Di sini saya tidak akan mengulas tentang karir beliau. Saya ingin cerita sedikit perihal almarhum sebagai sosok yang kebetulan sempat saya kenal pribadi sejak muda dahulu.
Saya mengenal beliau sekitar awal tahun 80-an di Solo. Saat itu beliau dan beberapa kawan-kawannya setiap malam menemani orang-orang imsonia yang nongkrong di wedangan trotoar sekitar Stasiun Balapan Solo. Tempat tongkrongan itu adalah tempat para kaum jelata berkumpul sekadar wedangan sambil diskusi apa saja ala jalanan dan guyon-guyon bebas.
Saya dikenalkan oleh kakak sepupu saya yang lebih senior dalam dunia persilatan pernongkrongan dan perwedangan malam hari, almarhum Mas Kelik. Mereka berdua sudah bersahabat sebelumnya.
Saat itu kondisi hidup Mas Didik, begitu saya biasa memanggilnya; sangat memprihatinkan. Pekerjaannya ya hanya dari mengamen itu. Semuanya serba tidak menentu termasuk tempat tinggalnya.
Tapi yang saya rasakan saat itu, bermusik dengan cara mengamen bagi dia bukan sekadar upaya untuk bertahan hidup tapi jauh lebih besar dari itu. Mas Didik memang sangat mencintai musik, terutama keroncong dan campursari. Di samping suaranya indah, ia juga piawai mengkompose musik. Beberapa masterpiecenya ya lahir dari situ antara lain 'Setasiun Balapan' dan 'Sewu Kutho'.
Lagu-lagu itu ia ciptakan di era waktu itu ketika hidupnya benar-benar masih 'sengsara'. Kelebihan dia disamping dianugerahi kecerdasan lebih, ia memiliki kepekaan hati yang dalam.
Saat itu grup musik ngamen mereka itu dinamakan Kelompok Pengamen Trotoar, disingkat Kempot. Dari situlah nama itu terus melekat pada dirinya.
Satu hal yang saya saksikan tidak berubah pada dirinya setelah sekian tahun, mulai dari 'nobody' hingga menjadi mega bintang yang super tenar: Ia tetap ramah, sangat rendah hati dan tidak pernah mengeluh dengan apapun yang terjadi.
Ia juga sosok yang sangat setia kawan dan ringan tangan. Membantu kawan-kawannya yang kesusahan sudah jadi kebiasaannya.
Saya sangat mengaguminya luar dalam karena ia orang yang selalu mempu melihat sisi terang dari hidup ini yang ia pancarkan melalui raut mukanya yang senantiasa tersenyum.
Bahkan 'patah hati' yang bagi kebanyakan orang merupakan 'tragedi', bagi Mas Didik itu bisa diubah jadi 'kebahagiaan kolektif bersama'.
Bagi saya, Mas Didik Kempot ini contoh manusia yang paripurna. Umat Tuhan yang mampu melewati semua proses hidupnya dengan sangat baik, dengan penuh rasa syukur.
Saya amati, kuncinya adalah ia mampu senantiasa menyimpan serta membagikan sekeping cinta yang selalu ia dekap erat di dadanya.
Mungkin dalam bahasa santri, Mas Didik ini bisa dikategorikan seorang sufi sejati.
Selamat berpulang Mas Didik. Terima kasih atas taburan cinta tulusnya untuk bangsa ini.
Priyo Sambadha, Sahabat Ambyar
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua