Opini

Tragedi Pak Budi dan Dilema Guru Indonesia

Senin, 5 Februari 2018 | 17:48 WIB

Tragedi Pak Budi dan Dilema Guru Indonesia

Ilustrasi: Merdeka.com

Oleh Muhammad Makhdum 

Dunia pendidikan kita kembali terhenyak. Tragedi yang menimpa Pak Achmad Budi Cahyanto beberapa hari yang lalu membuat kita semua berduka. Guru muda SMA Negeri 1 Torjun Sampang yang dikenal santun dan berbakat itu harus meregang nyawa di tangan siswanya sendiri. Kasus tersebut semakin menambah panjang daftar tindakan kekerasan yang diterima guru dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik. 

Dalam tiga tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap guru masih melekat dalam ingatan kita. Bu Nurmayani (2015), guru SMPN 1 Bantaeng Sulawesi Selatan harus masuk jeruji besi karena mencubit siswinya yang membuat gaduh di kelas. Pada tahun 2016, di sekolah yang sama, Pak Guru Asral harus mendekam di penjara karena memukul siswa yang mengganggu pelaksanaan shalat jamaah siswa lainnya. Demikian juga dengan Pak Samhudi, guru SMP Raden Rahmat Sidoarjo yang dituntut 6 bulan penjara hanya sekedar mencubit lengan siswanya karena sering mangkir mengikuti kegiatan shalat Dhuha. 

Belum lagi tragedi yang menimpa Pak Dasrul (2017), guru SMK Negeri 2 Makassar yang menegur siswa karena tidak mengerjakan PR. Saat ditegur siswa tersebut menendang pintu sambil mengucapkan kata-kata kotor. Spontan Pak Dasrul naik pitam hingga menampar siswanya. Siswa kemudian melapor pada orang tuanya. Pak Dasrul kemudian dianiaya oleh murid dan orang tuanya hingga berdarah-darah di kepalanya. Tentunya masih banyak lagi deretan kasus serupa di berbagai daerah yang tidak terekspos oleh media. 

Perlu ditelisik mengapa anarkisme yang menimpa guru masih sering terjadi di sekitar kita, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun siswa itu sendiri. Sejatinya banyak faktor penyebab yang bisa kita kemukakan. Antara lain kurangnya perhatian orang tua, salah asuh, salah pergaulan, tontonan yang tidak mendidik, pengaruh budaya asing, hingga kurangnya pendidikan karakter dan penghayatan terhadap ajaran agama. Ditambah lagi dengan perilaku orang tua yang over protektif terhadap anaknya. 

Akan tetapi, beberapa kasus yang terjadi tersebut mengindikasikan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan profesinya. Guru sering dihadapkan pada dilema antara mendidik dan mendisiplinkan siswa dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk juga UU Perlindungan Anak. 

Menurut UU nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik, sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 41 disebutkan bahwa guru juga wajib mendapatkan perlindungan hukum yang mencakup perlindungan terhadap tindakan kekerasan, ancaman, intimidasi, perlakuan diskriminatif, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.  

Sementara itu, dalam UU nomor 24 Tahun 2014 tentang perubahan UU Perlindungan Anak, disebutkan bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.  

Di sinilah letak permasalahannya. Sebagai tenaga pendidik, guru berada pada posisi dilematis antara tuntutan profesi dengan perlakuan masyarakat. Pada satu sisi guru dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan, namun pada lain sisi di saat berupaya menegakkan kedisiplinan, guru dibenturkan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Hak Asasi Manusia. 

Sebagai contoh, ketika berkali-kali nasehat dan teguran guru seringkali tidak diindahkan, guru biasanya memberikan sanksi pada siswanya. Tentunya sanksi tersebut telah disesuaikan dengan tingkat pelanggaran siswa. Apa yang dilakukan Pak Budi sebenarnya bukanlah menghukum, tetapi hanya mengingatkan. Apa lacur? Murid tersebut tidak terima, dan sekonyong-konyong mencekik leher gurunya dan menghujani dengan pukulan. Akibat pukulan tersebut, Pak Budi menghembuskan nafas terakhirnya di keesokan hari.

Dalam proses pendidikan, sebenarnya cubitan akan dilakukan guru jika siswa terlalu sering melakukan pelanggaran. Sementara “tamparan” atau bahkan “pukulan” hanya akan dilakukan oleh guru jika siswa telah melampaui batas-batas moral maupun etika. Perlakuan itupun jauh dari kata membahayakan. Akan tetapi, reaksi berlebihan ditunjukkan oleh murid dan orang tuanya. Tidak jarang guru akhirnya dilaporkan pada pihak yang berwajib. 

Celakanya, ketika sebuah kasus memasuki ranah hukum, guru sering berada pada pihak yang dirugikan. Aparat penegak hukum lebih cenderung mengutamakan prosedur hukum dibandingkan dengan moral hukum itu sendiri. Hanya dengan melihat adanya bekas cubitan atau pukulan, seorang guru harus menjadi tersangka tindak kekerasan. Padahal jika guru tidak berlaku demikian, siswa akan cenderung mengulangi perbuatannya dan biasanya akan semakin meningkat kadar pelanggarannya. 
Jika mencermati yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), maka sejatinya guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan reward, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut. Semua dilakukan demi keberhasilan pendidikan.

Agar tragedi Pak Budi tidak terulang di kemudian hari, maka undang-undang perlindungan hukum bagi guru harus ditegakkan. Selain itu, diperlukan sinergitas Tri Sentra Pendidikan, antara pihak guru, siswa dan orang tua. Guru harus mendidik siswa dengan sepenuh hati dan sebisa mungkin menghindari hukuman yang bersifat fisik. Siswa perlu menyadari bahwa dalam proses pendidikan, sanksi mutlak diperlukan untuk kebaikan dirinya sendiri. Di sisi lain, orang tua harus bekerja sama dengan pihak sekolah dalam mendidik dan mendisiplinkan anaknya. 

Nah, jika sedikit-sedikit guru diproses hukum dengan UU Perlindungan Anak karena sedang menjalankan profesinya, apa jadinya generasi bangsa Indonesia di kemudian hari? 


Penulis adalah guru SMP Negeri 2 Tambakboyo Kabupaten Tuban, Jawa Timur