Opini

Kemiskinan Kontekstual dan Tugas NU

Senin, 9 Oktober 2017 | 06:01 WIB

Kemiskinan Kontekstual dan Tugas NU

ilustrasi: upgraders.org

Oleh Aswab Mahasin

Kemiskinan merupakan ancaman sosial dan bisa berefek pada keberagamaan manusia. Tidak sedikit manusia putus asa dan murka dikarenakan kondisi ekonominya carut marut. Walaupun dalam hal ini masalahnya adalah kualitas iman dan Islam seseorang. Sering kita dengar celoteh. “Shalat terus tidak kaya-kaya, sedangkan mereka tidak shalat menjadi kaya.” 

Sebenarnya, bukan masalah shalat atau tidak shalat lantas kemudian orang menjadi kaya, melainkan etos kerja, kreativitas, dan sejenisnya. Kalau kita kembalikan kepada hakikat penciptaan manusia, manusia telah difasilitasi kondisi alam yang kaya raya, dan manusia telah difasilitasi akal budi oleh Allah, dan Allah menyuruh kita untuk memaksimalkan potensi kreatif kita. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” 

Melihat data per Maret yang dilansir oleh banyak media, mengatakan, “Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin, yakni penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan, di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk).” 

Lanjut menurt BPS, angka tersebut bertambah 690 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016, sebesar 27,76 juta orang (10.70 persen). Secara presentase angka kemiskinan mengalami penurunan, tetapi jumlah angka tersebut mengalami kenaikan. Pertumbuhan penduduk yang naik tiap tahun menambah deretan jumlah penduduk Indonesia yang miskin.

Di samping itu, secara ekonomi, dikarenakan oleh tingkat penghasilan yang makin lemah, sedangkan harga-harga barang terus-menerus naik. Secara sosial, ditandai oleh lemahnya solidaritas sosial. Secara politik, ditandai oleh meluasnya konflik para elite politik, hanya mementingkan kekuasaan dan kepentingan partainya. Secara budaya, ditandai oleh kecenderungan kekuatan otot mengalahkan kekuatan nalar, sehingga nalar sebagai pusat mengalirnya kreativitas mengalami kekeringan. Secara hukum, ditandai oleh makin meluasnya masyarakat yang tidak taat aturan dan kebiasaan main hakim sendiri. Sedangkan, kemiskinan keagamaan munculnya gesekan, tindak kekerasan, dan pembunuhan “atas nama agama”. (Prof. Dr. Musya Asy’arie, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, 2000, hlm. 65).

Dari penjelasan di atas telah jelas, kemiskinan diakibatkan oleh banyak faktor—susah untuk diurai. Artinya, kemiskinan tidak mungkin disolusikan dengan satu pendekatan saja (ekonomi), melainkan harus menggunakan banyak pendekatan/berbagai aspek. Selagi Indonesia tidak kondusif, secara sosial, budaya, hukum, politik, dan agama—sepertinya “mimpi di siang bolong” mengurangi angka kemiskinan. 

Paling disayangkan adalah, ‘kemiskinan milenial’ (dialami oleh kalangan muda), terlahir dari keluarga tidak mampu dibarengi dengan tuntutan pergaulan hedonis, seringkali membuat mereka terjebak “gengsi sosial”. Akhirnya, jalan pintas menjadi caranya untuk menyelesaikan permasalahan gengsi. Tidak sedikit di antara anak sekolah tingkatan menengah atau mahasiswa/i, terjun ke “dunia gemerlap” demi mendapatkan uang (membeli gengsi). 

Ambil contoh, website yang baru saja diblokir pemerintah (nikahsirri[dot]com), baru satu hari dilaunching sudah banyak yang mendaftar, dan website itu menampung para wanita, yang putus sekolah/kuliah untuk dinikahkan sirri dengan para bos-bos berduit. Itu yang dinyatakan oleh pembuat website.  

Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits menyampaikan, “kada al-faqru an-yakuna kufran” (hampir-hampir kemiskinan menjadikan kekufuran). Penjelasan di atas adalah salah satu contoh, kemiskinan bisa menjerumuskan manusia pada lubang hitam. Tidak hanya itu, tidak sedikit fenomena sosial, seperti; pencurian, jambret, maling, kejahatan, dan sebagainya, di awali dari kemiskinan.

