Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif
Selasa, 3 Oktober 2006 | 08:38 WIB
Penulis: Prof. Dr. Amin Abdullah, Cetakan: I, Februari 2006, Tebal: XX+434 Halaman, Peresensi: M. Yunus Bs.*
Diakui atau tidak, hingga saat ini hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan masih ibarat dua jalur yang antara satu sama lain belum menemukan titik perjumpaan. Keterpisahan antara dua disiplin itu lalu menciptakan suatu justifikasi yang sesat bagi masyarakat, bahwa keduanya memang tidak pernah dan tidak akan bertemu sampai kapanpun. Dari kesimpulan itu, mereka lalu membangun frame konseptual untuk memperkokoh keterpisahan agama dan ilmu pengetahuan, yang kemudian dikerucutkan pada pembagian fungsi, peranan dan wilayah kerja masing-masing. Semisal, agama itu hanya meliputi konsep-konsep eskatologi, ketuhanan, kenabian, akidah, fiqh, tafsir, hadist dan sebagainya.
Disiplin-disiplin itu dinilai sebagai represent<>asi agama karena menyangkut hal-hal yang sangat “fundamental” pada diri manusia relasinya dengan Tuhan, nabi dan kitab suci. Lepas dari tiga relasi itu berarti tidak termasuk dalam kategori agama. Makanya, ilmu pengetahuan kemudian dijadikan sebagai sebuah bangunan “disiplin yang umum” untuk mewadahi disiplin-disiplin yang tereliminasi dari disiplin agama, seperti ilmu-ilmu humaniora, biologi, psikologi, fisika, sejarah, filsafat, ekonomi dan seterusnya.
Begitu parahnya pendikotomian tersebut, sampai-sampai dipertajam lagi melalui pendekatan struktural-politis, yaitu dengan mendirikan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) dan Departemen Agama (DEPAG) di awal kemerdekaan negara ini. Berdirinya dua departemen ini secara otomatis semakin mempertebal kesalahan epistemologis dalam bentuk dikotomi pendidikan di atas. Terutama pada kurun tahun 1990-1997, keterpisahan atau diskontinuitas antara agama dan ilmu pengetahuan tampak begitu gamblang.
Jangankan dua disiplin tersebut, bahkan dua sisi keberagamaan, yakni sisi normativitas dan historisitas sekalupun juga mengalami ketegangan yang begitu parah. Hal itu disebabkan besarnya pengaruh yang ditimbulkan kesalahan epistemologis di atas dalam memandang hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Anehnya lagi, ketegangan itu tidak hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan tingkat bawah, seperti Sekolah Dasar (SD), SMP, dan SMU, akan tetapi pun terjadi di tengah-tengah masyarakat akademik atau perguruan tinggi terutama yang berlabel Islam. Aneh tapi nyata, itulah kesan yang tampak pada masyarakat akademik yang seharusnya lebih berpotensi untuk menyadarkan masyarakat lainnya, namun ternyata juga mengindap penyakit yang sama.
Atas dasar keresahan itulah, Prof. Dr. Amien Abdullah melalui buku “Islamic Studies; Pendekatan Integratif-Interkonektif” ini melakukan upaya dekonstruksi atau merombak ulang untuk kemudian ditata kembali konstruk berpikir masyarakat dalam melihat agama relasinya dengan ilmu pengetahuan. Melalui buku ini, Amin hendak menawarkan satu konsep yang isebut dengan the Spiderweb of Interconnectivity Between Islamic Studies, Humanities and Social Sciencies. Asumsi dasar yang diusung konsep ini adalah, bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama lainnya), keilmuan sosial, humaniora, kealaman dan sebagainya, tidaklah dibenarkan bersikap single entity. Masing-masing harus saling bertegur sapa antara satu sama lain. Sebab, ketika bangunan-bangunan keilmuan itu saling membelakangi, maka cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness alias pola pikir yang amat sempit dan menyempitkan bagi yang lain (hlm. 102).
Katakanlah dalam menyikapi persoalan sosial, ketika bangunan keilmuan yang digunakan adalah bangunan keilmuan agama (Islam) ansich, maka yang akan tejadi adalah disparitas analisis yang secara otomatis juga akan berimbas pada cara pemecahannya. Sebagai misal, kasus Lia Aminudin yang belum lama ini kembali menggemparkan seantero Indonesia. Jika menggunakan kaca mata agama (Islam), Lia jelas murtad alias keluar dari ajaran agama Islam, untuk itu halal bagi setiap umat Islam lainnya untuk membunuhnya. Tapi bagaimana dengan tanggapan orang lain ketika mereka menggunakan kaca mata yang berbeda, semisal kaca mata psikologi?
Perbedaan-perbedaan cara pandang semacam inilah yang kemudian coba dirangkum oleh Amien dalam konsep atau paradigma integratif-interkonektif di atas. Lebih jelasnya, secara aksiologis paradigma integratif-interkonektif hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, lebih terbuka, dialogis dan transparan. Untuk itu, ada tiga entitas yang harus dibangun di bawah payung paradigma interkonektif di atas, yaitu hadarah an-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks-bayani), hadarah al-‘ilm (b
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua