Pustaka Menguak Tren Pluralisme Agama

Tren Pluralisme Agama

Senin, 27 November 2006 | 12:59 WIB

Penulis: Dr. Anis Malik Thoha, Peresensi: Lukman Santoso Az*, Cetakan: Pertama 2006, Tebal : 298 halaman
 
Wacana pluralisme agama telah muncul pada masa yang disebut enligtenment (pencerahan) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa dimana sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Juga merupakan masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru tentang pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalism) dan pembebasan-pembebasan akal dari kungkungan agama. Kondisi ini timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja, serta hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa, maka muncullah suatu faham yang dikenal dengan 'liberalisme' (liberalism), yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman (pluralism).  Pluralisme agama sepintas memang tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, namun yang lebih mendalam, obyektif dan kritis terhadap gagasan tersebut, adalah telah menunjukkan hakikat yang justru sebaliknya, dan semakin menyingkap topeng yang menyembunyikan wajah aslinnya yang ternyata bengis, tak ramah dan intoleran.

Berpijak pada kondisi inilah, Dr. Anis Malik<> Thoha, yang merupakan doktor  pada International Islamic University Malaysia (IIUM), melalui buku yang berjudul "Ttren Pluralisme Agama" ini, berupaya merepresentasikan berbagai tren pluralisme agama secara komprehensif dan gamblang yang dewasa ini telah mencuat dalam wacana pemikiran global untuk selanjutnya menemukan garis terang dari berbagai pemahaman yang telah berseberangan antar agama-agama di dunia. Dalam buku ini, Dr Anis merepresentasikan empat tren pluralisme agama yang dewasa ini mencuat dalam perdebatan pemikiran global.

Pertama  mengenai humanisme sekuler, yakni tren yang dibangun atas dua konsep utama dalam mewujudkan koeksistensi damai antar agama; sentralitas manusia sebagai subyek dan obyek serta konsep sekulerisme. Humanisme sekuler pada dasarnya bercirikan :"antroposetris", yakni menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos (centre of cosmos), atau menempatkannya  pada titik sentral. sentralitas manusia dalam prinsip dan tujuannya merupakan ciri paling khas dari revolusi intelektual dan kultural pada zaman modern ini.

Kedua, tentang teologi global (global theology), yang mengacu pada teori rekonsepsi agama yang diusung Wilfred Cantwell Smith dan hipotesis transformasi pemusatan diri menuju pemusatan yang maha nyata (the real) yang dipropagandakan oleh John Hick. Pengaruh globalisasi dewasa ini dalam mengubah kehidupan manusia dengan segala aspeknya sangat luar biasa kompleksnya diluar apa yang dibayangkan sebelumnya. Hal ini dapat menyebabkan luntur dan bahkan lenyapnya jati diri dan nilai-nilai kultur dan budaya. Ketiga, tentang tren sinkretisme (syincretic trend), yang diwakili oleh gerakan masyarakat  ketuhanan (brahma samaj) dan masyarakat teosofi (theosopical society), yang didirikan  pada tahu 1875 di New York, AS. Tren ini merupakan kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasikan berbagai unsur berbeda-beda yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi dalam salah satu agama yang ada.

Keempat mengenai hikmah abadi (perennial philosopy), tren ini merupakan pemikiran baru yang mana sosoknya belum mengkristal dan terlihat secara konkrit kecuali ketika pada kira-kira dua dasarwarsa dari abad 20 yang lalu. Namun, dampak dari tren ini adalah penghalauan segala sesuatu yang berbau sakral, dan dengan demikian disadari atau tidak tren tersebut dapat dipastikan merupakan setali tiga uang dengan sekulerisme. Pinsip-prinsip dasar dalam tren hikmah abadi dapat ditemukan dalam legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam msyarakat primitif diseluruh penjuru dunia, dan bentuk-bentuknya yang lebih maju terdapat disetiap agama besar didunia.

Mengacu pada empat tren diatas, pada dasarnya pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis dan promissing. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, yakni John Hick, bahwa, semua agama yang teistik maupun non-teistik dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Namun, dalam kenyataannya, klaim itu menjadi klaim "kebenaran relatif" yang absolut. Tidak saja ingin merelatifkan klaim kebenaran yang ada, tetapi juga ingin menggumuli klaim-klaim tersebut,

Merujuk pada tesisnya Samuel P. Huntington, tentang the clash of civilization (benturan peradaban) dalam kaitannya dengan pluralisme, penulis meyakini secara umum bahwa tesis ini sangat berpengaruh dalam berbagai kebijakan-kebijakan resmi admnistrasi gedung putih, maka thesis ini tidak saja hanya absah tetapi juga sangat relevan untuk menganalisis dan menjelaskan fenomena sosial-politis dan keagamaan yang berkembang di Barat, khususnya AS, dewasa ini. penulis yakin bahwa benturan antar peradaban pada dasarnya secara umum adalah merupakan benturan antar agama, karena agama adalah konstituen atau pembentuk ata