Opini

Menggagas Kurban yang Revolusioner

Ahad, 7 Desember 2008 | 23:00 WIB

Oleh Asep Saefullah

Setiap 10 Dzulhijjah umat muslim se-dunia merayakan momentum bersejarah yang disebut Hari Raya Kurban (Idul Adha). Secara historis, perayaan itu berpangkal pada peristiwa heroik dan mengharukan, yaitu penyembelihan Ismail, putra Ibrahim, beribu-ribu tahun silam. “Wahai, Anakku!” Ibrahim berkata pada Ismail, “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkan apa pendapatmu!” (QS: 37: 102). Akhir cerita, Tuhan menggantikan Ismail dengan seekor gibas untuk dikorbankan.

Begitulah cara Tuhan mengabadikan laku saleh hamba-Nya, Ibrahim dan Ismail, dalam al-Quran. Di sisi-Nya, keduanya mendapat tempat yang terhormat (QS; Annahl: 120). Berabad-abad setelah tragedi kudus itu, orang berdesakan memungut jejak suci nan transendental Ibrahim dan Ismail. Ritual kurban merupakan bukti diabadikannya peristiwa penting itu.<>

Upaya pemurnian iman

Uswah yang telah diperagakan Nabi Ibrahim tak hanya berhenti dalam pemahaman yang lahiriah belaka. Kurban tak dipahami sebatas penyembelihan hewan dan membagikannya pada orang yang berhak. Tetapi hakikinya, ada makna filosofi yang mendalam di balik peristiwa itu. Analoginya, bagi Ibrahim, Ismail adalah representasi dari hasrat, ego, dan ‘kecintaan’ kepada sesuatu yang fana (baca: tidak kekal, rusak). Maka ‘mendekatkan’ diri pada Tuhan meniscayakan untuk menghilangkan sifat-sifat itu. Memurnikan iman dari segala lumpur yang mengotori hati di mana iman bersemayam. Dengan maksud itulah, Tuhan mewahyukan supaya menyembelih Ismail.

Ketika Ibrahim taat pada perintah itu, sejatinya ia adalah para pemimpin orang-orang yang saleh. Karena pengorbanan itu dipandang sebagai usaha untuk melepaskan diri dari kungkungan kefanaan dan kenisbian menuju ketakterhinggaan.

Pengorbanan Ibrahim adalah implikasi kedahsyatan dari kekuatan iman seorang hamba yang hanif (tunduk). Ibrahim bisa disebut sebagai Nabi yang telah mencapai titik kulminasi tauhid tertinggi kepada Tuhan. Maka, ia dipuji sebagai Bapak monotheisme terbesar dari agama-agama samawi.

Di sini, makna filosofi kurban tertampakkan dengan jelas: bukan sekedar mengorbankan sesuatu yang tampak dan berada di luar kita, tetapi inti dari itu memberangus segala kotoran yang ada dalam diri, semisal, obsesi, nafsu, hasrat, dan ‘kesenangan akan sesuatu yang fana. Bahkan, dalam konteks itu, ‘kecintaan’ pada diri sendiri pun mesti rela untuk ditanggalkan. Dan, Ismail telah mampu menunjukan sikap itu saat dengan tegar ia berkata: “Wahai, Bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS: 37: 102)

Sesuai makna tekstual, kata kurban, yaitu dekat atau mendekat, bisa dimaknai bahwa kurban adalah proses metamorfosis spiritualitas diri menjadi lebih dekat dan bahkan menyatu kembali dengan-Nya.

Dimensi horisontal kurban

Dalam pengertiannya yang paling luas, kurban tentu tak bisa diklaim sebagai ibadah yang melulu punya akses vertikal, tapi juga membiaskan keluhuran sikap dan budi di tengah derap realitas sosial. Sebab, ketika seseorang telah mampu berkurban dalam makna yang sebenar-benarnya, ia termasuk tengah berusaha meminimalisasi dirinya agar tidak dihinggapi keserakahan, kesombongan, kebencian dan segala bentuk pengejawantahan “primordialisme” diri yang sempit dan tercela.

Terdapat nilai horisontal kemanusiaan dalam setiap potongan daging kurban yang dibagikan pada orang-orang yang paling berhak menerimanya seperti fakir-miskin dan anak yatim. Dalam kurban, ada nilai keluhuran universal yang memenuhi dimensi sosial kemasyarakatan. Kurban mengajarkan mencintai sesama, saling menolong dan memberi yang pada ujungnya akan mengokohkan tali persaudaraan di antara sesama.

Nilai-nilai ini sebenarnya yang mendesak untuk dijunjung tinggi dewasa ini. Percepatan transformasi ilmu pengetahuan yang melahirkan ideologi dan teknologi dengan segala ekses negatifnya telah memosisikan nilai kemanusiaan universal pada tingkat yang mengkhawatirkan. Ditambah lagi gaya hidup kapitalistik telah makin memperlebar jurang antara si miskin dengan si kaya. Sehingga sulit untuk tidak mengatakan bahwa peperangan, pertentangan antar-golongan, dan perselisihan adalah akibat dari toleransi sosial yang kian terkikis. Seperti realitas yang terjadi pada bangsa ini.

Di sinilah sejatinya kurban memuat makna signifikansinya. Lebih jauh, kurban tak hanya dimaknai dalam wilayah yang sempit. Maksudnya tidak hanya terbatas pada pengurbanan hewan ternak saja. Tetapi, bagaimana konsep kurban juga menular pada segala aspek.

Hewan, pada masa Ibrahim, adalah bentuk representasi dari kekayaan. Sedangkan kini, simbol kekayaan bukan hanya hewan, tetapi sangat beragam dari mulai mobil mewah, tanah luas, rumah gedung sampai pada deposito di bank.

Melihat perbedaan standar dalam konteks yang berbeda tersebut, wajib kemudian untuk mengkontekstualisasikan konsep kurban. Agar kurban tak hanya ritual tetapi memiliki daya dobrak dalam ranah sosial.

Kurban lalu dapat meluas pada berbagai ranah. Pebisnis dan jutawan harus berkorban dengan kekayaannya. Begitu pun para negarawan dan politikus, semisal, presiden, anggota DPR, partai, menteri dan yang lainnya. Lucu jika seorang Pebisnis, presiden atau seorang menteri hanya berkorban seekor kambing kurus. Kalau demikian, lalu apa bedanya dengan kurbannya masyarakat kebanyakan? Kurban mestinya punya makna yang revolusioner. Pemaknaan kurban demikian diyakini mampu menyumbangkan perubahan besar pada kesejahteraan dan pemerataan ekonomi masyarakat.

Dari kaca mata moral, masalah akut bangsa kita saat ini adalah keengganan berkorban dan membantu orang yang membutuhkan. Potret realitas bangsa kita masih disesaki dengan kemiskinan, pengangguran, kelaparan, gizi buruk, ketidakmerataan pendidikan bagi usia sekolah, dan segudang masalah lainnya.

Penulis berasumsi, kurban tidak akan mampu menyelesaikan masalah kekinian bangsa secara langsung. Tetapi, paling tidak, tawaran kontekstualisasi konsep kurban sangat mungkin menjadi langkah awal meretas jalan ke arah penyelesaian masalah itu.

Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat