Opini

Rhoma Irama dan Kiai Said Aqil Siroj

Selasa, 10 Desember 2019 | 22:00 WIB

Rhoma Irama dan Kiai Said Aqil Siroj

Rhoma Irama dan KH Said Aqil Siroj bersama para pengurus PBNU. (Foto: NU Online)

Oleh Abdullah Alawi
 
Pukul 12 malam lewat beberapa menit, kantor Redaksi NU Online kedatangan tamu dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia adalah teman dari salah seorang staf redaksi. Ternyata ia tak sendirian, melainkan bersama seorang temannya. Mereka memperkenalkan diri. Teman dari teman saya bernama Asep Ismail. Sementara teman Asep Ismail bernama HM Tanjang Busyiri. 

Setelah berkenalan dan menawarkan minum, kami mengobrol tujuan mereka ke Jakarta. Tak dinyana, mereka rupanya akan menghadiri ulang tahun raja dangdut Rhoma Irama yang akan dirayakan dalam bentuk konser di salah satu stasiun televisi. Sebelas Desember hari ini Rhoma Irama memasuki usia 73 tahun. 

Saya mendalami hubungan mereka dengan raja dangdut tesebut. Tanjang mengaku Ketua FORSA Balikpapan atau Fans of Rhoma Irama dan Soneta, sebuah wadah untuk penggemar Rhoma Irama dan grup musiknya. Tanjang menjadi ketua sejak 2015.

Dari obrolan itu, ingatan saya berkelebat ke sebuah hari di bulan Januari 2016. Hari itu Kamis. Waktu menunjukkan pukul 16.30 di gedung PBNU. Tak ada keriuhan berarti di gedung yang dibangun masa Presiden KH Abdurrahman Wahid itu. Padahal, sore itu akan datang seorang tamu istimewa, yang memiliki jutaan penggemar, yang pada tahun 1980-an, seperempat penduduk Indonesia menonton filmnya, dialah si raja dangdut Rhoma Irama.

Ketika waktu hampir pukul 17.00, seseorang keluar dari lift dari lantai 3 PBNU. Aneh, dia sendirian. Kehadirannya pun tanpa tepuk tangan dan yel-yel penggemar. Ia berjalan santai saja seperti tak diburu waktu. Tangan kanan ditempatkan di perut, sementara tangan kiri dibiarkan berayun-ayun. Tanpa menengok kanan-kiri, ia terus lurus masuk ke lorong, menuju ruangan Ketua Umum PBNU. Ia seperti telah hafal betul tempat yang harus didatanginya itu. Ia diiringi salah seorang penerima tamu lantai tiga.

Di ruangan Ketua Umum PBNU, ia disambut Ketua PBNU H Marsudi Syuhud. Di situ, ia dipersilakan duduk di sebuah kursi. Beberapa saat setelah Rhoma Irama duduk, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj datang dari ruangan samping. Rhoma Irama berdiri menyambutnya. Keduanya bersalaman dan kemudian sama-sama duduk di kursi masing-masing. 

“Saya suka lagu-lagunya Bang Haji,” itulah ungkapan pertama dari Kiai Said. ”Lagu yang saya sukai itu Pesta Pasti Berakhir, Tangan-Tangan Hitam, dan Malam Terakhir,” lanjutnya. 

Rhoma Irama pun tersenyum. Manggut-manggut.

Meski Kiai Said membuka obrolan dengan musik, Rhoma Irama rupanya belum berselera berbicara terkait bidang yang membesarkannya itu. Memang, ia datang dengan kapasitas bukan sebagai raja dangdut, melainkan raja sebuah partai, yakni Idaman. 

“Begini, saya ingin melaporkan bahwa Partai Idaman sudah memiliki pengurus lengkap di seluruh provinsi dan ratusan kabupaten pun telah ada,” katanya.
 
Rhoma Irama memperkenalkan bahwa bahwa di AD/ART partainya berlandaskan Islam Ahlussunah wal Jamaah serta mencantumkan memegang teguh salah satu dari mazhab empat. Dengan demikian sesuai dengan NU.
 
Kemudian ia mengajak sebagian pengurus NU untuk duduk di kepengurusan Partai Idaman. Kiai Said pun mengangguk-angguk dan menawarkan ke beberapa pengurus PBNU yang ada di situ. 

Saat itulah saya mendengar Rhoma Irama adalah santri. 

“Saya ini santri, meskipun nyantrinya di bawah kolong piano,” katanya. Kemudian dia mengaku banyak bersinggungan dengan kiai-kiai pesantren NU. 

Perkiraan saya, obrolan partai dan politik tak lebih dari 15 menit dari pertemuan mereka selama sejam. Mulanya, Kiai Said menggeser obrolan ke dunia Islam secara global; sejarah, konflik, aliran-aliran dalam kegamaan Islam, dan pentingnya untuk saling menjaga ukhuwah dalam beragama dan bernegara. 

Obrolan pun kembali kepada musik. Ini dipicu oleh Ketua PBNU H Marsudi Syuhud. 

“Pak Haji ini orang luar biasa. Bisa mengkritik orang, tapi yang dikritik tak marah, bahkan berjoget-joget,” katanya. 

Pernyataannya itu membuat suasana hening beberapa saat. Pak Marsudi sepertinya paham, orang-orang yang ada di situ menunggu penjelasannya. Tapi ia tak menjelaskan, melainkan bernyanyi. 

“Kenapa e... kenapa, minuman itu haram, karena e karena itu yang dilarang....” Pak Marsudi menyanyikan sepotong lagu Judi karya Rhoma Irama. 

Kontan orang-orang yang ada di situ tertawa. Rhoma pun turut berpartisipasi. Ia tertawa tertahan, lalu manggut-manggut, dan keluarlah ungkapan, “Masyaallah, shallallah 'ala Muhammad...”

Kiai Said kemudian menjelaskan, musik itu adalah suara kebenaran. Ia menukil pendapat Syekh Dzu Nun Al-Mishri yang wafat tahun 221 Hijriyah.

“Musik adalah suara kebenaran yang bisa menggugah hati kita menuju Allah. Suara kebenaran, kejujuran. Kalau mulut bisa bohong, tapi musik tak bisa bohong,” kata kiai lulusan pesantren Kempek, Lirboyo, dan Krapyak serta Universitas Ummul Qurra Makkah ini.

Oleh karena itu, sambungnya, barangsiapa yang mendengarkan musik dengan khusyuk, ia akan mencapai hakikat. Tapi barangsiapa yang mendengarkan musik dengan syahwat, ia akan menjadi zindiq atau keluar dari Islam.

Masyaallah, masyaallah,” keluar lagi ungkapan itu dari pencipta lebih dari seribu lagu dangdut ini dengan seperti sebelumnya, kepalanya manggut-manggut.

Kiai Said kemudian memintanya untuk meneguk teh yang dihidangkan di meja.

Pak Marsudi kembali membuat terobosan dalam pertemuan itu dengan pertanyaan yang membuat Rhoma Irama terdiam beberapa saat. 

“Bang Haji, pernahkah punya keinginan mengkader orang yang bisa meneruskan dangdut dengan corak Bang Haji?” 

Mendengar pertanyaan itu, Bang Haji seperti mendapat tugas berat, seperti disuruh manggung di tiga tempat sekaligus dalam satu waktu. Namun kemudian menjawab juga. 

“Saya sudah mencoba. Saya sudah melakukannya,” katanya. 

Namun, kata dia, memang mereka kemudian bisa bernyanyi dan bermain musik. Tapi bermain musik tak cukup itu, melainkan harus mengawinkan aransemen, lirik, bit, semua unsur harus digabungkan. Bahkan sepertinya kesulitan untuk menjadikan musik sebagai media dakwah. 

Obrolan semakin hangat lagi, ketika Rhoma Irama bercerita soal mencipta lagu dan kunjungan incognito-nya ke pesantren di Madura. Ia kerap bersilaturahim kepada kiai di larut malam supaya tidak diketahui para santri. 
 
Selamat ulang tahun, Bang Haji. Semoga panjang umur dan sehat selalu....
 
 
Penulis adalah Nahdliyin penggemar Rhoma Irama