Opini

Satu Dekade (Korupsi) Dana Desa

Kamis, 9 Januari 2025 | 11:18 WIB

Satu Dekade (Korupsi) Dana Desa

Ilustrasi perlawanan terhadap korupsi. (Foto: NU Online)

Tahun ini, pun bulan ini, tepat sebelas tahun usia Undang-Undang Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014) yang disahkan di bulan Januari 2014. Dan untuk transfer dana desa, sebagai bagian terpenting dari undang-undang itu, berarti sudah akan masuk tahun kesepuluh. Sebab transfer dana desa pertama kali dilakukan pada tahun 2015.


Momennya tepat sepuluh tahun untuk mengevaluasi manfaat transfer dana desa bagi masyarakat desa. Kebetulan, baru saja kita punya presiden baru yang usia pemerintahannya belum 100 hari. Tentu kita semua menunggu bagaimana peran pemerintahan baru untuk mengawal dan memberi arahan terhadap dana desa.


Di awal-awal UU Desa disahkan dan kemudian diikuti oleh transfer dana desa di tahun 2015 , muncul harapan besar di kalangan masyarakat bahwa akan terjadi sebuah transformasi ekonomi dan politik di desa yang berpihak pada masyarakat banyak. Pemerintah pusat mentransfer uang rata-rata satu miliar tiap tahun, agar ekonomi desa tumbuh, agar muncul partisipasi warga desa untuk merencanakan pembangunan yang dibiayai dana tersebut.


Dengan transfer itu, diharapkan uang akan menjadi kegiatan produktif untuk menghidupkan ekonomi di desa. Serta ada pembiayaan untuk kegiatan pemberdayaan dan pembinaan pada masyarakat oleh Pemerintah Desa dan Lembaga-lembaga yang ada di desa. Intinya, ditransfernya dana desa dari pusat, tujuannya adalah kemajuan desa dan demokrasi yang sehat di desa.


Asas partisipasi dalam UU Desa ini diharapkan akan menjadikan desa membangun dengan melibatkan rakyat dalam perencanaan pembangunan. Diharapkan, rakyat juga terlibat dalam pelaksanaan serta pengawasan dan pemantauan. Asas akuntabilitas juga ditegaskan agar penggunaan dan pengelolaan oleh pemerintah desa dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Juga ada asas transparansi, agar perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan dibuat secara terbuka dan tak ada yang ditutup-tutupi.


Korupsi dan Kemandekan Ekonomi Desa
Ternyata, fakta di lapangan menunjukkan hal yang mengecewakan. Transformasi ekonomi politik rata-rata tidak terjadi. Partisipasi masih minim, dan jika ada kebanyakan adalah semu dan sekadar formalitas. Partisipasi yang semu tidak mampu menjadikan kekuatan rakyat untuk terlibat aktif dan menjadi kekuatan kontrol terhadap elite desa.Ā 


Bahkan prinsip transparansi masih jauh dari harapan undang-undang. Akhirnya, akibat minimnya kontrol rakyat dan ketertutupan mengelola desa, yang terjadi adalah korupsi.Ā 


Bahkan Indonesia Corruption Wacth (ICW) menyuguhkan hasil temuan bahwa korupsi dana desa menempati peringkat atas dari kejadian-kejadian korupsi. Nah, jika demikian, maka harus dipahami bahwa korupsi menghambat kemajuan dan pertumbuhan ekonomi suatu desa.Ā 


Menurut laporan ICW tahun 2024, selama 2023 terdapat 187 kasus korupsi di desa. Tindak korupsi terbesar selain sektor pedesaan adalah pemerintahan (108 kasus), utilitas (103 kasus), dan perbankan (65 kasus).Ā 


Jika dibandingkan dengan jumlah desa secara keseluruhan (yang pada tahun 2023 mencapai 75.265 desa di seluruh Indonesia), jumlah kasus korupsi yang berhasil terpantau tergolong kecil. Tapi yang patut dicatat adalah bahwa hal itu merupakan fenomena gunung es. Jumlah korupsi yang belum terungkap tentunya jauh lebih banyak.


