Pustaka

Potret Kaum Santri Menembus Peradaban

Senin, 15 Maret 2010 | 11:45 WIB

Judul Buku : Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam
Penulis : Asrori S. Karni
Penerbit : PT Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan : I, 2010
Tebal : xiii + 426 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)
 
Geliat kaum santri melakukan pengembaraan intelektual sungguh luar biasa. Kaum santri tidak lagi menjadi manusia yang puas hanya dengan sarung dan kitab kuning. Mereka memiliki cita-cita tinggi dan ingin menjelajah keilmuan modern di luar pesantren. Hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman yang menuntut setiap manusia bergerak cepat. Sedikit saja lengah atau mengabaiakan kesempatan, maka peluang-peluang emas akan terlewatkan. Sebagaimana petuah Ronggowarsito bahwa di zaman edan, siapa yang tidak edan tidak kebagian. Tapi, seberuntung-beruntungnya orang edan, adalah mereka yang senantiasa eling (sadar) dan waspada. Jangan sampai hanya terjebak pada kenikmatan sesaat yaitu sekedar kenikmatan duniawi.<>
 
Nampaknya, kaum santri ingin menjadi orang yang eling tersebut. Ini karena mereka dibekali dengan pengetahuan ad-din (agama) sebagai penyangga kehidupan agar tidak terjebak dalam kubangan hedonisme semata. Dengan bekal tersebut, mereka telah siap menceburkan diri ke dalam hiruk-pikuk kehidupan di era modern agar tidak tertinggal zaman. Disinilah para santri diuji untuk membuktikan kemampuannya bersaing dengan kawan-kawan lain yang notabene non-santri. Pertarungan di kancah keilmuan pun berlangsung hangat dan menantang. Inilah wajah baru pendidikan Islam di era kontemporer.
 
Lebih lanjut, Asrori S. Karni dalam buku Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, memotret fenomena santri yang sukses meraih kursi di Universitas ternama. Buku yang akan kita kupas ini, juga mengangat keberhasilan pendidikan Islam, baik Pesantren, Madrasah, maupun Universitas di segenap penjuru tanah air. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, termasuk pemerintah. Sebelumnya, pendidikan Islam hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Bertahun-tahun, pendidikan Islam terutama pesantren, sama sekali tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari pendidikan nasional.
 
Bertahun-tahun pesantren dan pendidikan Islam lain selalu terpinggirkan. Padahal, telah ratusan tahun pesantren memberi kontribusi positif bagi generasi bangsa. Pesantren adalah pendidikan yang selalu terbuka untuk semua kalangan. Siapa pun asal memiliki kemuan, boleh masuk pesantren tanpa dipandang seberapa besar kemampuan ekonominya. Para Kyai telah mendidik putra-putri bangsa dengan tulus ikhlas tanpa mengharap bayaran. Sungguh sangat ironis jika kenyataan ini diabaikan oleh pemerintah. Apalagi generasi pesantren telah terbukti mampu memimpin Negara seperti Gus Dur, Hamzah Haz, dan lainnya.
 
Beruntunglah pemerintah saat ini mulai terbuka dengan pesantren dan bisa mengurangi diskriminasinya. Sejak dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pesantren dan Madrasah diakui menjadi bagian integral dari pendidikan nasional. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan adanya regulasi yang setara, program-program, serta asupan dana dari APBN. Berbagai beasiswa banyak diberikan Depag kepada sejumlah pesantren yang memiliki sekolah formal agar para lulusannya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
 
Kisah sukses para santri di Perguruan Tinggi ternama saat ini bukan lagi omong kosong. Sebagaimana disebutkan dalam buku ini, ada santri lulusan Pondok Pesantren Khusnul Khatimah, Jalaksana, Kuningan Jawa Barat, bisa masuk ke ITB Bandung. Ia adalah Muhammad Reza Akbar, putra dari pedagang plastik di Pasar Tradisional Cidadas, Bandung. Jika melihat ekonomi keluarga, Reza tidak mungkin berharap kuliah. Beruntung ia bisa mengikuti tes seleksi beasiswa Depag dan bisa masuk ke ITB Bandung. Selain Reza, ada juga Ahmad Adhim, santri asal Pesantren Matholiul Anwar, Lamongan. Ia bersama kawan-kawan santri lainnya berhasil masuk ITS Surabaya dari beasiswa Depag (hal 166).     
 
Terkait prestasi para santri di Perguruan Tinggi, rupanya mereka tidak kalah saing dengan mahasiswa yang berasal dari SMU. Bahkan diantara mereka ada yang mampu meraih skor penuh : 4. Hal ini sebagaimana diraih oleh Yahman Faojio, santri lulusan MA di Pesantren Raudlotul Ulum, Pati, Jawa Tengah. Ia berhasil masuk IPB dan menggondol IP 4. Tentu saja ini menjadi kejutan bukan hanya bagi pesantren Raudlotul Ulum, tapi juga bagi IPB sendiri. Ini juga membuktikan bahwa generasi santri mampu bersaing dengan generasi lain yang notabene dari pendidikan umum. Meskipun diantara mereka juga ada yang kesulitan untuk beradaptasi sehingga mendapat IP kurang memuaskan. Tetapi semua itu adalah proses sehingga membutuhkan keuletan dan ketekunan.
 
Selain kisah sukses para santri, banyak juga pesantren yang mampu mengembangkan pendidikannya sehingga mendapat status Mu'adalah (persamaan). Misalnya, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Mbah Hamid Pasuruan, Pesantren Pabelan Magelang, dan Pesantren Darussalam Garut. Adanya status Mu'adalah ini, sangat memudahkan para lulusan pesantren melanjutkan ke pendidikan formal atau mendaftar jadi PNS. Kendala ijazah sebagaimana lazim terjadi dahulu, kini bukan lagi menjadi faktor penghambat. Ini karena ijazah Mu'adalah sudah setingkat pendidikan formal lainnya. Tentu saja, proses menuju Mu'adalah tidak serta merta (taken for granted) terjadi, tetapi melalui proses seleksi yang ketat. Pemerintah harus menilai beberapa hal, seperti komponen penyelenggara pendidikan, status pesantren, serta penyelenggara pesantren (hal 199).
 
Dengan suksesnya pesantren meningatkan kualitas pendidikannya berkat perhatian pemerintah, ke depan negri ini akan dipenuhi generasi yang cakap dalam intelektual dan luhur dalam moral. Mereka adalah generasi yang siap memajukan bangsanya dengan segenap jiwa raga. Bukan generasi bermental uang maupun kekayaan yang justru akan merusak bangsa ini. Kasus-kasus akut seperti korupsi yang justru banyak dilakukan oleh 'orang-orang pintar', pada akhirnya akan sirna karena ke depan orang-orang pintar tersebut lahir dari rahim pesantren yang berdedikasi tinggi dalam menjaga moralnya.
 
*) Peresensi adalah Ketua Tanfidziyah PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta