegading (1824) yang berkecamuk di pantai barat Sulawesi menghanguskan masyarakat Muslim Sulawesi yang membangkang pada tekanan Kolonial Belanda.
Sejarah perkembangan Islam di tanah Bugis kembali menyongsong kemunculannya pada awal-awal abad ke-20 M. Hasil riset tahun 2018 itu menuturkan lebih lanjut bahwa pada periode ini, Islam masuk ke Sulawesi karena tekanan yang sangat kuat dari Wahabi Makkah kepada ahl al-bayt yang notabenie Ahlussunnah wal Jamaah. Tekanan inilah yang mengakibatkan para Sayid dan Habaib melarikan diri dari tanah Makkah ke belahan negara timur termasuk ke daerah Sulawesi. Meraka adalah Sayid Syekh Umar Al Yamani (terdampar di daerah Parepare), Assayyid Syekh Muhammad Al Akhdal (di daerah Pinrang dan Mandar), Sayyid Syekh Mahmud Al Jawab Al Madani (bersinggah ke Sumatra Timur). Kehadiran meraka di negara timur ini dimanfaatkan dengan menebarkan ajarah agama Islam.
Selain ulama dari ahl a-bait, menurut para peniliti, islamisasi Sulawesi juga dilakukan oleh ulama asli pribumi yang sebelumnya menimba ilmu pengetahuan ke Timur Tengah. Selain itu juga disampikan oleh ulama asal Eropa yang mendedikasikan dirinya untuk menyampaikan ajaran Islam di Nusantara. Di Cikoang (Sulawesi Selatan) angngaji kitta kembali digalakkan oleh Anrongguru Arunda Tuan Ngaru dan Abubakar Tuan Panawang. Di daerah pesisir atau luaran, halaqah-halaqah keagamaan diasuh oleh KH Ahmad Bone.
Strategi Dakwah Ulama Sulawesi dalam Menyiarkan Islam
Ulama yang menempuh metode ini mentransmisikan keilmuan Islam melalui lembaga nonformal. Mereka melakukan proses transfer ilmu pengetahuan melalui pengajian di masjid-masjid, di majelis taklim dan madrasah-madrasah non formal. Dalam konteks hubungannya dengan penjajahan, tulis para peneliti dalam laporannya, mereka melawan seluruh bentuk gerakan kolonialisme dengan basis dan dukungan otoritas lokal. Saat Belanda mendirikan pendidikan khusus putra bangsawan, mereka juga membangun basis pendidikan madrasah lokal. Tokoh penganut metode dakwah ini adalah AGH Muhammad As’ad (membangun MAI di Sengkang) dan Andi Mappanyukki yang menyeponsori secara finansial berdirinya Madrasah Amiriah di Watampone.
Kedua, ulama yang membangun afiliasi dan bersinergi dengan kekuatan politik lokal yang kerap memangku jabatan 'penghulu', 'kadi', atau jabatan lain yang membuat mereka selalu berada di lingkungan istana bahkan menjadi bagian dari elite lokal. Kelompok ini 'lebih bersikap konstruktif dalam berurusan dan bekerjasama dengan pemerintah. Mereka disebut sebagai pihak yang akomodasionis'.
Secara umum, ulama yang memili metode dakwah ini adalah ulama yang memiliki kemampuan dan pemahaman agama yang mumpuni sebagai hasil pembelajaran selama di Makkah.Termasuk dalam golongan ulama yang menempuh jalan ini adalah puang kali Muhammad Ramli di Palopo, atau sebagai hasil menimba ilmu dari ulama lokal, seperti puang kali Abd. Hamid di Enrekang dan AGH Muhammad Hasyim Hasan di Palopo, murid AGH. Muhammad As’ad selama belajar MAI Wajo.
Ketiga, ulama yang memilih jalan dakwah melalui pengembangan pranata kelembagaan yang berbasis pada masjid dan pendidikan pondok pesantren. Strategi dakwah model ini dapat dilihat pada proses penyebaran islam di Campalagian yang berpusat di Masjid Raya Campalagian. KH Abdul Hamid sebagai perintis dibantu oleh Sayyid Alwi bin Abdullah bin Sahl yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya KH Maddappungan bersama seorang ulama dari Makkah Syekh Hasan Yamani. Kolaborasi keduanya melahirkan ulama seperti KH Abdur Rahim, KH Muhammadiyah, KH Muh Zein, KH Mahmud Ismail, KH Najamuddin Thahir, dan lain sebagainya.
Dari ulasan di atas dapat dipahami bahwa strategi dakwah para ulama Sulawesi awal abad 20-an dilakukan dengan cara-cara arif. Artinya, sporses islamisasi yang berlangsung di Nusantara, kususnya di tanah Bugis tidak dilakukan dengan cara-cara represif yang mereduksi tradisi dan budaya lokal setempat.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua