Opini

Siapa Penghina Al-Qur'an?

Jumat, 28 Oktober 2016 | 07:00 WIB

Siapa Penghina Al-Qur'an?

Ilustrasi (Wallpapercave)

Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun
 
Terdengar santer dari kota kecil Purworejo, tentang akan adanya Demo di Jakarta pada 4 November 2016 mendatang. Jika benar, demo “mengganyang” Ahok ini yang kedua setelah 14 Oktober 2016 lalu, beberapa ormas Islam seperti FUI dan FPI menggenangi depan Balai Kota Jakarta. Tanggal 4 November 2016 depan, kata berbagai pamflet itu, isunya tetap sama: menuntut dihukumnya Ahok. Kata mereka, ia penghina  Al-Qur’an. Benarkah demikian?
 
Sebenarnya, saya tidak ingin menulis ini. Selain karena saya bukan warga Jakarta, saya juga masih punya sederet urusan pribadi yang tak kunjung kelar, yang mestinya harus saya tangani. Namun apa daya, banyak teman-teman yang menanyakan perihal itu kepada saya. Kebetulan, saya sedikit mengikuti berita dan wacana itu: penghinaan Al-Qur’an. Untuk sedikit memberi gambaran, minimal pandangan subyektif saya, akan saya ulas melalui tulisan ini.
 
Ada satu kata kunci dalam tulisan ini yang perlu dipegang, yaitu kata “menghina”. Kata ini penting untuk dibahas nantinya, karena menjadi salah-satu pemantik atau pemicu timbulnya kegaduhan sosial di Jakarta yang kemudian menjadi diskursus bahkan kegaduhan nasional. 
 
Baiklah, kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim.
 
Pertama, benih kegaduhan di mulai dari banyaknya serangan yang dialamatkan kepada gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok  dengan menggunakan surat Al-Maidah ayat: 51 oleh beberapa kelompok untuk berkampanye menggalang kekuatan massa. Salah satu surat dalam Al-Qur’an yang masih multi-interpretatif itu digunakan salah satu kelompok untuk kampanye: jangan memilih Ahok. Serangan ini bisa dilihat di Youtube.
 
Kedua, dengan adanya banyak serangan tersebut, Ahok merasa risih. Dalam suatu kunjungannya di Pulau Seribu, ia berpidato yang pada intinya: “…jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51….,” diteruskan dengan sikapnya: mau milih silakan, mau tidak milih silakan. Ahok memberi kebebasan.
 
Ketiga, oleh seorang yang bernama Buni Yani, video tersebut dipotong kata “dipakai”-nya lalu diunggah melalui akun fesbuknya dengan ditambahi caption yang provokatif. Babak baru dimulai. Menyebarlah video itu karena banyak di-share. Inilah era digital, dimana satu akun fesbuk, di kemudian hari, bisa menjadi “wasilah” kegaduhan nasional.
 
Keempat, video itu kemudian menjadi viral dan pemicu marahnya kaum muslimin. Ya, dengan hilangnya beberapa kata, tentu menghilangkan substansi dan makna. Di sini orang banyak terjebak, jika tidak tahu yang sebenarnya. Siapa yang tidak marah mendengar kalimat editan: “jangan mau dibohongi Al-Maidah ayat 51”? Saya pun tentu akan marah, dan bila perlu memimpin laskar untuk demo di Jakarta, jika kata-kata itu yang memang dia keluarkan. Setelah saya cek, ternyata video itu diedit sedemikian rupa.
 
Setelah gaduh, ILC, salah satu program favorit yang beberapa kali mendapat Panasonic Award, mengangkat tema itu. Nusron Wahid, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP Golkar Wilayah Jawa dan Sumatera ditunjuk menjadi juru bicara. Nusron memulai “orasi”-nya dengan kata-kata bijak: “timbulnya konflik itu disebabkan dua hal: salah paham atau pahamnya salah”. Dalam pada itu, ia juga mengecam keras isu Suku, Ras dan Agama (SARA) untuk berkampanye karena rentan konflik. Ia juga memberi data dan fakta bahwa kekhalifahan Islam terdahulu sudah ada yang mengangkat non-muslim menjadi gubernur. Ia menekankan agar kembali ke konstitusi negara kita: UUD 1945 dan Pancasila. Namun, keterangan mantan Ketum PP GP Ansor tersebut justru membikin kegaduhan baru, karena beberapa hal. Pertama, karena ayat tersebut multi-interpretatif (multi-tafsir). Artinya, di internal umat Islam sendiri masih ada berbagai tafsir, khususnya pada kalimat “Auliya” yang oleh mereka yang memaknainya dengan “pemimpin”, juga soal hukum bagaimana mengangkat pemimpin non-muslim. Meski demikian, ada banyak hikmah di sini. Hampir semua umat Islam Indonesia yang melek teknologi jadi tahu bahwa Al-Qur’an memiliki ayat itu, beserta arti dan tafsirnya yang beragam. Para intelektual, mulai yang tua dan yang muda seperti Nadirsyah Hosen (Rais Syuriah PCI NU Australia), KH. M. Ishomudin (Syuriah PBNU), Zuhairi Misrawi (intelektual muda NU), Muhammad Guntur Romli (intelektual muda NU) dan banyak intelektual muda Islam lain mengkaji ayat itu lengkap dengan referensi dari ulama klasik dan konteks sosiologis turunnya ayat (asbaabul nuzul). Juga, hasil tafsiran dari salah satu mufassir terbaik di Asia Tenggara, Prof Dr M Qurais Shihab, kembali bertebaran di media. Seakan Allah SWT ingin mengajari umat Islam untuk lebih memperdalam lagi agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Nusantara. Ingin tahu apa hasil kajiannya, silakan di searching atau googling hasil riset dan pemikiran tokoh-tokoh kita itu.
 
Kedua, mengapa statemen Nusron Wahid menjadi gaduh, adalah karena pembawaannya yang dinilai “kurang sopan”, sambil melotot-melotot. Padahal pembawaan aslinya memang melotot. Dalam hal ini, seorang ustadz yang rajin menyuruh umat Islam untuk bersedekah, dinilai oleh banyak kalangan menyindir Nusron Wahid dengan meminta agar generasi muda tidak sepertinya, memulai video sambil menangis sedih. Ustadz berinisial YM ini cenderung menyalahkan sikap Nusron dan menghadap-hadapkanya dengan ulama. Menaggapi hal ini, saya mewajarkan karena tiga hal: pertama Nusron agak marah dengan orang yang menggunakan ayat untuk berkampanye. Kedua, ia tidak menentang ulama yang benar-benar ulama, tetapi “ulama” yang pandai menyitir ayat untuk kepentingan politik. Ketiga,  memang seperti itulah pembawaan Nusron. Dia orangnya tidak suka basa-basi seperti politisi lain, banyak yang jaim. Namun, satu hal dari dia, sepengetahuan saya, selain memiliki nasionalisme yang tinggi, dia juga selalu konsisten dengan apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Kemudian beberapa ustadz yang dikenal di media juga memberi statement yang justru memperkeruh suasana dan membakar hati kaum muslimin.
 
Kelima, karena video dan berita semakin viral, dimobilisirlah beberapa kelompok Islam untuk demo. Pada Jumat, 14 Oktober 2016, mereka yang hatinya merasa terbakar berdemo di depan balai kota Jakarta. Alhamdulillah, meski dipenuhi spanduk yang profokatif, demo yang diikuti ribuan orang itu berjalan tertib dan tanpa anarki, dengan dikawal polisi dan TNI. Mereka meninta Ahok meminta maaf dan mendorong polisi untuk menyelidikinya secara hukum.
 
Keenam, karena banyak desakan, Ahok yang belum terbukti secara hukum bersalah itu, meminta maaf. Ia klarifikasi bahwa tidak ada maksud (niat) untuk melecehkan Al-Qur’an. Dalam hal ini juga ditegaskan oleh Nusron di ILC, bahwa yang tahu sebenarnya ayat Allah itu hanyalah Allah, adapun tafsir ulama bisa benar dan bisa kurang benar. Sama, katanya, seperti maksud puisi itu yang paling tahu adalah penulisnya. Kata ini juga diplintir oleh mereka dengan mengatakan Nusron menghina institusi ulama, padahal memang demikian adanya. Bagi yang tahu ilmu tafsir dan metodologi pengambilan hukum, bahkan sekelas Imam Syafii pun, tidak berani mengatakan “produk ijtihadnya” paling benar atau benar-benar benar. Artinya, kalau yang bersangkutan sudah meminta maaf dan tidak bermaksud menghina Al-Qur’an, sudah selesai masalahnya. Apalagi, kata-kata Ahok tersebut dipotong, dan potongan ayat itulah yang kemudian dijadikan dasar orang untuk marah, benci dan terbakar hatinya kepada Ahok. Tanpa klarifikasi (tabayyun), sebuah ajaran Al-Qur’an bagi kaum beriman jika mendapat kabar berita, mereka langsung menjustifikasi. Saya khawatir jika justru yang menghina adalah sebagian dari kita – umat muslim sendiri – yang tak sempat atau tak mau memakai perintah Allah itu: tabayyun.  Jika ini yang terjadi, semoga mereka atau kami lekas mendapat hidayah. Sepengetahuan saya, dalam kaidah fiqh disebutkan: maqasidullafzi ‘ala niatillafidzi, maksud perkataan ada pada orang yang berkata. Jelaslah, Ahok berbesar hati dan mengubur gengsi untuk mau meminta maaf meski belum terbukti bersalah.
 
Ketujuh, sikap MUI keluar. Pada intinya, karena Ahok sudah meminta maaf, sebagai umat Islam sudah seyogyanya memaafkannya. Sebagai intitusi, MUI memaafkan sikap Ahok tersebut, dan menyerahkan urusannya kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini polisi. Adapun jika ada anggota MUI yang tidak setuju dengan sikap resmi MUI, KH Ma’ruf Amin selaku ketua MUI mengatakan bahwa itu adalah sikap pribadi. MUI menyarankan untuk tidak membesar-besarkan masalah ini.
 
Kedelapan, kegaduhan semakin parah, khususnya di media online. Tak bisa dibendung. Kalangan yang berkepentingan pun ikut memanfaatkan suasana ini. Secara parsial, mereka yang demo itu hanya ingin agar Ahok tidak menjadi gubernur lagi. Orang-orang yang demo itu, setelah saya teliti, sebagian yang dulu menghina Gus Dur, membuat Gubernur Tandingan dan kelompok yang menginginkan berdirinya Khilafah dan anti-Pancasila. Isu Ahok itu mereka goring sedemikian rupa sebagai sesuatu yang marketable. Kemudian, secara  komprehensif, adanya keriuhan ini semakin ditunggangi kekuatan yang lebih besar: mereka ingin kehancuran NKRI. Disini, entah kenapa kemudian saya treringat kata filsuf Islam, Ibnu Rusyd: "Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama." Yah, isu agama itu mudah dan murah. Ini terbukti banyak digunakan mulai dari peristiwa 11 September, Bom Bali sampai Terorisme, semua berkedok agama. Padahal motifnya ekonomi dan politik.
 
Kesembilan, berdasarkan laporan Rumadi, ketua Lakpesdam PBNU, Tanggal 4 November 2016 kabarnya akan ada demo besar di Jakarta. “Bukan hanya dari Jakarta, massa dari luar Jakarta akan digerakkan. Ribuan orang mungkin akan mengepung Jakarta. Istana negara akan menjadi sasaran. Rencana sudah disusun. Pamflet sudah disebarkan ke berbagai penjuru. Petunjuk teknis demo juga sudah diberikan, mulai dari membawa perlengkapan menginap, membaca wirid, sampai membuat wasiat jika tidak bisa pulang,” tulisnya di akun fesbuk (27/10). Benar salah-nya Wallau A’lam.
 
Saya tidak menolak demo itu. Saya mencintai mereka semua, sebagai muslim, orang Indonesia ataupun manusia. Itu hak mereka sebagai warga negara untuk berdemo, terlepas bahwa menurut saya demo itu tergerak karena kesalahpahaman mereka akan barisan kata-kata. Memang, di sisi lain, Ahok juga kurang pandai dalam bersikap dan berkata-kata. Tapi itulah kelemahannya, di balik kelebihannya yang tegas, jujur dan transparan. Ia suka ceplas-ceplos. Indonesia masih melihat orang dari sopan santun dan unggah-ungguh. Tapi itu mending bagi saya, daripada politisi yang lugu, kalem, ramah, tapi tahu-tahu nggarong duit rakyat. Akhlak itu alat, dan alat bisa juga untuk menipu. Semua penipu hampir memakai akhlak untuk menjalankan misinya. Tentu, yang baik dan utama adalah berakhlak dan digunakan untuk kebaikan. Namun toh itu sulit di zaman sekarang.
 
Itulah kronologi yang saya tahu dan saya analisa. Jika ada yang baik dan benar, silakan di ambil syukur-syukur di-share agar orang-orang tahu. Apabila ada yang salah atau kurang baik, saya terbuka untuk di koreksi. Niat saya menulis ini, jauh sebelum kata pertama saya tulis, adalah agar negara kita tidak terpecah belah, apalagi karena perang saudara. Jika sedikit saja ada anarki, kekerasan, lebih-lebih pertumpahan darah, pasukan Dewan Keamanan PBB kapan saja bisa turun untuk mengambil-alih keadaan dengan dalih HAM, stabilitas dan alasan tetek-bengek. Lalu kita akan bernasib sama dengan saudara-saudara kita di Timur Tengah seperti Afganistan, Libia dan Syuriah.
 
Semoga, kekhawatiran saya hanyalah sebuah kekhawatiran belaka. Semoga Allah memiliki cara tersendiri untuk merawat Islam dan Indonesia ini menjadi sentrum peradaban dunia, ditengah berbagai krisis moral dunia pertama, yang selalu bernafsu merebut emas, minyak, pasar dan SDA dengan berbagai cara, salah satunya merubah peraturan dan memecah-belah negara ketiga. Ihdinas shiraatal mustaqim. Shiraatalladziina an’amta alaihim, ghairil maghdzuubi 'alaihim waladl-dlaalliin. Dan semoga, yang membaca tulisan ini, tidak ikut-ikutan berdemo. Amin.
 
 
Penulis adalah Wakil Ketua PW IPNU Jawa Tengah (2013-2016).