Oleh Zastrouw Al-Ngatawi
Tulisan ini tidak bermaksud memebesar-besarkan peran NU dalam proses berbangsa dan bernegara, tapi sekadar memaparkan apa yang dilakukan NU dalam menjaga keutuhan bangsa sekaligus mencerdaskan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Ada beberapa jejak kultural yang sangat strategis yang dilakukan NU dalam konteks ini. Selain perannya dalam mendirikan NKRI, perjuangan fisik merebut dan mempertahankan kemerdekaan sampai memepertahankan Pancasila sebagai dasar negara NU juga berperan membangun budaya toleran dan sikap pluralis.
Dalam konteks kekinian, upaya NU menjaga keberagaman dan keutuhan bangsa dibuktikan melalui penerimaan demokrasi, pluralisme dan toleransi dengan memberikan posisi dan hak yang sama setiap warga negara di depan hukum. Semua ini diyakini oleh warga NU sebagai cerminan nilai dan ajaran Islam.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur demokrasi, pluralisme dan toleransi dijalankan secara nyata dan konsekuen. Hal ini dibuktikan dengan pembelaan NU pada hak-hak minoritas yang dilanggar dan diabaikan. Berlaku tegas terhadap umat Islam yang melakukan pelanggaran terhadap konstitusi dan ideologi negara, sekali pun hal itu dilakukan atas nama syariat dan agama. Melalui NU, Gus Dur benar-benar ingin menunjukkan keunggulan dan kemuliaan ajaran Islam dengan menebar kebaikan pada sesama dan konsisten pada perjanjian yang sudah disepakati bersama yaitu Pancasila.
Dalam konteks ini Gus Dur ingin membuktikan bahwa rahmatan lil 'alamin itu bukan sekadar slogan tapi harus harus terwujud dalam laku hidup. Inilah yang membuat Gus Dur bisa berhubungan baik dengan non-muslim, blusukan di tempat-tempat ibadah umat lain. Bahkan Gus Dur memerintahkan Banser untuk menjaga gereja. Dengan cara ini umat lain juga bisa menerima keberadaan umat Islam secara senang dan bahagia tanpa rasa takit dan tertekan. Sehingga hubungan persaudaraan yang tulus antara sesama warga bangsa bisa tercipta sekalipun beda agama dan keyakinan.
Untuk melakukan hal ini bukanlah pekerjaan mudah karena Gus Dur dan NU pada umumnya mendapat tantangan bahkan hinaan dan caci maki dari kelompok Islam lainnya. Masih terngiang hingga saat ini bagaimana Gus Dur dituduh sebagai antek Zionis, agen Israel, kiai liberal dan sebagainya. Tudingan yang tidak kalah nista juga diberikan pada NU dan neven-nevennya, mislnya dituduh disusupi kaum liberal, antek kafir, centheng gereja dan sejenisnya.
NU juga dianggap membela orang kafir, karena bersikap keras pada sesama muslim tapi bersikap lunak dan bermesraan dengan orang kafir. Yang lebih menyakitkan para kiai sepuh yang jadi panutan warga NU difitnah dan dicaci dengan bahasa kasar dan keji. Hampir setiap hari warga NU dikafir-kafirkan, ibadahnya dianggap sesat dan berbagai bid'ah. Tapi semua itu dihadapi dengan sabar dan tabah oleh para kiai dan warga NU.
Sekarang ini, jejak perjuangan NU telah membuahkan hasil. Dulu orang-orang dan kelompok yang menuduh NU liberal karena menyebar kebaikan di gereja, sekarang mereka sudah mengikuti jejak NU. Tidak tanggung-tanggung bahkan mereka sudah mengundang orang nonmuslim masuk ke dalam masjid dan menjadikannya sebagai penceramah dan ustadz. Padahal sebelumnya hal ini merupakan sesuatu yang tabu dan sangat terlarang, sebagaimana yang terjadi pada kasus Ahok yang dilarang masuk mesjid karena nonmuslim, meski untuk menjalankan tugas negara.
Kelompok yang mengaku anti-liberal ini sekarang juga sudah menerima pemikiran liberal dengan penuh suka cita. Bahkan menjadi pembela yang sangat gigih kepada orang yang berani menyatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Sudah bisa menerima pemikiran bahwa demokrasi untuk orang yang rasional sedangkan agama untuk orang irrasional. Ini merupakan perubahan sikap yang luar biasa. Bahkan NU sekali pun masih memperdebatkan pemikiran tersebut.
Demkian juga pada hal-hal yang lain misalnya mereka sudah mau berkumpul dengan saudara sebangsa para keturunan PKI. Mereka tidak lagi menganggap para keturunan dan eks anggota tapol itu sebagai musuh tetapi teman dalam memperjuangkan kepentingan politik bersama. Meski tidak terucap secara eksplisit namun secara implisit mereka telah mengakui kesamaan hak para eks PKI dan keturunannya. Suatu kemajuan sikap yang perlu disyukuri.
Apa yang terjadi menunjukkan jejak perjuangan NU telah berhasil diikuti oleh umat Islam Indonesia lainnya. Hanya saja persoalannya adalah perubahan sikap tersebut terjadi karena tumbuhnya kesadaran berbangsa sebagaimana yang terjadi pada warga NU atau sekadar basa-basi karena demi keuntungan politik. Dengan kata lain penerimaan pada nonmuslim, pemikiran liberal, keturunan dan eks PKI itu karena semata kalkulasi politik atau karena dorongan semangat kebangsaan yang tulus.
Jika perubahan sikap ini karena semata kepentingan politik, maka tugas NU mendidik bangsa ini masih berat. Karena jejak-jejak perjuangan NU untuk mentransformasi pemahaman ajaran Islam dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum terlaksana dengan baik di luar warga NU. Ini merupakan agenda kebangsaan NU yang serius. Ke depan NU perlu mentransformasikan pemahaman keislaman yang paralel dengan kebangsaan yang sudah tertanam kokok di kalangan warga kepada umat lain di luar NU
Agenda berikutnya yang tidak kalah penting adalah merumuskan strategi dakwah yang efektif dan akurat agar pemahaman keagamaan NU bisa diterima oleh umat Islam di luar NU, terutama generasi milenial. Sebagaimana yang terjadi saat ini banyak generasi muda Islam Indonesia yang terpapar pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan konteks sosiologis kultural bangsa Indonesia sehingga rawan menimbulkan konflik dan perpecahan. Sementara pemahaman keislaman ala manhaji Alussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyyah yang sesuai dengan konteks keindonesiaan justru kurang dipahami oleh generasi muda. Ini merupakan agenda penting NU pada usianya yang ke 93 tahun.
Agenda lain yang tidak kalah penting adalah menata sistem perekonomian yang bisa meningkatkan taraf kesejahteraan warga NU. Sebenarnya NU memiliki kapital sosial dan kultural yang melimpah yang bisa dikonversi menjadi kapital ekonomi (Boudieu, 1986). Proses konversi ini harus dilakukan secara sistemik agar hasilnya bisa dinikmati warga secara keseluruhan tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit.
Inilah beberapa tantangan NU ke depan yang harus dijawab dengan merumuskan agenda kerja yang efektif, strategis dan fungsional. Dengan cara ini jejak-jejak kultural perjuangan NU akan semakin jelas terlihat dan terasakan. Dirgahayu NU...!!!
Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta