Hiruk Pikuk Kandidat Ketua Umum PBNU dan Kesalahpahamannya
Ahad, 10 Oktober 2021 | 10:00 WIB
Deklarasi calon ketua umum dinilai tidak etis dalam kultur organisasi NU. (Foto ilustrasi: NU Online/Romzy Ahmad)
Achmad Mukafi Niam
Penulis
Menjelang pelaksanaan Muktamar Ke-34 NU, wacana publik yang mengemuka di media arus utama dan media sosial adalah siapa yang nanti akan menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026. Ada berita dukungan yang mengatasnamakan pengurus wilayah NU tertentu kepada salah satu tokoh, ada kiai atau gus yang mendorong satu figur. Ada juga yang membuat survei yang berisi urutan kandidat favorit.
Meriahnya wacana siapa yang akan menjadi ketua umum PBNU ini menunjukkan bahwa banyak orang yang peduli siapa yang akan memegang kendali organisasi periode selanjutnya; juga adanya rasa kepemilikan yang kuat terhadap masa depan organisasi NU.
Sebagai sebuah organisasi keagamaan, NU memiliki sejumlah etika dan aturan pemilihan pemimpin yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dalam mengangkat pemimpin yang berbeda dengan pendekatan demokrasi liberal. Dalam nilai Islam, tidaklah baik jika seseorang mengajukan diri sebagai pemimpin. Karena itu, sampai dengan pelaksanaan muktamar, secara formal tidak ada kandidat ketua umum PBNU. Pengurus wilayah dan cabang NU-lah sebagai pemilik hak suara yang akan mengajukan calon di forum muktamar. Calon juga dianggap layak jika mendapatkan dukungan minimal dalam jumlah tertentu. Deklarasi pencalonan dianggap tidak etis dalam dalam tata nilai NU.
Selanjutnya, hal krusial lain adalah persetujuan dari rais aam terpilih kepada calon ketua umum tanfidziyah. Sebagai pemimpin spiritual tertinggi, rais aam berhak memberikan persetujuan. Secara teori, sekalipun mendapatkan dukungan besar, tetapi jika rais aam terpilih tidak setuju, maka pencalonannya batal.
Rais aam adalah pemimpin tertinggi NU, tetapi kegiatan operasional organisasi sehari-hari dijalankan oleh jajaran tanfidziyah (pelaksana). Dengan demikian, kerja sama yang baik antara rais aam dengan ketua umum tanfdiziyah menjadi sangat penting. Ketua umum tanfidziyah biasanya memiliki informasi lebih detail soal kondisi organisasi. Kondisi ini akhirnya membuat ketua umum tanfidziyah tampak lebih dominan. Memastikan keselarasan visi antara rais aam dengan ketua umum tercermin dalam persetujuan rais aam kepada calon ketua umum.
Mekanisme pemilihan ketua umum pun berubah-ubah dalam perjalanan NU. Ketua tanfidziyah pertama NU, H Hasan Gipo dipilih melalui rapat terbatas para tokoh pendiri NU di Surabaya. KH Abdurrahman Wahid ketika pertama kali terpilih menjadi ketua umum PBNU dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo Jatim menggunakan mekanisme ahlul halli wal aqdi, yang saat itu diamanahkan kepada KH As’ad Syamsul Arifin. Mekanisme lain yaitu pemilihan langsung oleh wilayah dan cabang yang tampaknya akan digunakan dalam muktamar kali ini.
Terdapat keprihatinan akan dampak negatif dari pemilihan secara langsung ini yang membuat suasana muktamar NU menjadi panas akibat polarisasi dukungan. Bahkan kini sudah muncul polarisasi yang tidak perlu seperti asal organisasi semasa sang tokoh yang kini digadang-gadang menjadi ketua umum. Apakah organisasi mahasiswa yang diikuti calon ketua umum PMII atau HMI.
Sistem pemilihan langsung memaksa para tokoh yang akan menjadi calon ketua umum menggalang dukungan dari wilayah dan cabang pemilik suara. Hal ini akhirnya berdampak pada perlunya tim sukses dan pembiayaan operasional yang tinggi. Imbas ikutannya adalah personel pengurus akhirnya didominasi oleh pihak pendukung ketua umum yang menang, padahal menjadi pengurus NU mestinya mengedepankan aspek kompetensi dan kerelawanan.
Upaya penerapan sistem ahlul halli wal aqdi yang sudah berjalan di syuriyah NU sayangnya tidak setujui dalam munas dan konbes NU di Jakarta, September 2021.
Belajar dari penyelenggaraan muktamar sebelumnya, beberapa hal perlu didiskusikan dan diatur secara lebih detail. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilhan rais aam dan ketua umum akan mengurangi potensi konflik pascamuktamar. Saat kalah dari Gus Dur dalam pemilihan ketua umum di Cipasung pada 1994, Abu Hasan membentuk KPPNU dan menuntut Gus Dur di pengadilan. Partai politik di Indonesia juga seringkali mengalami konflik pascakongres. Jangan sampai ada pihak-pihak lain yang ingin merongrong NU dengan membuat organisasi tidak stabil usai proses pemilihan pemimpin.
Ada beberapa isu yang mengemuka dan penting untuk dibahas terkait kepemimpinan, namun penerapan aturan tersebut sebaiknya diberlakukan pada pascamuktamar selanjutnya, seperti soal apakah jabatan ketua umum perlu dibatasi periodenya atau sejauh masih mendapat dukungan dari pemilih maka boleh diteruskan tanpa batasan. Pembahasan materi seperti ini menjadi sensitif jika langsung diberlakukan karena rawan digunakan untuk kepentingan calon tertentu. Sebelum diputuskan, juga mesti dilakukan kajian mendalam dari masing-masing pilihan sehingga keputusan tersebut benar-benar untuk kepentingan organisasi, bukan untuk melapangkan jalan calon tertentu.
Tema siapa yang layak memimpin NU sudah menjadi diskusi hangat di kalangan para pengurus NU di tingkat wilayah dan cabang yang memiliki hak suara. Para aktivis NU dan pihak luar yang merupakan pemangku kepentingan NU turut urun rembuk terkait kepemimpinan ini. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan proses ini berjalan lancar dan menghasilkan pemimpin terbaik selama lima tahun ke depan. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua