Opini

Keyakinan

Jumat, 30 September 2005 | 06:48 WIB

A. Mustofa Bisri

Salah satu hak manusia paling asasi ialah keyakinan. Kita bisa mengajak orang untuk meyakini apa yang kita yakini, tapi tak bisa memaksakannya. Nabi Ibrahim a.s. dengan segala kebijaksanaannya tidak bisa membuat ayahnya sendiri meyakini keyakinannya, meski keyakinannya itu adalah benar. Nabi Luth a.s. dengan segala kesantunannya, tak mampu membuat isterinya sendiri mengimani apa yang diimaninya, meski keyakinannya itu benar. Demikian pula Nabi Nuh dengan segala kewibawaannya tak dapat membuat iman istri dan anaknya.. Sebaliknya Firaun dengan segala kekuasaan dan keganasannya, tak mampu memaksakan kepercayaannya kepada Asiya, isterinya sendiri. (Lihat contoh yang diberikan Allah dalam Q. 66: 10-11).

<>

Mau contoh lagi? Nabi Muhammad saw dengan segala kearifan, kesantunan, kewibawaan, keamanahan, kefasihan, dan kasihsayangnya, tak mampu membuat iman pamannya sendiri. Bahkan paman yang sekaligus tetangga dekat dan pernah berbesanan dua anak (‘Utbah Ibn Abdul ‘Uzza Ibn Abdul Muthalib atau yang terkenal dengan Abu Lahab pernah menjadi suami Ruqayyah puteri Nabi Muhammad dan anaknya yang lain, ‘Utaibah menjadi suami Puteri Rasulullah yang lain, Ummi Kultsum. Keduanya menceraikan isteri-isteri mereka atas perintah Abu Lahab), sangat memusuhi Nabi.

Ketika Nabi Muhammad saw seperti hendak ‘memaksa’ karena --dan dengan-- kasih sayangnya yang agung, Allah yang mengutusNya justru memperingatkan: “Innaka laa tahdii man ahbabta, walaakinaLlaha yahdii man yasyaa…” Sungguh engkau tidak akan dapat memberi hidayah (membuat iman) orang yang engkau sayangi (sekali pun); tapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Ia kehendaki.. (Q.28: 56).

Hidayah adalah hak prerogratif Allah. Kita hanya bisa mengajak orang meyakini kebenaran yang kita yakini benar; tapi orang yang kita ajak itu terajak atau tidak bukanlah di tangan kita. Apabila dengan kasih sayang saja, Rasulullah saw tidak mampu ‘memaksakan’ keyakinan kebenaran bahkan kepada orang yang paling dekat, apalagi pemaksaan dengan kebencian.

Sebagai orang Islam, saya berkewajiban mengajak orang untuk meyakini kebenaran Islam. Mengajak ke jalan Tuhan Yang Maha Esa. Dan Allah sendiri telah memberi arahan bagaimana cara mengajak ke jalanNya. Yaitu dengan hikmah, dengan bijaksana dan nasehat yang baik; bila perlu berbantahan, berbantah dengan cara yang lebih baik lagi. Tuhan lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalanNya. Apabila disakiti, membalas pun harus sama tidak berlebih. Namun apabila bersabar, justru lebih baik. ( Baca Q. 16: 125-126).

Saya tidak mungkin bisa mengajak dengan bijaksana apabila saya mengedepankan nafsu saya sendiri. Saya harus berpikir cermat bagaimana agar ajakan saya tidak justru membuat orang lari dari jalan Allah. Satu dan lain hal, karena orang tidak hanya mendengarkan tuturan saya, melainkan lebih melihat kelakuan saya. Meskipun ajakan saya secara lisan benar dan baik, apabila perilaku saya tidak mendukung, apalagi malah berlawanan dengan ajakan saya itu, tentu malah cemoohan yang akan saya dapat.

Saya meyakini agama saya adalah agama yang benar, agama yang penuh kasih sayang, rahmatan lil ‘aalamiin tapi saya tidak cukup hanya menggembar-gemborkan hal itu kesana-kemari, sementara perilaku saya justru tidak mencerminkan kebenaran; tidak mencerminkan kasih sayang sebagaimana dicontohkan pemimpin agung saya, Nabi Muhammad saw.

Karena rahmat Allah, Nabi Muhammad saw berperilaku lemah-lembut kepada orang. Seandainya beliau kaku dan kasar budi, firman Allah, pastilah orang-orang akan lari menjauhi beliau. (Baca Q. 3: 159). Dan otomatis Islam pun akan dijauhi.

Syukurlah, Rasulullah saw seperti dicatat sejarah, adalah pribadi teladan yang benar-benar lemah-lembut, penuh kasih sayang, pemurah, dan penuh perhatian. Beliau tidak hanya menebar cahaya kebenaran, tapi juga menabur kasih sayang, dan menyebar kedamaian. Kehadiran beliau benar-benar

Bagi orang Islam, terutama yang ingin mengajak ke jalan Allah dan memuliakan agamaNya, tidak ada yang lebih baik daripada mengikuti jejak dan contoh Nabi Muhammad saw. Dan mengikuti jejak serta mencontoh Nabi Muhammad saw, kiranya tidak terlalu sulit bagi mereka yang benar-benar manusia, yang mengerti manusia, dan memanusiakan manusia. Karena Rasulullah saw adalah manusia paling manusia, yang amat paham manusia, dan sangat memanusiakan manusia. Itulah sebabnya, seandainya pun –dalam menegakkan kebenaran-- beliau pernah membenci manusia yang tidak benar, tidak pernah kebenciannya membawanya untuk berlaku tidak adil sesuai firman Tuhan yang mengutusnya. (“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangalah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong