Penulis: KH Muhammad Sholikhin
Penerbit: Narasi, Yogyakarta
Cetakan: 1 (pertama) 2008
Tebal: 420 Halaman
Peresensi: Matroni
Dalam catatan sejarah, penyebaran Islam di Jawa, menunjukkan bahwa Islam tersebar luas kepada masyarakat Indonesia hingga saat ini berkat perjuangan dan jasa besar para ulama. Hingga sekarang dan kemudian hari dikenal dengan sebutan Walisongo. Sayangnya biografi mereka, hingga saat ini masih banyak didominasi mitos dan hikayat, dan belum menunjukkan realitas historis serta ajaran yang betul-betul valid.<>
Di antara para wali yang paling mendatangkan kontroversi dan paling banyak diselimuti kabut mitos adalah wali nyentrik, yaitu Syeikh Siti Jenar dan ajarannya sangat populer di masyarakat. Sayangnya, penulisan ajarannya secara utuh dan sahih belum banyak dilakukan.
Syeikh Siti Jenar menghadirkan kearifan spiritual Islam di Jawa, atau yang umum disebut sekarang sebagai Islam Esoteris. Ia mengambil langkah tersebut, di samping alasan utama bahwa kebenaran agama tidak bisa disembunyikan, dan bahwa dia sendiri adalah seoarang esoteris dan esensialis yang telah mencapai pengalaman spiritual tertinggi (mencapai kemanunggalan, tauhid al-wujud). Syeikh Siti Jenar sendiri juga menyadari bahwa Islam yang sudah diterima masyarakat Jawa sejak awal abad ke-13 (jauh sebelum Walisongo hadir), adalah Islam yang mampu berinteraksi dengan religiusitas lokal, dan menjalin-kelindan dengan peradaban serta budaya masyarakat yang ada.
Hasilnya adalah sebuah antropologi keagamaan yang mengasyikkan, bahwa zikir adalah salat daim, yakni seluruh tingkah laku kita yang berhubungan timbal-balik dengan Allah. Dan, ternyata, ajaran Syeikh Siti Jenar diperoleh dengan sanad (mata rantai periwayatan) yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara syar’i, sufi dan bahkan filsafat. Tujuan utama Syeikh Siti Jenar adalah mengajak manusia untuk selalu tumbuh berkembang seperti pohon sidratul muntaha, yang selalu aktif, progresif dan positif.
Membangkitkan pribadi “insun sejati” melalui tauhid al-wujud, atau yang kenal dengan judul buku ini adalah “manunggaling kawula-gusti”. Gerakan yang dilakukan Syeikh Siti Jenar bersumbu pada pembebasan kultural, yang meliputi pembebasan kemanusiaan dari kungkungan struktur politik yang berdalih agama, sekaligus pembebasan dari pasungan keagamaan yang formalistik. Jadi, Syeikh Siti Jenar bukan hanya seorang penyebar agama Islam awal di Indonesia, namun sekaligus seorang suci yang sangat dihormati berbagai kalangan sampai saat ini, karena memang ajarannya yang aplikatif secara lahir dan batin juga mampu membawa rasa kebebasan bagi para penganutnya. Unsur kebebasan di bawah naungan kemanunggalan inilah mutiara yang termahal dalam hidup.
Wajar jika di balik kesunyian dan kesepian makamnya dari para penziarah, Syeikh Siti Jenar jauh melebihi para wali yang lain dalam konsep “berkah” dan “karamah”-nya bagi masyarakat. Tangisan, doa, dan jeritan tidak diberikan di makamnya yang terpencil di Kemlaten atau Giri Amparan Jati (Cirebon, Jawa Barat), tetapi hal-hal tersebut diwujudkan dalam tangisan, doa, dan jeritan histeris batin, para pengikut dan penganut ajarannya, baik terhadap Syeikh Siti Jenar, dan lebih utama lagi adalah jeritan histeris karena puncak pengalaman spiritualnya, yakni kondisi manunggal.
Buku ini mengajak kita untuk mengetahui sejauh mana pengelaman penulis sejak pertengahan 2002 dari hasil pengalaman tersebut, maka melalui penulisan buku ini, penulis mencoba mengumpulkan ajaran Syeikh Siti Jenar yang tercecer dan saling terpisah menjadi satu ketentuan yang utuh. Lebih tepatnya, buku yang penulis susun ini memiliki tujuan utama melakukan rekonstruksi ajaran Syeikh Siti Jenar. Dengan membaca buku ini, diharapkan para pembaca mendapatkan gambaran yang lengkap tentang sosok Syeikh Siti Jenar berserta ajaran-ajaran otentiknya.
Tentunya, arti penting bagi pembaca adalah mendapatkan kepastian mengenai sosok Syeikh Siti Jenar sebagai tokoh sejarah Islam di Indonesia. Sebab, selama ini, kebanyakan penulis dan pembaca tetap belum yakin benar bahwa Syeikh Siti Jenar merupakan sosok historis (manusia sejarah) yang benar-benar pernah hidup di bumi Indonesia, yang ajarannya masih hidup lestari hingga kini. Bahkan, dari kajian penulis dalam buku ini, nampaknya Syeikh Siti Jenar pernah memiliki karya tulis yang sebutnya sendiri, di antaranya adalah kitab Balal Mubarak, Tal-misan dan Musakhaf. Tetapi, seiring pelarangan ajarannya setelah dia wafat, kitab-kitab tersebut kemudian “hilang”.
Dengan demikian, ajaran-ajarannya masih tetap terpelihara melalui para pengikutnya, baik yang memeliharanya di dalam batin dan memori pikiran, yang kemudian diungkapkan dalam bentuk suluk dan serat, atau juga melalui kajian para sastrawan keraton pada abad ke-17 dan 18. Kemudian, pada era 1930-an sampai era 1955-an, muncul karya-karya ulasan yang lebih mendalam atas ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Penulis yakin ajaran Syeikh Siti Jenar tidak akan pernah surut dari panggung sejarah dan kebudayaan, sebagai salah satu varian kebenaran Islam. Dan hal tersebut menjadi khazanah yang sangat mahal bagi bangsa Indonesia, di pentas sejarah pemikiran dan perkembangan Islam pada umumnya.
Buku ini merupakan yang pertama dalam menyajikan filsafat kemenunggalan Syeikh Siti Jenar di mana ungkapan “Aku adalah Allah” yang telah mendatangkan kontroversi karena dinilai sebagai persyaratan penuhanan terhadap diri. Apa dan bagaimana sesungguhnya konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos menurut Syeikh Siti Jenar yang diurai dalam buku ini. Buku ini menyajikan itu semua.
Peresensi adalah Pustakawan Kutub Yogyakarta, dan Pengelola Taman Baca Dua Mata Air, Yogyakarta
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
3
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
4
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
5
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
6
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
Terkini
Lihat Semua