Ketika harapan terhadap korupsi semakin membesar, karena merajalelanya tindakan itu dan semakin mengganasnya ke segala lini kehidupan, walaupun instrumen serta institusi pemberantasannya sangat terbatas, namun orang masih berharap pada lembaga dan instrumen pemberantasan itu. Sebab semakin merajalela korupsi akan semakin mengancam kesejahteraan rakyat, karena dana yang mestinya bisa didistribusikan ke mereka, lenyap ditilep di tengah jalan.
Sebenarnya masyarakat berdasarkan pengalaman sejarah, telah apriori terhadap lembaga pemberantasan korupsi, sebab terbukti hanya untuk menutupi korupsi, atau sebagai bumbu pemanis politik sebuah rezim. Tetapi pembentukan undang-undang dan lembaga pemberantasan korupsi pasca reformasi ini sangat diharapkan bisa melahirkan lembaga yang substantif dalam meberantas korupsi, sesuai dengan semangat reformasi. Apalagi institusi level negara, posisinya sangat strategis dalam pemberantasan korupsi yang semakin merajalela.
<>Dalam kenyataannya beberapa calon yang diajukan meski banyak yang bekas koruptor, atau melindungi koruptor, tetapi masih ada sedikit calon yang memiliki integritas tinggi, punya keberanian moral dalam menjalankan tugas berat itu. Apalagi dengan kreteria yang disebut-sebut pastilah masyarakat dengan besar harapan orang yang memiliki integritas semacam itu akan efektif bila dijadikan anggota bahkan ketua lembaga strategis itu.
Tetapi dalam kenyataannya DPR yang memiliki hak memilih, punya criteria lain dan pilihan lain, atas nama mandat rakyat, maka mereka milih orang yang tidak dikehendaki, sebaliknya menyingkirkan tokoh yang jelas memiliki integritas tinggi, dan terbukti selama ini bersih. Sebaliknya meloloskan beberapa orang yang selama ini diindikasikan pernah terlibat korupsi sebagai pelaku maupun pelindung.
Padahal dari criteria objektif yang ada dan yang selalu disebut-sebut oleh DPR sendiri, tentu saja orang yang memiliki integritas, kapabilitas dan keberanian itulah yang semestinya masuk komite dan sebagai ketuanya. Jangankan menjadi ketua komisi, menjadi anggotapun dianggap tidak layak, sebab rupanya yang menjadi criteria calon anggota dan ketua komite adalah orang yang bisa diajak kerjasama. Kerjasama dalam melakukan kompromi dan kolusi.
Dengan kenyataan semacam itu maka bisa dipahami sikap apriori masyarakat terhadap susunan komite itu. Kemudian berbaga pandanganpun muncul bahawa, dengan komposisi komite semacam itu tidak mungkin korupsi bisa diberantas. Karena memang tujuan utama pembentukan komisi itu, kata mereka bukan untuk membongkar dan memberantas korupsi. Melainkan seperti zaman sebelumnya yaitu untuk menutupi kasus korupsi.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa di kalangan legislative dan eksekutif belum memiliki kemauan politik yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Bila keadannya demikian, maka pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan, bahkan semakin suram, langit bukan semakin cerah tetapi semakin mendung. Bila dilevel negara semaacam itu, maka gerakan korupsi yang dilakukan ormas dan LSM akan banyak menemui jalan buntu. Sebab mereka hanya bisa melakukan deteksi dini dan himbauan moral, sementara yang akan melakukan penyelidikan adalah komite itu yang kemudian akan dilimpahkan ke pengadilan. Bila sarana penyelidikannya sudah tumpul, maka eksekusi juga tidak bisa dilakukan. (MDZ).
Terpopuler
1
Ini Amalan Jumat Terakhir Bulan Rajab, Bisa Jaga Keberkahan Rezeki Sepanjang Tahun
2
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
3
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
6
Khutbah Jumat: 4 Hikmah Pemilihan Baitul Maqdis sebagai Tempat Isra Nabi Muhammad SAW
Terkini
Lihat Semua