Pustaka

Jejak Anak-anak Syekh Ruyani Pandeglang di Kairo Awal Abad 20

Senin, 30 Juli 2018 | 03:45 WIB

Di Pandeglang Banten, tepatnya di Desa Kadu Pinang, terdapat dua makam ulama besar kawasan itu yang dikenal dengan “Keramat Kadu Pinang”, yaitu Syekh Muhammad Sohib dan putranya, Syekh Muhammad Ruyani.

Syekh Muhammad Sohib Pandeglang ini diperkirakan hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Abdul Karim Banten, yaitu pada abad ke-19 M, sekaligus sejawat keduanya. Data ini setidaknya dapat ditelusuri dari manaqib KH. Tubagus Falak Bogor (Mama Pagentongan), yang mana ketika beliau belajar di Makkah pada akhir abad ke-19 M, beliau dititipkan oleh gurunya, yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang Pandeglang, kepada kawannya yang juga asal Banten dan mengajar di Makkah, yaitu Syekh Abdul Karim Banten.

Terdapat beberapa nama ulama Banten yang bermukim di Makkah dan menjadi pengajar di Masjidil Haram, di antaranya adalah Syekh Nawawi Banten, Syekh Syadzili b. Wasi’ Banten (murid Syekh Nawawi), Syekh Abdul Hanan Banten (menantu Syekh Nawawi), Syekh Abdul Haq Banten (cucu Syekh Nawawi Banten), Syekh Abdul Karim Banten, Syekh As’ad Thawil, dan lain-lain. Dua nama terakhir, yaitu Syekh Abdul Karim Banten dan Syekh As’ad Thawil, pulang ke tanah air dan menjadi sentral gerakan sosial-keagamaan di Banten pada akhir abad ke-19 M. Keduanya pula yang menjadi pemantik gerakan perlawanan petani di Cilegon terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1886.

Terdapat seorang nama cendikiawan asal Banten lainnya yang bermukim di Hijaz namun memilih jalur karir birokrat, bukan ulama, yaitu Raden Abu Bakar Djajadiningrat, putra dari Raden Ahmad Djajadiningrat yang merupakan Bupati Pandeglang pada zamannya. Raden Abu Bakar Djajadiningrat bekerja sebagai pegawai dan penerjemah pada kantor Konsulat Belanda di Jeddah sejak tahun 1884 hingga 1914. Djajadiningrat pula yang menjadi pembimbing dan informan setia bagi Snouck Hurgronje, orientalis kawakan dari Leiden yang kelak menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda pada persilangan abad ke-19-20 M, ketika Hurgronje pertamakali datang ke Hijaz dan berkehendak melakukan penelitian di Makkah.

Kembali ke sosok Syekh Shohib Kadu Pinang Pandeglang. Beliau ini mempunyai anak, yang juga menjadi salah satu ulama sentral Banten, yaitu Syekh Muhamad Ruyani. Sayangnya, tak banyak data dan informasi lanjutan tentang kedua tokoh ulama besar ini.

Menariknya, dalam beberapa arsip yang dihimpun oleh penulis, terdapat dua buah nama yang mengindikasikan jika kedua nama tersebut adalah anak dari Syekh Muhammad Ruyani Kadu Pinang Pandeglang, yaitu Syekh Sholih Ruyani al-Bantani dan Syekh Burhanuddin Ruyani al-Bantani. Keduanya hidup dan berkarir di Kairo pada paruh pertama abad ke-20 M. Penulis mendapatkan dua buah arsip yang berbeda yang memuat informasi awal tentang keduanya.

Pertama, nama Syekh Sholih Ruyani al-Bantani. Penulis mendapatkan informasi nama tersebut dari kitab “Kifâyah al-Mubtadi’în ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn”, sebuah kitab karangan Syekh Mukhtar Bogor (Syekh Mukhtâr b. ‘Athârîd al-Bughûrî atau Raden Mukhtar b. Raden Natanagara), seorang bangsawan Sunda yang mengajar di Masjidil Haram hingga wafatnya pada tahun 1930 M. Kitab karangan Syekh Mukhtar Bogor tersebut ditulis dalam bahasa Sunda aksara Pegon, diselesaikan penulisannya di Makkah lalu diterbitkan di Kairo pada tahun 1920 M oleh Maktabah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî.

Nah, terdapat keterangan nama korektor (pentashih) kitab tersebut pada halaman belakang, yaitu Syekh Muhammad Shâlih b. Syekh Muhammad Ruyânî Bantân. Kuat dugaan jika nama tersebut merujuk pada sosok Syekh Sholih Ruyani Pandeglang, yang merupakan anak dari Syekh Ruyani Kadu Pinang.

Informasi di atas sekaligus membuka kemungkinan fakta sejarah lainnya, yaitu adanya hubungan yang erat antara Syekh Mukhtar Bogor di Makkah, KH. Tubagus Falak di Pagentongan (Bogor), dan cucu dari guru Mama Pagentongan, yaitu Syekh Sholih Ruyani Banten di Kairo.

Informasi kedua yang penulis dapatkan memuat nama Syekh Burhanuddin Ruyani Banten. Penulis mendapatkan informasi nama tersebut dari Majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) edisi tahun ke-10 bilangan ke-6 (tahun 1941). Di sana terdapat sebuah kolom berita duka cita atas wafatnya seorang bernama “Boerhanoedin Roe’jani di Cairo”. Tertulis dalam kolom berita tersebut:

“Dari Cairo diterima kabar. Toean Boerhanoedin Roe’jani, Pembantu Kepala Rowak Djawa di Kairo meninggal pada tanggal 9 Mei dalam oesia 45 tahoen.

Boerhanoedin Roe’jani almarhoem lahir di Bantam (Banten), anak seorang oelama jang terkenal, Kiai Hadji Moehammad Roe’jani di Pandeglang. Boerhanoedin Roe’jani almarhoem itoe menoentoet ilmoe pada sekolah tingga Al-Azhar di Cairo. Di kalangan student ia seorang jang terkenal”.

Menimbang informasi kedua tokoh di atas, yaitu Sholih Ruyani dan Burhanuddin Ruyani, yang terdapat dalam dua sumber arsip, dapat disimpulkan jika dua cendikiawan asal Pandeglang tersebut merupakan aktivis gerakan intelektual Bumi Putera yang berkarir di Kairo. Sholih Ruyani adalah seorang korektor (pentashih) kitab pada penerbit Maktabah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî yang pada masa itu adalah salah satu penerbit swasta terbesar di Timur Tengah. Sementara Burhanuddin Ruyani adalah wakil kepala Ruwaq Jawa (Pemondokan Pelajar Nusantara) di al-Azhar Kairo sekaligus aktivis intelektual yang sangat terkenal di Kairo pada zamannya.

Dua nama cendikiawan asal Pandeglang di Kairo ini, yang kuat terindikasi memiliki hubungan anak-ayah dengan Syekh Ruyani b. Syekh Sohib Kadu Pinang Pandeglang, tentu memberikan tambahan informasi dan data yang penting bagi rekonstruksi sejarah gerakan sosio-intelektual Islam (di) Nusantara, khususnya untuk wilayah Banten. (A. Ginanjar Sya’ban)