Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Globalisasi mengubah semuanya. Dunia ibarat desa: tak ada lagi sekat. Jarak dan waktu seakan dapat dipangkas. Dan bahkan, kebudayaan ingin diseragamkan: yang baik adalah apa saja yang datang dari Barat (Eropa).
Dari sisi identitas, banyak orang desa sudah memakai "nama modern" sejak tahun 90-an. Misalnya, banyak anak-anak atau remaja hari ini bernama Ronaldo atau Maria Mercedes. Sulit mencari nama Joko atau Juwariyah.
Dari makanan, orang Indonesia seleranya sudah beralih ke Pizza Hut atau Dunkin’ Donat, minumannya Coca-Cola, Fanta atau kopi Starbucks. "Tak ada" selera, kebanggaan (dan pengembangan) makanan tradisional semisal lotek, pecel-lele, bakso atau soto.
Dari sisi busana (fashion), pakaian adat hanya dipakai dihari-hari tertentu, semisal karnaval, hari Kartini atau seremoni pernikahan. Jangankan pakaian Jawa adat, pakaian sehari-hari saja, semisal jarit, sudah tidak dipakai. Hari ini yang masih memakainya adalah para nenek. Seperti nenek saya: beliau memakai pakaian Jawa, pakai kendit di perutnya dan bertapih kain jarit. Ibu saya sudah tidak - juga generasi yang seusia ibu saya. Untungnya, ibu terselamatkan, tidak meniru gaya beberapa anak muda yang kemana-mana memakai baju you can see dan rambutnya dicat pirang ala bule.
Kemudian, soal kesenangan (fun), juga kita semua berkiblat ke Barat. Permainan anak-anak semisal gerobak sodor, petak umpet, kelereng, dll, terganti kemewangan game online da gadget masa kini. Musik juga demikian. Anak-anak muda merasa minder dengan lagu atau tembang Jawa. Yang keren mesti yang Inggris-inggris, semisal Mariah Carey, Justin Bieber atau Adelle. Waljinah, Rhoma Irama atau Didi Kempot hampir tak ada tempat lagi di sini.
Dalam budaya bahasa, lebih parah lagi. Bahasa Indonesia yang fungsinya sebagai bahasa persatuan, malah dijadikan bahasa idetitas dan kebanggan semu. Wajarlah jima bahasa Jawa (entah daerah lainnya, saya kira sama), kini diambang kepunahan. Orang merasa tidak pede memakai bahasa Jawa, yang seringkali di televisi dikesakan katrok dan diperankan pembantu. Parahnya lagi, pemerintah merasa tidak perlu memikirkan ini untuk masuk kurikulum dan penting.
Ketika kelak sampai pada orang hanya memakai dua bahasa, yaitu Indonesia (sebagai bahasa persatuan) dan Inggris (sebagai bahasa Internasional), kita tidak memiliki ciri khas lagi sebagai Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Kita tidak bisa lagi memakai bahasa sebagai perlawanan budaya, seperti jaman penjajahan dulu, dimana bahasa Jawa, Sunda, dan bahasa daerah lainnya bikin penjajah pusing karena tak paham.
Globalisasi memang memiliki nilai kebaikanya, misalnya banyak melahirkan produk sains dan teknologi mutaakhir. Meski begitu, globalisasi ini tak semuanya baik. Dari itulah perlu ada pembedaan antara modernisasi dan westernisasi. Mana yang modern dan mana yang Barat mesti dipilah, sebagaimana perlu dipilah mana yang Islam dan mana yang Arab. Juga mana yang baik dan yang buruk mesti diolah. Kalau tidak, unsur budaya Nusantara yang hidup sekian ratus tahun, perlahan menemui ajalnya.
Namun, ada yang tak berubah di Nusantara, ditengah gelombang ini. Bahkan, seorang pengamat dari luar negeri tercengang kaget, ketika melihat "seluruh" dunia berubah, tapi ada yang "tidak" berubah.
Apa itu?
Jawabannya adalah pesantren atau santri. Betapa, ketika seluruh dunia sudah seragam, pesantren masih memakai kitab gundul; memakai makna gandul berbahasa Jawa utawi-iki-iku, berpakaian khas sarung-peci, serta ketundukan yang tinggi pada sang kiai, laksana sebuah kerajaan (monarki-feodal). Jangan pernah berpikir monarki itu pasti buruk, sila lihat hari ini negara yang "maju" menurut narasi modern berbentuk apa. Hal ini pernah disampaikan Kiai Agus Sunyoto dalam suatu ceramahnya. Intinya, budaya Jawa (atau Sunda dan lainnya) begitu dijaga santri.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan dan kebudayaan - yang disebut Gus Dur sebagai subkultur Indonesia - pesantren dapat memilih dan memilah. Dengan tagline menjaga nilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih baik, pesantren (santri dan kiai) mampu menjadi bandul penyeimbang antara masa lalu dan masa kini, dan dinamisator antara budaya lokal, Arab dan Barat. Kini, pesantren mulai berbenah, tak larut dalam masa lalu, namun tak hanyut ke masa kini.
Selain menjaga tradisi dan nilai lama, dewasa ini pesantren sudah banyak mendirikan perguruan tinggi. Semejak tahun 80-90 juga banyak santri yang kuliah, meski jurusan keagamaan di (UIN/STAIN/STAIS) masih tetap mendominasi karena konteks kebutuhan dan sejarah waktu itu. Kini tren alumni pesatren tak harus jadi kiai atau pendakwah mulai tumbuh dan berbuah. Santri banyak yang jadi pejabat, politisi, pengusaha, teknokrat, arsitek, jurnalis, artis, peman bola, dll. Mereka tersebar dan bergerak dibeerbagai leading sector.
Prediksi saya, puncak kejayaan santri, pesantren atau Islam Nusantara adalah ketika kelak (sebagian sudah) membuka jurusan "ilmu umum" yang kini para santri kebanyakan masih memungutnya di PTN.
Ya, jika pesantren yang membuka, kelak tak ada dikotomi ilmu agama atau ilmu umum. Minimal pembagian ilmu ala Al-Ghazali: fardlu ain dan fadlu kifayah. Jika tidak, maka menunggu santri pembaharu atas kurikulum pedidikan kita yang terbagi dalam dua "kubu" besar: dunia dan akhirat. Pendidikan yang ada dibawah Kementerian Pendidikan dan di bawah Kementerian Agama. Keduanya mesti dioplos dan menjadi "varian baru" yang komprehenesif (tak ada pendikotomian), seperti masa Ibnu Sina, Ibnu Thufail dan Al-Farabi, dll., di abad pertengahan.
Di situlah, natinya filsafat Islam dan filsafat modern bertemu dan dipertemukan, yang tentunya dimenangkan filsafat Islam, dimana secara ontologis, ilmu dan pengetahuan sudah jelas arahnya: Tuhan. Sehingga, nantinya para ilmuan, politisi, doktor, intelektual, profesor dan orang pinter lain, tidak seperti yang terjadi di Barat sekarang (dan sebagian Indonesia): menggunakan ilmunya untuk sekadar mencari benda materiil-duniawi dengan cara kotor: menguasai, menindas dan menghancurkan, setelah bertahun-tahun mengaisnya di bangku pendidikan.
Penulis, santri, mantan aktivis IPNU Jateng, editor situs nubackpacker.org