Pulang, kata para musafir adalah hak bagi setiap orang yang pergi, demikian halnya islah adalah kewajiban bagi mereka yang bertikai. Dalam persoalan konflik ini NU cukup banyak mengalami, sebagaimana yang terjadi antara kubu Situbondo dan Cipete awal tahun 1980-an. Pertikaian itu tidak berkepanjangan , karena diselesaikan melalui Islah yang terjadi sebelum Munas di Situbondo yang bersejarah itu. Hal itu menunjukkan bagaimana Kubu Cipete mau masuk ke sarang lawan. Demikian halnya kubu Situbondo, juga berlapang dada untuk melakukan pendekatan secara kekeluargaan, tanpa mempermalukan diri lewat forum pengadilan, karena seberapapun kerasnya konflik, tetapi mereka merasa masih satu saudara dan keluarga, yaitu keluarga Nahdliyin. Sementara NU mempunyai berbagai sarana untuk mengatasi konflik, lewat forum-forum seperti khaul, istighasah bahkan walimah.
Berbeda dengan konflik yang terjadi di komunitas NU belakangan ini, antar dua kubu PKB, yang sudah tiga tahun, terus berkepanjangan, seolah tak terlerai lagi. Seolah tradisi keNUan telah lenyap dari falsafah politik mereka, sehingga bumi hijau tidak bisa dijadikan pijakan lagi dan tali jagat tidak bisa mengikat lagi nilai persaudaraan, konflik malah didramatisasi melaui pengadilan dengan biaya mahal baik biaya social, political dan tentu saja finansial yang tinggi. Sementara Islah yang menjadi harapan seluruh umat itu malah tidak pernah menjadi opsi, kecuali hanya sebagai isu untuk manipulasi publik.
<>Memang saat ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan simpul politik NU, dalam situasi yang bebas seperti sekarang ini, NU masih merupakan kekuatan paling solid, dengan dukungan massa yang sangat besar dan platform politik yang sangat terbuka, maka kebesaran itu hampir tak tertandingi. Hanya perpecahan di dalam yang bisa menghambat gelombang kekuatan politik NU. PKB sebagai sayap politik NU pecah baik karena factor internal, juga merupakan usaha eksternal untuk mengeroposkan potensi NU, oleh karena itu kalau Islah yang merupakan opsi terbaik bagi NU, sebaliknya merupakan ancaman serius bagi kelompok eksternal yang ingin menghadang peran NU.
Adalah sebuah ironi, kedua kubu yang bertikai sejak awal dihinggapi rasa tidak percaya diri, perasaan kalah selalu menghantui, karena sebelum kubu mereka tenggelam, mereka mempersiapkan partai sekoci, yang merupakan symbol kekalahan paling nyata. Memang pertikaian itu akan berakhir tanpa pemenang, semua akan kalah, kalah dalam citra dan lebih tragis lagi akan kalah dalam pemilu, sebab dukungan terhadap mereka mulai merosot di mana-mana, juga tidak sempat menata diri dengan baik, apalagi melayani umat dengan baik, tidak bisa dilakukan. Padahal kalau mau islah, semuanya akan tampil sebagai pemenang, energi terkumpul dan langkah bisa disatukan dalam platform kultur NU yang serba tawasut dan tawazun, bukan sikap ektsrem, yang mengharamkan cara-cara islah.
Sejauh tidak bertujuan mengejar kepentingan politik dan ekonomi sesaat, sebenarnya islah sangat mudah ditempuh, sebab titik kesamaan dari keduanya lebih banyak ketimbang titik tengkarnya. Dari platform atau ideologi politik keduanya sama, berasaskan prinsip demokrasi, kebangsaan, kerakyatan dan toleransi. Sejauh itu bukan perbedaan platform atau ideologi semuanya bisa dikompromikan, karena beberapa cita-cita bisa diraih bersama dengan satu kekuatan.
Kejadian semacam itu memang mengharuskan NU untuk melakukan refleksi, bahkan evaluasi, atas seluruh aktivitasnya, baik yang berdimensi social, politik, cultural maupun keagamaan. Karena kalau terserap pada persoalan politik yang seolah paling penting itu, maka tensi politik yang semakin tinggi, maka NU akan kehilangan orientasi, bahkan kepedualiannya terhadap persoalan social, pendidikan dan keagamaan yang selama ini menjadi tugas utamanya.
Membangun sayap politik yang kuat dan mapan demikian juga menyiapkan pekerja social yang tangguh, serta penggerak budaya yang kreatif, memang butuh pengkaderan yang sistematis. Maka sistem pengkaderan terpadu yang sudah dirumuskan NU itu perlu segera diaplikasikan agar munculnya kader NU tidak sporadic, berdasarkan perkoncoan, melainkan berdasarkan prestasi dan dedikasinya pada NU. Berangkat dari konflik hari ini, NU perlu memproyeksikan eksistensinya sepuluh tahun mendatang, dan itu ditempuh melalui langkah kaderisasi yang terencana. (a. munim dz)
***
Terpopuler
1
Ini Amalan Jumat Terakhir Bulan Rajab, Bisa Jaga Keberkahan Rezeki Sepanjang Tahun
2
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
3
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
4
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
5
Khutbah Jumat: 4 Hikmah Pemilihan Baitul Maqdis sebagai Tempat Isra Nabi Muhammad SAW
6
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
Terkini
Lihat Semua