Opini

Selamat Jalan, Guru Keteguhan

Selasa, 28 November 2017 | 11:01 WIB

Oleh Lalu Aksar Anshori 

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah meninggalkan dini hari tadi, guru kita almukarram TGH Lalu Khairi Adnan (Rois Suriyah PWNU NTB; Pengasuh Pondok Pesantren Attamimi Brangsak Praya). Kita kehilangan seorang guru yang teguh dalam sikap, seorang ahli fiqih dan mumpuni dalam ilmu alat (nahwu sarf). 

Almarhum juga adalah juga adalah murid TGH Shaleh Hambali yang tergolong paling muda dibanding murid-murid senior seperti TGH Mansur Abbas, TGH L Turmudzi Badaruddin, TGH Asy'ari Hasbullah, TGH Izzuddin, TGH L Ahmad Munir dan masih banyak lagi. Karena merasa lebih yunior dan sempat belajar pada murid-murid senior, almarhum juga gemar berziarah ke makam TGH Shaleh Hambali, TGH L Muhammad Faishal dan murid-murid senior seperti TGH Asy'ari Hasbullah Masbagik. Beberapa kali almarhum sampaikan informasi kepada saya tentang aktivitasnya ziarah makam tersebut. 

Satu pelajaran penting dari almarhum adalah ketakzimannya kepada guru. Sebenarnya almarhum tidak berniat mendirikan pondok pesantren, meskipun di seputaran kediaman beliau banyak sekali bangunan "pondok-pondok" (kos-kosan santri) dari bambu atau batubata permanen yang dibangun sendiri oleh orang tua santri yang menitipkan anak-anaknya nyantri sambil sekolah di SMA, MAN atau MTs. Oleh orang tua santri, pondok-pondok tersebut diwariskan kepada anak-anaknyanya yang sudah lulus diganti adiknya begitu seterusnya. Sangat partisipatif dan tidak formal. Almarhum mengajar santrinya juga di berugaq atau mesjid. 

Sementara almarhum sendiri waktu masih tetap mengabdikan diri pada TGH L Muhammad Faishal (Ponpes Manhalul Ulum Praya; Rois Suriyah NU NTB di masa itu). Kecuali guru memberikan perintah, barulah mungkin beliau akan mendirikan pondok pesantren. Padahal TGH L Muhammad Faishal sendiri selalu menyarankan kepada jamaah agar belajar nahwu sarf dan fiqh kepada almarhum, tapi tetap seja beliau tidak mau mendirikan pondok pesantren dan secara rutin membantu gurunya. Bahkan sewaktu almarhum menjadi Rois Suriyah PCNU Lombok Tengah, mentradisikan agar seluruh jamaah NU Lombok Tengah melaksanakan Halal Bi Halal di makam TGH L Muhammad Faishal setiap tanggal 2 Syawal. Itu berlangsung sampai sekarang, bahkan karena semakin ramai pelaksanaannya dipusatkan di pondok pesantren Manhalul Ulum Praya.  Itulah bentuk ketakdziman almarhum.

Beliau juga gemar sekali berdiskusi dan berdebat tentang pendapat-pendapat fiqh dengan siapa saja meskipun orang tersebut jauh lebih muda, bahkan beliau seringkali menelpon anak-anak muda seperti Dr H Masnun Tahir (WR 1 UIN Mataram), Dr Jumarim dan saya (walaupun saya hanya menjadi pendengar setia, tapi kadang menjadi pihak yang mengajukan kasus-kasus). Bahkan suatu hari beliau sedang sakit parah dan tidak mungkin bisa duduk lama, tapi karena perdebatan sangat menarik sampai-sampai kami tidak dikasih pulang hingga larut malam dan beliau tidak menyadari penyakitnya yang parah.

Sepengetahuan saya, beliau juga menjalin pertemanan yang akrab dengan Dr TGB Zainul Madjdi (Gubernur NTB), beberapa kali TGB berkunjung ke kediaman almarhum dan bebepa kali almarhum juga diundang oleh TGB. Terakhir saat penyakit almarhum semakin parah sampai harus dirawat lama di RS Harapan Keluarga, TGB sering menanyakan perkembangan penyakit dan dimana Almarhum dirawat.

Dalam setiap Munas Alim Ulama NU dan Muktamar NU, almarhum selalu tampil dalam pembahasan Bahtsul Masail terhadap permasalahan kekinian yang sangat berat. Beliau tampak mengemukakan pendapatnya dengan hati-hati dan santun tetapi beliau sering tampak berdebat sengit. Dari sisi ini, beliau seolah seperti almarhum TGH L Muhammad Faishal yang gemar berdiskusi bahkan sampai-sampai Almarhum TGH L Muhammad Faishal harus berdebat berdua saja dengan Gus Dur hingga pagi. 

Murid-murid almarhum tidak hanya di kalangan santri yang sedang belajar di SMA, MTs dan MAN. Selain memiliki jadwal-jadwal pengajian meneruskan jadwal almarhum gurunya di beberapa desa lintas kecamatan dan lintas kabupaten, beliau juga memberikan pengajian dengan jadwal khusus dan tertutup kepada guru-guru agama, guru-guru MTs dan MAN, pegawai dan ustadz yang ingin memperdalam ilmu nahwu sarf dan fiqih. Disebut tertutup karena beliau tidak membolehkan santri-santrinya masuk ke tempat pengajian khusus ini. Beliau sangat menjaga perasaan murid-murid senior ini yang sedang belajar khusus, apalagi jika nantinya para santri mengetahui kalau santri-santri senior ini adalah gurunya di sekolah atau madrasah. 

Saya termasuk yang sempat "nyantri" pada almarhum, pada setiap libur panjang di kampus selama 2 bulan. Walaupun hanya 2 kali libur panjang, pelajaran yang diberikan almarhum kepada saya sangat berbekas untuk diri saya sendiri.

Semasa menjadi santri pada TGH Shaleh Hambali di Perguruan Darul Qur'an Bengkel, almarhum tergolong sangat cerdas. Beliau hanya menempuh sekitar 3 tahun saja sampai-sampai gurunya meminta agar almarhum meneruskan pelajarannya ke Tebuireng Jombang, karena sang guru sudah merasa cukup memberikannya ilmu. Perintah gurunya pun dituruti, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Hanya 1 tahun saja beliau di Jombang karena apa yang diajarkan sudah didapatkan semua pada almagfurullah TGH Shaleh Hambali gurunya di Bengkel. Oleh gurunya di Tebuireng Jombang beliau diminta pulang saja dan kembali belajar pada TGH Shaleh Hambali karena apa yang diajarkan di Tebuireng Jombang semuanya sudah diperoleh pada TGH Shaleh Hambali. Akhirnya beliau kembali lagi ke Darul Qur'an Bengkel.

Masih banyak cerita tentang almarhum, apalagi pada saat dipanggil-Nya almarhum sedang mengemban amanah untuk periode kedua sebagai Rois Suriyah PWNU NTB. almarhum memilih tidak aktif pada periode kedua ini dan lebih banyak waktu untuk kegiatan-kegiatan pengajian serta untuk mengobati penyakitnya yang sudah lama dan semakin parah. 

Selamat jalan guruku. Guruku dalam keteguhan pendirian prinsip, guruku karena prinsip-prinsipnya menjauhkan diri dari politik dan kekuasaan yang glamour. Alfatihah…


Penulis adalah Ketua LTNNU NTB