Opini

Menunggu Peran Pemda dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Pesantren

Selasa, 3 Maret 2015 | 00:01 WIB

Oleh Hafis Muaddab

--Awal bulan Desember kemarin, pemerintah melalui Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13) di seluruh Indonesia. Keputusan tersebut mengejutkan banyak kalangan, mengingat K-13 ini masih baru diterapkan sejak Juli 2013 lalu. Meski sebenarnya berbicara perubahan kurikulum bukan hal yang baru lagi di negeri ini. Setiap ada pergantian penguasa, di situlah kurikulum juga mengalami perubahan. Tentunya, perubahan tersebut tidak lepas dari perkembangan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dampaknya pun sangat memengaruhi kualitas pendidikan itu sendiri.<>

Meski disadari bersama kurikulum berdasarkan pada fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional, haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa masa depan. Kurikulum pendidikan sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis, sesuai dengan kebutuhan, tantangan, tuntutan, dan perubahan masyarakat. Keributan kita semua menyikapi polemik K-13 adalah bukti bahwa perlu ada standarisasi dalam rangka perbaikan mutu pendidikan.

Keributan K-13 sebagaimana kita tahu hanya berlaku bagi sekolah sekolah formal, sedang bagi entitas seperti pesantren hal ini tidak berlaku. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang khas. Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma Pesantren” yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. (Pendidikan Berbasis Pesantren, Siradj 2014:xi). Nurcholis Madjid menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Lembaga pendidikan pesantren biasanya terdapat lima elemen dasar yang tidak terpisah-pisahkan, yaitu: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai.

Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid pondok pesantren merupakan sebuah subkultur masyarakat yang memiliki karakter, watak dan tradisi tersendiri yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Pesantren bisa disebut sebagai sebuah subkultur karena memiliki keunikan sendiri dalam aspek-aspek kehidupannya seperti; pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dalam bentuk kitab kuning; dan ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Dengan bermodalkan ketiga elemen itulah, maka pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, dan sekaligus sebagai salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi Nusantara ini. Sebab, pondok pesantren telah membuktikan dirinya diterima ditengah-tengah masyarakat dan kyainya menjadi panutan. Fenomena ini telah menunjukkan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan lebih orang Indonesia yang ikut merasakan pola pembelajaran pondok pesantren.

Meski sampai dengan sekarang pihak Departemen Pendidikan Nasional masih mensyaratkan ijazah wajar Dikdas yang Pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. “Pertanyaan yang masih ada adalah mengapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?”.

Menyoal Kurikulum Pesantren

Hal yang menggembirakan hari ini adalah pesantren saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, melalui Peraturan Pemerintah (PP) PP No 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Meski dukungan pendanaan dari pemerintah juga belum semuanya dapat dinikmati oleh pesantren untuk memungkinkannya untuk terus berkembang dan masih mengharuskan mencari pendanaan alternatif. Sebab bagi beberapa pihak adanya Peraturan Pemerintah (PP) PP No 55/2007 sebagai penjabaran UU Sistem Pendidikan Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren pada standarisasi dan reduksi pengajaran agama.

PP tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang berwenang untuk melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP).  Isi SNP tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga pendidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Keadaan ini dalam jangka panjang akan mengancam eksistensi, karakter dan ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin), sebagai kontrol sosial dan sebagai agen pengembangan masyarakat.

PP ini hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal dan non formal perlu dibuatkan aturan tersendiri. PP ini sangat besar kemungkinannya akan menempatkan pesantren sebagai lembaga yang harus ditertibkan. Aturan seperti ini akan membunuh dengan adanya standar nasional dan Ujian Nasional (UN). Ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya terlalu menyederhanakan dan tidak akan mampu menghadapi kompleksitas permasalahan di pesantren. Dengan terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya juga abai mempertimbangkan aspek budi pekerti yang harus dimiliki para siswa. Jika terjadi penurunan nilai moral, maka bukan semata kesalahan orang tua, tapi kesalahan pemerintah yang tidak bijak dalam mengelola pendidikan. Dalam hal ini, pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang holistik integratif. Internalisasi pendidikan karakter di pesantren ditekankan untuk menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Di pesantren, anak didik sangat ditekankan pada nilai-nilai moralitas seperti keikhlasan dan spiritualitas yang tidak bisa dengan mudah diukur dengan standar yang dibuat dalam PP tersebut. Apa yang ada di pesantren seperti keikhlasan dan spiritualitas mendorong kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jiwa keikhlasan sudah menjadi tuntunan.

Pondok pesantren tentu tidak sama dengan sistem boarding school sebagaimana dimaksud dalam PP tersebut, meskipun sama-sama diasramakan layaknya pesantren. Keduanya memiliki motif dan tujuan pembelajaran yang sangat berlainan sehingga tidak bisa distandarkan hanya dengan PP tersebut.  Meski harus diakuinya saat ini memang terjadi perubahan seperti perlunya persyaratan ijazah bagi politisi, lurah, bupati dan lainnya. Pesantren dalam hal ini juga harus luwes dan mampu mengakomodasi kepentingan santri yang berminat meniti karir di sektor publik. Meskipun begitu, ciri khas pesantren tak boleh dihilangkan. Pesantren tetap harus bebas intervensi dari siapa pun dalam memberikan sumbangan yang besar pada pelayanan publik.

Menunggu Keterlibatan Stakeholder Lokal

Nilai-nilai karakter pendidikan pesantren secara umum bisa diringkas dalam tiga kata: al Khair (goodess), al Birr (virtues) dan al Taqwa (religion commitment). Namun persoalan pendidikan pesantren bukan hanya berhenti dengan mengenali nilai-nilai apa yang ada dan selanjutnya menerapkannya pada lembaga formal lain. Upaya untuk menjadikan pendidikan pesantren mampu beradaptasi dengan modernitas dan menjaga keberlanjutan pendidikannya adalah persoalan yang harus ditemukan solusinya. Tentunya tidak akan selesai dengan keberadaan PP, yang diakui benar tidak dapat menangkap kekhasan pendidikan pesantren disetiap daerah di Indonesia.

Dalam peran inilah stakeholder lokal seperti pemerintah daerah perlu membuat terobosan berupa regulasi tentang penjaminan mutu pendidikan berbasis pesantren. Penyusunan regulasi ini tidak bertujuan mendikte pondok pesantren agar menjalankan proses penjaminan mutu seperti diuraikan dalam pedoman ini, melainkan pedoman ini bertujuan memberikan inspirasi tentang factor-faktor yang pada umumnya terkandung di dalam proses penjaminan mutu di suatu pondok pesantren. Perumusan kebijakan ini diambil karena didasari bahwa setiap pondok pesantren memiliki spesifikasi yang berlainan, antara lain dalam hal ukuran, struktur, sumber daya, visi dan misi, sejarah, dan kepemimpinan.

Peran penting pemerintah daerah untuk memberikan keberpihakannya terhadap peningkatan kualitas pendidikan berbasis pesantren. Mengingat posisi dan arti penting penjaminan mutu suatu pondok pesantren dapat dikemukakan bahwa di masa mendatang, bahwa eksistensi suatu pondok pesantren tidak semata-mata bergantung pada pemerintah, melainkan terutama bergantung pada penilaian pemangku kepentingan (steakholder), yaitu santri, orang tua, dunia kerja, pemerintah, pengajar (ustad), tenaga penunjang, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan, tentang mutu pendidikan pondok pesantren yang diselenggarakan.

Konsep kebijakan otonomi daerah merupakan bagian integral dari program reformasi sistem pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh, tetapi pendidikan adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar di dalamnya. Bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah serta pondok pesantren, adalah salah satu bidang yang diotonomikan kepada pemerintah daerah sebagai titik tolak reformasi bidang sosial dan politik, sekaligus reformasi sistem pendidikan nasional.   Dalam konteks daerah berbasis pondok pesantren, seperti Jombang dan daerah-daerah lain di Jawa Timur persoalan ini sangatlah penting. Persoalan tentang belum meratanya pencapaian kualitas hasil pendidikan pesantren, perbedaan kualitas penyelenggaraan pesantren hingga menyangkut persoalan proses rekrutmen pengajar (ustad), hingga kuantitas dan kualitas pengajar (ustad) yang dibutuhkan pondok pesantren.

Dalam menghadapi semua permasalahan ini pondok pesantren kerapkali harus berinisiatif sendiri atas keterbatasan peran pemerintah daerah. Padahal seharusnya pendidikan berbasis pesantren mendapat perhatian secara total bukan hanya perhatian terkait dengan hal-hal tertentu, seperti dalam isu radikalisasi, terorisme dan ajaran-ajaran tertentu. Melalui terobosan regulasi tentang penjaminan mutu pendidikan berbasis pesantren pemerintah daerah dengan sendirinya telah menjawab kebutuhan masyarakatnya akan perlindungan terhadap praktek pendidikan yang salah.

Hafis Muaddab, Wakil Sekretaris PC GP Ansor NU Jombang