Opini

Mekanisme Pen-caleg-an dan Tantangan Perempuan NU

Ahad, 21 September 2008 | 23:00 WIB

Oleh Ai Maryati Shalihah

Euforia terakomodasinya kuota 30 persen bagi keterwakilan politik kaum perempuan dalam Undang-Undang (UU) Paket Politik, terutama UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), menuai konsolidasi dan penyisiran di seluruh partai politik untuk menjaring kader perempuan berlaga di panggung politik Pemilu 2009. Bahkan, sanksi bagi partai yang belum memenuhi acap kali diumumkan penyelenggara Pemilu kepada media dan khalayak sampai pada pengembalian berkas calon anggota legislatif (caleg) dan gagal verifikasi. Iklim demokrasi sudah meningkat dari menyertakan sekurang-kurangnya caleg perempuan menjadi keharusan pemenuhan kuota caleg perempuan.

Sejalan dengan tahapan penyelenggaraan dan memanasnya eskalasi politik, sistem penetapan caleg dengan nomor urut atau secara khusus zipper (3:1) sebagai mekanisme penetapan caleg perempuan sepertinya mulai terganggu. Indikasinya terlepas dari akomodasi ruang politik perempuan, gelombang penetapan caleg menjadi wacana tersendiri untuk mengalami perubahan, dari penetapan nomor urut menjadi penetapan suara terbanyak. Hal itu tercermin dalam rencana revisi terbatas yang dimaksudkan memberikan peluang bagi partai politik untuk menetapkan calon terpilih berdasarkan kesepakatan internal partai.<>

Sementara, Pasal 214 UU Pemilu mengatur calon terpilih berdasarkan kombinasi antara perolehan suara 30 persen Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dan nomor urut jika tidak ada calon yang memenuhi ketentuan BPP tersebut. Tentu hal ini memancing usaha para politisi setiap parpol untuk bermanufer kembali sesuai kepentingan masing-masing.  Zipper akan menjadi semangat yang sia-sia dan dapat dirontokkan jika benar dikabulkan desakan amandemen UU tersebut.

Menurut Hardly Stefano, Ketua Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (LKPMM), penentuan calon anggota DPR/DPRD terpilih berdasarkan nomor urut, pada awalnya dapat diterima karena ada dua logika politik yang dikedepankan pada saat pembahasan UU Pemilu. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada parpol untuk membangun dan menata sistem internal kepartaian. Khususnya berkaitan dengan rekrutmen kader, kaderisasi, serta penugasan kader.

Logika politik kedua, mencegah agar demokrasi tidak terjerumus pada plutokrasi atau demokrasi para orang berduit. Karena dengan sistem nomor urut diharapkan partai politik dapat menyusun strategi dan konsep kerja pemenangan pemilu secara gotong-royong, dan yang menjadi ukuran penyusunan caleg adalah berdasarkan loyalitas, pengabdian, serta kinerja kader.

Politik perempuan NU

Menurut penelitian kajian wanita Universitas Indonesia (UI), Jakarta, total pemilih pada 2008 adalah 154.741.787 jiwa, terbagi dalam perempuan 76.659.325 jiwa dan laki-laki 78.082.462 jiwa. Potensi pemilih perempuan sangat berarti, jumlahnya sama dengan pemilih laki-laki. Namun, potensi tersebut belum diberdayakan maksimal oleh partai politik. Kondisi sebagian besar perempuan yang masih terpuruk menunjukkan perempuan masih menjadi kelompok yang terpinggirkan secara politik, sosial dan ekonomi.

Hal ini dirasakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama (NU), dengan memaksimalkan perempuan sebagai pemilih kritis dalam pemilu. Badan otonom seperti Fatayat NU dan Muslimat NU mengedepankan corak gerakan sosial yang peka terhadap isu-isu perempuan dalam politik.

Dengan demikian, perempuan di lingkungan NU sudah tidak asing dengan pergulatan politik dan keterlibatan perempuan di dalamnya, sehingga komposisi perempuan NU yang tampil sebagai politisi semakin banyak. Terlebih dengan afiliasi politik dan menjadi pendiri partai, seperti, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memudahkan perempuan NU mengambil jalur perjuangan parlemen demi akselerasi dan usaha bagi terbangunnya keadilan gender di Indonesia. Basis NU yang berada di pesanteren-pesantern, sejak dahulu mendudukan perempuan sangat penting. Hal itu diungkapkan dalam diskusi yang diadakan Rahima Institute yang menyebutkan, pengalaman pengasuh masing-masing dari Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat; Pesantren Assalam, Solo; Pesantren Kempek, Cirebon; Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukohardjo, Jawa Tengah, memperlihatkan bahwa perempuan dianggap sebagai bagian penting di dalam pendidikan pesantren. (Swara, Kompas, Senin, 17 Januari 2005)

Fenomena tersebut bersambut dengan kelahiran kuota 30 persen caleg perempuan dalam UU Pemilu, sehingga perempuan NU yang tersebar di daerah dan pedesaan akan mengambil momentum itu. Kekuatan gerakan sosial yang sudah terbangun dalam kultur NU akan menjadi harapan rakyat bagi politisi perempuan dari NU untuk berlaga. Momentum tersebut akan memberikan prospek yang tidak sedikit dalam mendulang kepemimpinan perempuan di lingkungan NU pada Pemilu 2009 sebagai manifes penguatan demokrasi di Indonesia.

Tetapi, perjuangan tersebut masih terlalu jauh untuk segera terwujud. Sebab, konfigurasi politik yang terjadi hanya dalam bacaan detik bisa berubah. Konsolidasi partai politik seperti Partai Demokrat dan Partai Golkar untuk melakukan amandemen terbatas dalam mekanisme penyusunan caleg dari nomor urut menjadi suara terbanyak, rupanya semakin menggelinding dan banyak membangkitkan syahwat partai politik lain.

Ruang politik selalu membuka kemungkinan-kemungkinan yang tadinya dijadikan kesepakatan umum beranjak mengalami perubahan seiring kepentingan politik kelompok tertentu yang lebih besar; semangat berkuasa dan status quo. Sementara, perubahan substansial sepertinya kembali menjadi wacana terpinggirkan yang samar untuk didengar. Dalam hal ini, perlu ada bimbingan nurani yang waskita, di mana eksplorasi wacana dan gagasan pemikiran yang telah melahirkan ketentuan yang sarat dengan peningkatan nilai demokrasi seyogyanya menjadi pilihan cerdas dalam berpolitik. Politik bukan hanya mekanisme kekuasaan, tetapi mekanisme perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Apalagi dalam kontestasi politik Pemilu, akankah dimulai dengan semangat kemunduran nilai berdemokrasi dengan menghilangkan indikator peluang keterwakilan politik perempuan? Rupanya bangsa ini sedang didera ketakutan post power syndrom di mana orang yang berkuasa ketakutan tidak berkuasa lagi sehingga menggerus sebuah perubahan yang akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.

Sebelum amandemen terbatas itu diputuskan, alangkah bijaknya jika para pelaku dalam ranah politik terlebih dahulu menyadari betapa pentingnya bangsa ini bertransformasi dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi. Sudah saatnya citra partai politik kembali diangkat demi kepercayaan dan harapan rakyat bahwa lokomotif perjuangan politik melalui partai politik mampu membawa Indonesia menjadi lebih demokratis. Sebab, dari refleksi itu, keputusan amandemen akan dilakukan atau tidak seharusnya telah terlihat.

Berbagai kendala pen-caleg-an perempuan
Sri Budi Eko Wardani, dari Pusat Kajian Wanita UI, menengarai salah satu Kendala perempuan menjadi caleg adalah partai politik. Artinya, komitmen pencalonan perempuan di posisi jadi (dapil dan nomor urut), pimpinan partai yang masih bias gender, dominasi elit politik lama dalam pencalonan, kebijakan partai yang tidak dijalankan secara obyektif, masih kuatnya unsur kedekatan dalam pencalonan, pola rekrutmen caleg yang tidak jelas dan obyektif.

Kendala tersebut semakin diperjelas dengan kendala tradisi politik yang inkonsisten dengan perjuangan nilai. Hanya orientasi kekuasaan dan kurang mengedepankan aspek perubahan substansif bagi perbaikan demokrasi di Indonesia. Bagaimana mungkin demokrasi bisa ditegakkan dan kesejahteraan bisa dirasakan bersama dan setara jika unsur percepatan dalam mengambil keputusan kebijakan selalu mendapat hambatan besar.

Untuk ormas Islam besar seperti NU, dinamika ini menjadi tantangan pada aktualisasi dan konsolidasi gerakan politik  ke depan. Sebab, kader NU perempuan merupakan aset yang begitu besar untuk memajukan bangsa ini. Secara organisatoris, NU akan lebih greget dengan memegang teguh Khittah 1926 menghadapi politik praktis, tetapi dengan tetap memberi keleluasan dan menjunjung kader NU yang maju dalam panggung politik.

Strategi intervensi
Dengan demikian, penting bagi partai politik dan kita semua bahwa kendala-kendala tersebut harus diintervensi secara formal melalui keputusan dan komitmen pimpinan partai politik. Harus ada strategi jangka panjang dari partai politik untuk mendorong isu keterwakilan perempuan ini dalam lembaga politik. Partai harus diyakinkan bahwa dengan mendorong isu perempuan, akan menghasilkan keuntungan bagi partai dan bagi sebuah cara berpolitik yang lebih transformatif. Sudah saatnya perempuan dilihat sebagai kelompok kepentingan yang besar, dan jika kepentingannya diakomodasi dalam kebijakan publik, akan berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat.

Harus ada sinergi antara caleg perempuan dan caleg laki-laki di semua tingkatan dalam satu partai untuk: (1) mengamankan perolehan suara >2,5 persen untuk kepentingan mengisi DPR; (2) memetakan pengisian daerah pemilihan (dapil) secara 3:1 dalam daftar calon dengan memperhatikan wilayah basis dan nonbasis; (3) memasukkan isu kampanye yang berperspektif gender ke dalam arus besar program kampanye partai; (4) memetakan daerah basis di provinsi dan kabupaten/kota agar dapat merebut kemenangan karena wilayah lokal akan menjadi ajang perebutan banyak partai; (5) menjadi caleg yang tangguh dan berkualitas untuk kepentingan partai dan konstituen.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pertiwi Bangsa