Opini

Makna Hijrah dari Masa Kenabian ke Era Media Sosial (Bagian 1)

Senin, 2 September 2019 | 02:15 WIB

Makna Hijrah dari Masa Kenabian ke Era Media Sosial (Bagian 1)

Ilustrasi: pixabay

Oleh Ahmad Makki
 
Hijrah menjadi istilah yang banyak diperbincangkan di kalangan komunitas Muslim Indonesia dalam beberapa tahun terakhir belakangan. Di Indonesia secara tradisional frasa “hijrah” umumnya hanya muncul pada momentum tertentu. Biasanya di sekitar perayaan tahun baru Hijriyah. Tapi belakangan istilah tersebut beredar sehari-sehari menjadi bagian dari leksikon masyarakat umum, terutama di media sosial.

Tulisan ini berupaya untuk menelusuri pemaknaan hijrah dari masa ke masa dalam ruang lingkup historiografi Islam. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya istilah hijrah selalu dimaknai beragam oleh tokoh atau komunitas tertentu. Ada yang memaknainya secara abstrak sebagai sebuah tuntutan moral, tapi ada juga yang merumuskan hijrah secara politis untuk semboyan perlawanan. Kelompok teroris ISIS bahkan memakai hijrah sebagai semboyan rekrutmennya.

Istilah “hijrah” sendiri diserap dari bahasa Arab “hajara” yang berarti “memutuskan”  (Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, [Yogyakarta, Pustaka Progressif: 1984], halaman 1489). Ia juga bisa berarti berpisah atau meninggalkan. Dalam konteks sejarah penyebaran Islam, istilah ini dipakai untuk merujuk peristiwa migrasi komunitas Muslim dari Makkah ke kota lain. Wacana hijrah dalam doktrin Islam bermula dari peristiwa sejarah, migrasi komunitas Muslim di Kota Makkah menuju Kota Yatsrib pada 622 M. (R Marom, Research Approach in the Research of early Islam: the Hijrah in Western historiography, [tanpa catatan kota, Jama'a: 2017], halaman vii).

Hijrah kemudian berkembang menjadi wacana untuk memperbaiki diri atau untuk mengimani ajaran Islam, lewat penyebutannya di dalam Al-Qur’an:

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.” (Surat An-Nisa ayat 89, dalam Website Al-Quran Kementerian Agama, n.d.).

Meski begitu, dalam Al-Qur’an wacana hijrah tidak melulu diasosiasikan sebagai perpindahan agama. Ia bahkan tetap bersifat imperatif bagi orang-orang yang telah beriman. Di sini wacana hijrah kerap diidentikkan dengan wacana jihad. (Alhafiz Kurniawan, Pengertian Hijrah dan Jihad, [Jakarta, nu.or.id: 2018], https://www.nu.or.id/post/read/87747/pengertian-hijrah-dan-jihad).
 

Wacana jihad pada konteks itu sering dikaitkan sebagai perjuangan fisik melawan kelompok Quraisy yang menjadi musuh besar kelompok muslim di era Nabi Muhammad. Hijrah dan jihad yang pengertiannya saling beririsan digambarkan seperti tingkatan selanjutnya dari keimanan:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Alanfal: 72, dalam (Website Al-Qur’an Kementerian Agama, n.d.).

Pascahijrah ke Yatsrib dan menjadikannya sebagai basis dakwah selama 10 tahun, Nabi Muhammad bersama kelompok muslim kembali ke kota Mekah dalam sebuah peristiwa terkenal yang disebut Fathu Makkah (penaklukkan Mekah), di mana komunitas muslim berhasil menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah. (R. A. Gabriel, Muhammad: Islam’s first great general (campaigns and commanders series), [Oklahoma, University of Oklahoma Press: 2007], halaman 172).

Menariknya, Nabi sempat mendeklarasikan bahwa tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah (As-Suyuthi: 1996, dalam Alhafiz Kurniawan: 2018). Karena saat itu keadaan Mekah telah aman bagi komunitas Muslim. Pernyataan tersebut bisa dengan mudah membuat kita menyimpulkan bahwa penyebutan hijrah di sini merujuk pada peristiwa historis sebelumnya.

Meski begitu As-Shuyuti (1996, dalam Alhafiz Kurniawan: 2018) menyebutkan bahwa ada dua pandangan di kalangan ulama tentang pernyataan tersebut. Pertama, hijrah tidak diperintahkan lagi karena Mekah sudah menjadi tempat yang aman bagi komunitas Muslim. Kedua, setelah Fathu Makkah yang menjamin keamanan komunitas muslim, tidak ada lagi hijrah yang keutamaannya melebihi praktik hijrah sebelum Fathu Makkah. Setidaknya pendapat kedua mengisyaratkan bahwa peristiwa hijrah bukan hanya dimaknai secara material sebagai migrasi, tapi melibatkan ranking kedudukan hamba di mata Tuhan.

Secara kontekstual, perjalanan Hijrah dan jihad adalah peristiwa berat dan berbahaya, melibatkan aktivitas menempuh jarak lebih dari 450 km. sambil menghindari kuntitan lawan, serta membutuhkan ongkos tidak sedikit (J. Iqbal, Planning in the Islamic tradition: the case of hijrah expedition, [tanpa catatan kota, Insight : 2009], halaman 37-68). Prasyarat tersebut tidak bisa dijangkau oleh semua orang. Pada umumnya yang berpartisipasi dalam Hijrah ke Yatsrib adalah orang-orang yang memiliki kecukupan materi, yang mayoritas lelaki. 

Jika Hijrah dan jihad memiliki bobot keistimewaan yang signifikan, bagaimana dengan sebagian kelompok muslim yang tidak bisa berpartisipasi? Pertanyaan ini tampaknya menjadi kegelisahan di kalangan perempuan muslim ketika itu. Ini terlihat ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad, menanyakan cara kaum perempuan bisa ikut berjihad. Nabi menjawab bahwa mereka bisa menunaikan haji mabrur sebagai jihad paling utama (Bukhari, dalam Alhafiz Kurniawan: 2018). 

Tentang riwayat tersebut, Ibnu Bathtal (dalam Alhafiz Kurniawan: 2018) menerangkan bahwa hijrah adalah perintah wajib di masa-masa awal Islam bagi pemeluk Islam karena jumlah mereka yang sedikit dan keperluan mereka untuk bergabung dan berkonsolidasi. Ketika Mekkah sudah ditaklukkan maka gugurlah kewajiban hijrah. Haji menjadi amal yang lebih utama karena jihad dalam pengertian perang fisik tak lagi diperlukan.

Demikian pada era di sekitar Nabi Muhammad, pemaknaan wacana hijrah pada awalnya terkait dengan peristiwa historis Hijrah dan kebutuhan melakukan jihad secara fisik menghadapi atau menghindari ancaman. Ketika kondisi membaik dan bentuk aksi fisik sudah tidak diperlukan, hijrah dimaknai sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah. (bersambung…)
 

Ahmad Makki, Praktisi Media Digital, Kandidat Master Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia