Opini

Gus Dur dan Peneguhan Negara Bangsa

Kamis, 19 September 2019 | 14:30 WIB

Gus Dur dan Peneguhan Negara Bangsa

Lukisan Gus Dur karya Nabila Dewi Gayatri.

Oleh Fathoni Ahmad
 
Pergolakan dalam membangun negara dengan segala sistemnya telah mewarnai bangsa Indonesia dari masa ke masa. Hal itu terlihat ketika sejumlah kelompok berupaya melakukan pemberontakan agar sistem yang menjadi cita-citanya diterapkan di Indonesia. Namun, berkat briliannya para pendiri bangsa dengan pemikiran moderat dan terbuka membuat masyarakat Indonesia tetap bersatu sebagai sebuah negara bangsa dengan fondasi kokoh Pancasila.

Pancasila merupakan dasar negara untuk memperkuat negara bangsa (nation state). Hal ini terus diperjuangkan di antaranya oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena secara kultur dan kemajemukan, rakyat Indonesia lebih tepat untuk hidup bersama yang diikat oleh konsensus kebangsaan. Bukan negara agama, bukan juga negara yang memisahkan diri dari agama (sekuler). (Baca Nur Khalik Ridwan, Negara Bukan-Bukan: Prisma Pemikiran Gus Dur tentang Negara Pancasila, 2018)

Karena Indonesia bukanlah negara agama tetapi negara orang-orang beragama dan bukan pula negara sekuler, Almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi pernah melontarkan guyonan bahwa negara Indonesia adalah ‘negara yang bukan-bukan’.

Gus Dur merupakan tokoh Muslim yang banyak menginspirasi masyarakat Indonesia akan arti kebangsaan yang harus terus dijaga, dirawat, dan dimajukan demi kehidupan kemanusiaan yang lebih luas. Gus Dur bersama ulama-ulama pesantren juga menggagas penerimaan negara Pancasila di kalangan Muslim serta bangsa Indonesia sambil memberi catatan-catatan dan isi yang progresif.

Muktamar NU 1984 menjadi tonggak sejarah bagi NU, organisasi para kiai pesantren ini untuk kembali ke Khittah 1926. NU menegaskan diri sebagai Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) sesuai amanat pendirian organisasi pada 1926, bukan lagi sebagai organisasi politik praktis.

Dalam Muktamar itu ada tiga komisi, salah satunya adalah Komisi Khittah yang membahas paradigma, gagasan dasar, dan konsep hubungan Islam dan Pancasila. Dua komisi lain membahas tentang keorganisasian yang dipimpin oleh Drs Zamroni dan Komisi AD/ART dipimpin oleh KH Tholhah Mansur. Dengan jumlah anggota rapat komisi yang cukup banyak, mereka membahas secara terpisah di tempat yang berbeda.

Gus Dur memimpin subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila. Salah seorang cucu Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari  (1871-1947) ini kemudian menunjuk lima orang kiai sebagai anggotanya, yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri dari Rembang, KH Hasan dari Medan, KH Zahrowi, KH Mukafi Makki, dan dr Muhammad dari Surabaya.  (Baca KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)

Gus Dur membuka rapat dengan bertanya kepada anggotanya satu per satu soal pendapatnya tentang hubungan Islam dan Pancasila. Mereka menyampaikan pandangannya terhadap satu per satu sila dalam Pancasila disertai sejumlah argumen keagamaannya. Gus Dur mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian.

Pada dasarnya, Pancasila menurut para kiai dalam subkomisi ini tidak bertentangan dengan Islam, justru sebaliknya sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Pancasila itu Islami,” simpul mereka seperti diungkapkan Gus Mus.

Usai mereka menjawab, Gus Dur berkata, “Bagaimana jika ini (Pancasila itu Islami, red) saja yang nanti kita sampaikan, kita deklarasikan di hadapan sidang pleno Muktamar?” tanya Gus Dur. Tanpa pikir panjang, mereka setuju, sepakat bulat, lalu rapat ditutup. “Al-Fatihah!” Menurut pengakuan Gus Mus, kala itu Gus Dur tersenyum manis, ya manis sekali.

Lalu Gus Mus memberikan kesaksian, “Gus Dur hebat sekali. Rapat untuk sesuatu yang mendasar dan pondasi bagi penataan relasi kehidupan berbangsa dan bernegara hanya diputuskan dalam waktu 10 menit! Sementara komisi yang lain rapat sampai berjam-jam bahkan hingga subuh untuk memutuskan pembahasan sesuai bidangnya masing-masing.”

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Gus Dur melihat perlunya dikembangkan pemikiran untuk mencari nilai-nilai dasar bagi kehidupan bangsa. Nilai-nilai dasar itu bisa ditarik dari dua arah. Pertama, nilai-nilai agama dan kepercayaan, karena ajaran agama akan tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila.

Kedua, bisa juga dilihat dengan cara bahwa agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai ‘polisi lalu lintas’ yang akan menjamin semua pihak bisa menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali.

Penulis adalah Redaktur NU Online