Salah satu dampak korupsi di desa adalah terhambatnya kemajuan perekonomian di desa. Mengapa demikian?


Pemerintah pusat mentransfer dana desa rata-rata 900 juta per tahun, hingga tiap desa rata-rata punya uang 1,7 Miliar per tahun (karena selain dana Desa/DD, ada juga ADD, pendapatan asli desa, dana dari bagi hasil pajak). Dengan dana itu desa itu seharusnya peredaran uang akan semakin meningkat di desa.Ā 


Lewat gaji (siltap), honor, tunjangan, ā€˜bengkokā€™ desa yang didapat kades dan perangkat desa, kesejahteraan pejabat desa naik. Dengan naiknya pendapatan, mereka akan bisa membeli barang-barang dan jasa. Yang harapannya dibelanjakan di di desanya sendiri. Pun juga dana desa untuk pembangunan, harapannya transfer uang dari pusat akan meningkatkan pendapatan pada penjual dan penyedia barang dan jasa di desa.Ā 


Rakyat yang kecipratan anggaran dana desa, rakyat miskin yang dapat bantuan tunai, para pekerja proyek pembangunan desa, atau siapa pun yang kecipratan dana desa akan membuat daya beli mereka meningkat. Peredaran uang itulah yang diharapkan meramaikan ekonomi di desa.Ā 


Sebagai contoh, dengan pembangunan fisik, para tukang dan pekerja mendapatkan upah. Pendapatan itu akan meningkatkan daya beli sehingga barang-barang laku. Ekonomi tambah hidup karena anggaran yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisipasi masyarakat, termasuk pengadaan barang dan jasa dengan jumlah anggaran yang kian besar sejak ada transfer dana desa.


Contoh lain, jikaĀ banyak kumpulan orang seperti rapat, sosialisasi, penguatan kapasitas, pembinaan dan pemberdayaan, dengan belanja barang konsumsi untuk acara rapat-rapat, para pelaku usaha katering akan mendapatkan penghasilan. Penghasilan akan dibelanjakan. Daya beli tumbuh. Yang berproduksi dan berdagang laku. Ekonomi berjalan.


Apalagi jika badan usaha milik desa (BUMDES) yang diberi modal dari dana desa berjalan dan punya keuntungan besar, tentu akan semakin besar uang yang akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan di desa. Sebaliknya, jika sudah diberi modal tetapi usaha malah bangkrut atau uangnya dikorupsi, maka justru semakin rumitlah persoalan. Bukan hanya memandekkan ekonomi, tapi justru membikin rakyat apatis dan ā€œmalasā€ terlibat membangun desanya.


Intinya dengan adanya dana desa dan anggaran desa lainnya, perekonomian bisa dimajukanā€”terutama jika desa memikirkan alur belanja untuk kegiatan-kegiatan yang tepat dalam rangka benar-benar menyusun strategi pembangunan dengan kebijakan yang jitu untuk menggunakan uang secara maksimal. Seandainya uang yang ada direncanakan dengan baik, dengan tujuan membiayai kegiatan-kegiatan yang strategis dan terencana (tidak asal-asalan alias tidak sekedar agar anggaran cair), maka uang yang dikelola desa itu bisa memajukan desa.


Tuntutannya, masyarakat desa (eksekutif dan BPD bersama para tokoh masyarakat dalam rapat) mendiskusikan secara serius strategi pembangunan, misalnya mencari sektor apa dan mana yang jadi prioritas karena bisa jadi pengungkit kemajuan. Juga, misalnya, kegiatan apa dan mekanisme kerja bagaimana yang harus dibiayai dengan porsi lebih agar punya pengaruh pada pertumbuhan dan terciptanya dorongan besar bagi partisipasi warga di bidang ekonomi.Ā 


Persoalannya, apakah perencanaan pembangunan dan penggunaan anggaran yang juga harus digunakan untuk pemberdayaan dan pembinaan direncanakan dengan baik dan serius? Ataukah perencanaan dikendalikan oleh segelintir orang yang tak pernah berpikir pada kemajuan alias hanya bertumpu pada keinginan yang penting gampang dan mudah di-SPJ-kan?Ā 


Atau, apakah partisipasi rakyat maksimal hingga mereka terlibat penyusunan rencana kegiatan berbasis anggaran? Atau rapat menyusun rencana kegiatan hanya didominasi segelintir elit desa dan pelaksanaan kegiatannya tidak partisipatif? Atau penggunaan anggarannya tidak akuntabel.Ā 


Kasus korupsi yang terjadi tahun 2024 lalu di sebuah desa di Trenggalek menunjukkan bagaimana korupsi dilakukan dengan memanipulasi laporan keuangannya. Memalsu kuitansi, misalnya. Laporannya fiktif. Modus ini seringkali dilakukan.


Korupsi di desa dan tertutupnya desa pada rakyatnya bukan hanya menghasilkan kritik dari rakyatnya, tapi malah menimbulkan apatisme yang kemudian membuat mereka malas terlibat dalam kegiatan-kegiatan desa. Semakin rakyat apatis, tidak partisipatif dan enggan melek tentang desanya, justru elite-elite desa merasa aman untuk menjalankan agenda korupsinya.


Sehingga desa mandelĀ dalam dua hal. Mandek proses demokratisasinya dan mandekĀ ekonominya. Harapan transfer dana desa membuahkan transformasi ekonomi justru tidak terjadi. Dana besar, tapi tak jadi kegiatan produktif dan memberdayakan, tidak memajukan ekonomi. Yang terjadi menguap entah ke mana.


Maksud tujuan ditransfer dana desa dari pusat dan anggaran lainnya itu akhirnya tidak membuat peredaran uang meluas. Tetapi uang hanya dinikmati oleh pihak pemerintah desa dan elite-elite desa. Uang bukan hanya mandek di koruptor yang menguasai desa, tapi uang bahkan justru terlempar keluar dari desa.


Kenapa demikian? Karena koruptor yang rata-rata suka hidup mewah hobinya belanja di luar desa dan bahkan luar kecamatan dan luar kabupaten. Uang yang didapat dari korupsi, dibuat jalan-jalan dan berbelanja di luar desa. Hal ini sama saja membawa uang ke luar desa dan menghambat peredaran uang di desa sendiri.


Artinya, koruptor dan korupsi menyumbat peredaran uang yang ada di desa. Hal ini bertentangan dengan semangat membangun desa dengan meningkatkan peredaran uang di desa. Seharusnya, pemerintah desa justru mempelopori Gerakan belanja di desa sendiri. Sama halnya kita selaku masyarakat, harus bikin gerakan belanja di warung tetangga. Kenapa mau beli sabun saja harus di mart yang milik pengusaha yang ada di luar desa? Bukankah lebih baik kalau kita belanja di warung kelontong yang ada di desa kita sendiri. Bukanlah selayaknya kita meramaikan pasar yang ada di desa kita sendiri?


Tentunya, korupsi berkaitan dengan penggunaan dan penyalahgunaan keuangan. Sebelum menggunakan uang negara untuk dicuri demi kepentingan pribadi, tentunya diawali dengan kebutuhan besar untuk mendapatkan uang. Keinginan dan kebutuhan yang kuat untuk membelanjakan uang di kalangan pejabat di desa, sedangkan penghasilan lebih kecil dari apa yang dibutuhkan. Atau uang yang seharusnya cukup tapi terus kurang karena kebutuhan untuk mengonsumsi besar. Bahkan salah satunya dipicu oleh gengsi.Ā 


Perencanaan pembangunan yang tak melibatkan masyarakat, juga pelaksanaannya yang tidak terbuka alias sembunyi-sembunyi dan tidak sesuai petunjuk yang ada dalam aturan, biasanya menjadi bagian dari praktik-praktik korupsi. Korupsi terjadi dengan memanipulasi laporan keuangan di mana penggunaan keuangan secara riil (nyata) tidak sama dengan apa yang dilaporkan di atas kertas. Modus operandi yang umum adalah memanipulasi laporan dengan merekayasa kuitansi.


Merekayasa kuitansi bukti pembelian barang dan jasa umum dilakukan. Misal saat proyek pembangunan fisik dilakukan, antara biaya yang dibayarkan pada tenaga kerja dengan laporan di atas kertas tidak sama. Atau antara barang yang digunakan dan dibeli dengan apa yang ditulis di atas kertas dan dilaporkan tidak sama.Ā 


Bahkan untuk kegiatan yang bernuansa sosialisasi yang mendatangkan orang banyak dengan jumlah tertentu, bisa jadi pengadaan barang konsumsi dan belanja bahan juga bisa dimanipulasi. Pihak pengelola keuangan memanipulasi harga snack dan nasi, juga harga bahan-bahan yang dibutuhkan.Ā 


Ya, modus utama korupsi memang ada dua; kegiatan fiktif dan ā€˜mark upā€™.


Mencegah Korupsi di Desa
Bagaimana cara mencegahnya? Pertama-tama dimulai dari sisi kepemimpinan desa.Di sini peran kepala desa (kades) sangat strategis. Kalau ingin jadi pemimpin jangan hanya modal ambisi tanpa visi-misi. Kalau memilih pemimpin jangan hanya karena agar dapat ā€œmoneyā€. Kalau mau jadi kades jangan hanya modal duit, tapi SDM nol. Hanya ingin naik kekuasaan dengan membeli suara rakyat, membeli harga diri dan martabat calon pemilih.Ā 


Bagi mereka yang ingin jadi kades, tentunya mereka harus tahu bahwa jabatan sebagai pemimpin desa itu adalah amanat undang-undang. Harus dibaca apa tugas, kewajiban, dan larangan bagi kepala desa. Ada semua di UU dan peraturan-peraturan turunannya. Jadikan pasal-pasal dan ayat-ayat di UU Desa dan peraturan turunannya dibaca, diserap, dan dijadikan pedoman bertindak dan berperilaku, pedoman membuat kebijakan.


Pemerintah, lewat pemerintah daerah, juga harus melakukan pembinaan yang serius untuk meningkatkan kapasitas kepala desa dan perangkat desa. Juga mendesain program peningkatan kapasitas antikorupsi dan menyiapkan tata kelola pencegahannya. Di sisi lain, penanganan kasus korupsi juga harus tegas dan tegak. Penegak hukum juga harus menegakkan hukum. Tidak boleh memainkan hukum untuk kepentingan pribadi.


Selebihnya rakyat dan pemuda harus mau berpikir dan belajar dan berani berpartisipasi untuk komunikasiā€”bahkan cara yang baik melakukan kritisi. Saatnya rakyat desa, terutama kaum mudanya, mau peduli pada desanya dengan cara mencari wawasan seluas-luasnya tentang desa, kebijakan desa, serta berpartisipasi aktif dan strategis untuk memajukan desanya.


Bikin kumpulan dan komunitas untuk menjadi wadah partisipasi. Hidupkan wadah formal bagi anak muda di lembaga kemasyarakatan desa (LKD) seperti Karang Taruna, BUMDES, lembaga pemberdayaan masyarakatĀ RT, RW, BPD, dan bagi kaum muda perempuan di Posyandu dan PKK. Bisa melalui komunitas dan organisasi masyarakat (ormas) memerankan diri untuk meramaikan dan memajukan desa. Tentunya, sikap kritis terhadap kebijakan desa jangan sampai tumpul.


Nurani Soyomukti, pendiri INDEK (Institute Demokrasi dan Keberdesaan), saat ini sedang nyantri di pasca-sarjana Akidah Filsafat Islam (AFI) UIN Satu Tulungagung
Ā