Pustaka

Membaca Politik Islam Indonesia Kontemporer

Ahad, 31 Agustus 2008 | 23:00 WIB

Judul: Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi
Penulis: Syarifuddin Jurdi
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I Juli 2008
Tebal: xxi + 677 halaman (termasuk indeks)
Peresensi: Karuni Ayu Sawitri

Transisi demokrasi Indonesia pascareformasi mengubah wajah perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok tertentu, juga ikut mewarnai.<>

Terbukanya katub-katub kebebasan dalam berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan masyarakat mencari alternatif baru.

Salah satunya adalah munculnya berbagai pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi di tingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat, negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik.

Selama Orde Baru (Orba), kekuatan politik Islam mengalami pasang surut. Pada masa awal Orba, Islam mengalami peminggiran dari negara. Umat Islam merasa kesulitan mengembangan gagasan-gagasan mengenai sosial-politik karena rezim Orba yang represif. Islam sedikit memperoleh angin segar saat masuk masa pertengahan akhir rezim Orba, namun kepentinganya juga masih banyak dikooptasi negara. (halaman 18-20)

Pada era reformasi, menguat pemikiran politik Islam dan juga muncul reaksi balik dari berbagai kelompok yang bersebrangaan. Kondisi ini memunculkan tiga kubu dalam masyarakat. Pertama, menginginkan legalitas politik Islam dalam sistem negara. Kelompok ini dikenal dengan kelompok simbolis, yakni berpegang pada model legalitas simbol-simbol Islam. Kedua, kelompok yang menolak masuknya sistem Islam dalam negara, namun merasa perlu memasukan etos atau spirit Islam dalam mendasari sistem negara. Kalangan ini dikenal dengan kelompk subtansialis. Ketiga, adalah kelompok yang membedakan antara kawasan pribadi dan publik dalam kenegaraan. Agama adalah wilayah pribadi yang tidak dapat dicampurkan dalam sistem publik, negara. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok liberal.

Kelompok pertama menyakini bahwa kegagalan bangsa Indonesia membangun negara yang kuat adalah karena sistem yang dianut adalah sistem negara sekuler. Islam menjadi solusi atas segala krisis bangsa; kepemimpinan, ekonomi, relasi sosial dalam masayarakat dan moralitas. Masyarakat Indonesia perlu mengambil pedoman hidup dari inti sari nilai-nilai Islam dan praktik kenegaraan Islam masa Rasulullah. Pemahanan ini sendiri melahirkan banyak model gerakan Islam di Indonesia saat ini.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia.

Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah transnasional yang membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Pemikiran politik HTI banyak terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian berkembang pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah sendiri runtuh pada 1924, masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan kekuatan kapitalisme Barat. (halaman 386).

Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memandang bahwa pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia. Sepintas, MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih mengedepankan simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan antara HTI dan MMI dalam menegakkan Islam.

Bagi MMI, siapa pun yang menetang penegakan syariat harus ditentang dan dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi pemicu ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal. Tidak jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini.

Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI memiliki orietasi yang kurang lebih sama dengan MMI. Namun, masing-masing memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan keagamaannya. Gerakan-gerakan ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di antara umat Islam dewasa ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta (1/06/08) merupakan fakta atas hal ini.

Syarifuddin Jurdi, penulis buku ini, dengan gamblang menjelaskan fenomena menguatnya gerakan politik keagamaan yang tumbuh berkembang dewasa ini. Penulis adalah Sosiolog yang mencoba melihat fenomena tersebut tidak an-sich dari sudut pandang sosial, namun juga politik dan agama. Di sinilah letak kekuatan buku ini, yang tidak sepihak memandang fenomena politik Islam dan gerakan formalisasi agama. Pembaca akan merasa puas diajak berselancar mengarungi politik Islam di Indonesia dewasa ini dalam buku setebal 677 halaman ini. Dengan membaca buku ini, kita akan mampu memahami mengapa konflik antarumat beragama hingga saat ini seolah tiada berujung.

Peresensi adalah Pustakawan Lintang Songo, Yogyakarta