Dalam konteks ini, seorang Muslim hakikatnya mempunyai keharusan berusaha terus-menerus agar mencapai tingkat kemampuan berlebih, memungkin mereka mampu menyempurnakan rukun-rukun Islam yang lima. Indonesia dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim, suatu keharusan terus mencoba berpikir dan bertindak—melepas belenggu kemiskinan yang menjerat masyarakat Indonesia. Ini merupakan tantangan bagi komunitas Muslim di Indonesia sendiri. Bagaimana mereka melakukan sebuah instrumen dalam membantu saudaranya.

Seperti yang dikatakan oleh Hasan Hanafi dalam Al-Yasar al Islami (Kiri Islam), “bahwa kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertindasan umat Islam merupakan tantangan terbesar yang mesti dijawab”

Menurut Bachtiar Chamsyah, kemiskinan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang memiliki dua dimensi, pertama, kemiskinan non-fisik, yang meliputi dimensi moral, etika, akhlak, dan mental—yang kemudian memperlemah daya saing sumber daya manusia Indonesia; kedua, kemiskinan fisik, yang lazim disebut kemiskinan ekonomi atau struktural. Jadi, krisis yang berwajah multidimensi di berbagai bidang kehidupan selama beberapa tahun belakangan ini semakin menutup jalan keluar bagi kemiskinan.

Meski persoalan penanggulangan kemiskinan cukup berat dan sulit. Bisa kita lihat, tidak sedikit usaha yang dilakukan oleh pemerintah, begitupun para tokoh dalam menggenjot potensi ekonomi rakyat. Namun, kita tidak boleh berhenti apalagi mundur. Minimal saling tolong menolong yang kita lakukan terhadap tetangga kita yang kurang mampu, menjadi bagian solusi pendek yang kita lakukan.

Bagi seorang Muslim, baiknya kita merenungkan pesan Nabi Muhammad SAW, melalui salah satu haditsnya ibda’ bi nafsika, mulailah dari diri kamu sendiri. Kita tidak harus menunggu pemerintah atau organisasi dalam menyelesaikan masalah ini, semua hal tersebut harus diawali dari kesadaran kita terhadap lingkungan sosial kita. Menurut Musya Asya’ari paling tidak, mulai dari jiwa kita untuk tidak miskin, karena jiwa yang miskin akan melahirkan tindakan yang miskin pula. 

Islam sebenarnya sudah mempunyai banyak cara untuk menanggulangi kesenjangan ekonomi, melalui zakat, sedekah, waris, dan sebagainya. Ajaran tersebut sebagai media berbagi untuk umat Islam terhadap kebanyakan manusia yang kekurangan. Selain itu, ajaran tersebut juga sebagai sarana mencegah penumpukan modal/harta dari tahun ke tahun/dari generasi ke generasi (sudah banyak konsep yang diterangkan oleh banyak pakar), karena di dalam harta kita ada hak orang lain. Nabi Muhammad SAW menegaskan, “yadu al-ulya khairun min-yadi al-sufla” (Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah).  

Kembali lagi dengan pernyataan, umat Islam di Indonesia jumlahnya begitu besar, sesungguhnya jika digali lebih dalam merupakan potensi ekonomi yang luar biasa, dan sudah waktunya kita tidak melulu menjadi konsumen, melainkan diusahakan menjadi produsen. Dan NU sebagai organisasi yang memiliki basis massa 80 juta lebih, harus terus menerus giat dan fokus menggenjot ekonomi rakyat. Minimal memberikan solusi dalam pengajaran pendidikan kewirausahaan dan penyaluran modal, sekaligus dengan pendampingannya. Terutama kemiskinan-kemiskinan konstekstual saat ini yang berwajah multidimensi dengan berbagai masalahnya. Kalau bukan NU, siapa lagi. 

Saya tutup dengan Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 268, “Setan menjanjikan kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat jahat, sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia (kekayaan dan balasan pahala. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), lagi Maha Mengetahui.”


Penulis, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah