Risalah Redaksi

Demokrasi Kehilangan Jati Diri

Jumat, 11 April 2003 | 19:56 WIB


Gerakan sosial dan juga politik selalu membutuhkan ideal type (tipe ideal) sebagai contoh bagaimana gerakan tersebut diwujudkan, baik dalam bentuk tokoh maupun institusi. Dalam gerakan demokrasi Amerika dan Ingris selalu dijadikan tipe ideal dari gerakan tersebut, sebab dua negara tersebut telah lama menerapkan sistem demokrasi. Fenomena itu membuat orang Eropa yang selama ini memandang Amerika sebagai bangsa yang belum beradab, tetapi memiliki perkembangan politik yang menarik, yakni paham egalitarianisme yang mencolok, karena itu pada tahun 1831 Perancis mengirim seorang sarjana untuk menyelidiki demokrasi di Benua Baru itu.

Soal bagaimana menerapkan demokrasi dan hak asasi manusia Amerika memang jagonya, tetapi perlu diingat bahwa demokrasi hanya untuk warga Amerika sendiri. Di permukaan memang negeri itu giat mengekspor demokrasi, dalam bentuk pemberian dana besar kepada program demokratisasi dan pembelaan hak asasi manusi ke negara lain. Tetapi demokrasi yang diharapkan rakyat Dunia Ketiga sebagai system yang bisa melindungi keselamatan ,mereka dari system social politik yang menindas. Tetapi cita-cita luhur itu digunakan Amerika untuk memperluas pengaruhnya, demi tujuan politik dan penguasaan ekonomi.
Perilaku imperialisme Amerika berbaju demokrasi itu terlihat bagaimana para pimpinan politik pasca kemerdekaan yang populis dan gigih membela kepentingan rakyat satu persatu dibantai, Gamal Abdel Naser (Mesir), Soekarno (Indonesia) Norodom Sihanouk (Kamboja) dan Aliande (Chile) hanya mereka berprinsip mandiri dan populis, sehingga di tuduh komunis dan sebagainya. Tercatat bahwa negara demokrasi itu secara periodik melakukan serbuan militer ke beberapa negara seperti ke Lebanon (1958) ke Vietnam (1964) ke Kamboja (1968) ke  Panama (1989) ke Nicaragua (1990) ke Afganistan (2002) dan terakhir ke Irak (2003). Serangan militer itu terlebih dulu diawali dengan serangan pers, perang opini, sehingga seolah intervensi itu legitimate, alasan membasmi komunisme, terorisme, Islam fundamentalis, atau memerangi rezim korup, represif, atau memerangi peredaran obat bius. Walhasil penerimaan informasi tunggal dan tanpa kritik akan termakan oleh opini sesat yang dibungkus dengan program kemanusiaan, kesehatan dan demokrasi itu.


Selama beberapa waktu orang masih termakan oleh opini bohong itu, tetapi sekarang ini orang lebih kritis, mereka dengan sumber informasi yang beragam bisa memperoleh informasi tandingan yang lebih faktual. Termasuk orang tahu, bagaimana aparat rezim Amerika itu membungkam dan mengusir pers yang bicara obyektif, seperti yang ditampilkan televisi Al Jazeerah,  sebab kebenaran itu bisa menelanjangi kebohongannya.  Tetapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah  disiarkan dengan antusias  keberhasilan negara demokrasi itu dalam membantai dan menewaskan lawan, bukan hanya di medan tempur tetapi diperkampungan sipil. Hak asasi manusia mana yang bisa membenarkan tindakan biadab itu.


Kebiadaban Amerika itu membuat kalangan aktivis prodemokrasi mengalami disorientasi, baik karena kehilangan tipe ideal demokrasi, juga merasa kehilangan jati diri. Karena dalam refleksi mereka menemukan bahwa dalam konsep demokrasi yang ada penuh dengan kuman, seperti elitisme, borjuisme, feodalisme, meritisme, yang berkembang melalui spirit liberalisme, yang kesemuanya anti rakyat, sehingga untuk kembali melanjutkan gerakan itu perlu reformulasi lagi. Ini membuat gerakan pro demokrasi semakin sulit, selama ini sudah tidak dipercaya orang, maka sekarang malah dicibirkan orang, karena membawa dagangan ide palsu yang menyesatkan orang. Kasus itu membuat orang berpaling dari demokrasi Barat mencari jalan sesuai dengan warisan cultural sendiri, ini akan mengarah pada partikularisme, yang selama ini ditentang oleh gerakan hak asasi manusia dan demokrasi. Tetapi apa hendak dikata universalisme juga telah  terbukti membawa malapetaka dunia. Demokrasi bisa menyelamatkan rakyat dari penindasan dalam negeri, tetapi tiba-tiba menjadi permadani merah bagi penjajahan bangsa asing, seperti dicontohkan di atas. Lan<>


Situasi dalam negeri Indonesia saat ini juga sedang tidak kondusif bagi perkembangan demokrasi, demikian halnya situasi internasional, malah membunuh langkah-langkah gerakan demokrasi. Memang sejak awal demokrasi diakui sebagai sistem yang tidak terlalu baik, tetapi juga tidak jelek-jelek amat, yang statusnya sekadar masih layak pakai, hanya karena belum ada gantinya. Dengan demikian kalangan pro demokrasi dipaksa untuk melakukan riorientasi tentang gagasan dan strategi demokrasi sebagai upaya mencari bentuk relasi sosial dan politik baru yang menjamin kesetaraan, kebebasan, sesalingpercayaan, penuh persaudaraan  dan kesejahteraan. Memang tidak mudah menemukan kembali jati diri, sebab ini berkaitan dengan perkembangan global, jati diri itu bisa ditemukan kembali ketika demokrasi dibersihkan dari virus manipulasi dan benar-benar bisa menunjukan diri sebagai sarana pemanusiaan manusia.


Tetapi celakanya kalau pola-pola Amerika menggunakan demokrasi sebagai sarana kolonisasi dan imperialisasi, maka perkembangan dunia akan semakin suram, dimana demokrasi absolut, demokrasi imperialistik dan hegemonik semakin berkembang, sebab segala bentuk penjajahan di muka bumi telah diabsahkan kembali, setidaknya tidak mendapatkan kutukan dari PBB sendiri, yang selama ini ditahbiskan sebagai lembaga penjamin ketertiban dan keamanan dunia.