Risalah Redaksi

Mempererat Ikatan Kekeluargaan

Selasa, 22 Juli 2008 | 02:37 WIB

Masyarakat modern dibangun dengan prinsip-prinsip rasionalitas, individualitas dan progresivitas, agar mereka menjadi manusia yang kompetitif. Itu tujuannya. Dengan demikian harus meninggalkan nilai-nilai spiritualitas, komunalitas dan harmoni, karena masyarakat modern sangat mengandalkan kompetisi terhadap siapapun, sehingga manusia satu dengan yang lain ibarat serigala dengan serigala (homo homini lupus) kata Thomas Hobbes, atau orang lain dianggap sebagai neraka seperti dikatakan oleh Jean P Sartre. Memandang manusia lain sebagai pesaing, sebagai musuh telah diajarkaan sedemikian kuat dalam masyarakat modern.

Maka ketika seseorang memasuki pendidikan formal mulai diajarkan menjadi manusia individual dengan diperkenalkan bahwa ada tipe masyarakat yaitu masyarakat paguyuban dan masyarakat patembayan. Paguyuban dianggap perkumpulan yang hanya mengandalkan nilai-nilai emosional, kekerabatan. Sementara masyarakat petembayan diangap manusia rasional yang berkumpul berdasarkan kepentingan tertentu. Perkumpulan ini tidak didasari atas rasa emosi, cinta kasih, tetapi atas dasar kepentingan dan fungsi yang sangat rasional. Dan ini dianggap sebagai bentuk komunitas terbaik.<>

Dari situ kemudian nilai kekeluargaan yang terjadi berdasarkan ikatan cinta kasih, saling percaya, gotong royong ditiadakan, sehingga filsafah Jawa yang menunjukkan tingginya komitmen sosial yang diungkapkan dalam kata hikmah mangan ora mangan ngumpul, yang merupakan nilai komitmen dan perjuangan yang tidak kenal menyerah, justeru dianggap sebagai kepasarahan. Padahal kata itu merupakan terjemahan dari hikmah kenabian bahwa al-muslimu lil muslimi kal bunyan al-wahid (masyarakat muslim itu seperti sebuah bangunan) saling menopang, saling merasakan suka duka ditanggung dihadapi bersama. Dari sini ukhuwah isalmiyah dan solidaritas sosial terbangun. Tetapi ini oleh keilmuan modern disalah pahami sebagai paham organisme yang berdasarkan pada darwinisme sosial. Bukan, ini merupakan nilai kekeluargaan, nilai-nilai komunal tempat bersemayamnya solidaritas dan cinta kasih antara manusia.

Humanisme yang telah memuncak pada individualisme seperti sekarang ini, dimana manusia telah memandang saudaranya sebagai lawan, benar-benar telah terjadi, sehingga tidak lagi ada rasa pengabdian, pengorbanan dan tolong, menolong. Perilaku ini telah menghancurkan seluruh harmoni sosial, kejahatan telah mewarnai seluruh aspek kehidupan dan dilakukan siapa saja, terhadap siapa saja. Dalam masyarakat individual yang atomistik, orang tidak lagi peduli pada yang lain, sehingga humanisme yang diharapkan membawa keluhuran telah mengarah pada dehumanisasi karena terkalahkan oleh individualisme yang egois dan serakah.

Sementara etika sosial hanya akan berjalan bila ada kontrol sosial. Kontrol sosial terjadi bila masyarakat yang bersangkutan hidup dalam satu komunitas dalam sistem kekeluargaan. Sedangkan komunitas itu sendiri baru terbentuk bila kumunitas itu terdiri dari keluarga-keluarga yang memiliki nilai kekeluargaan, ada intimasi, kehangatan dan kerja sama yang diikat oleh nilai kasih sayang. Manusia modern menjadi teralienasi, kesepian, mengalami kesendirian karena dauber oleh berbagai kesibukan, sehingga mengabaikan keluarga sebagai tempat berlabuh, sebagai makhluk sosial dan sekaligus sebagai makhluk alam dan sekaligus sebagai makhluk beragama.

Itulah sebabnya agama menyerukan untuk menjadi diri, menjaga keluarga, tetapi jangan sampai mengabaikan tanggung jawab dan pergaulan sosial, itulah sebanya berbagai kewajiban sosial dibebankan pada setiap Muslim untuk menjaga nilai kekeluargaan dan kejamaahan. Memang Islam tidak berarti tanpa ada jamaah (komunitas) dan komunitas kehilangan fungsi tanpa ada pemimpin dan pemimpin kehilangan peran kalau tidak ada kesetiaan dari anggota. Ini merupakan terjemahan operasional dari bunyanin wahid (bangunan tunggal).

Membangun masyarakat yang maju dan sejahtera dalam Islam justeru harus berangkat dari nilai-niulai kekeluargaan. Solidaritas sosial dan komitmen kemanusiaan hanya akan terwujud dalam komunitas yang harmoni dan terintegrasi. Integrasi sosial selanjutnya akan terbentuk dari sistem nilai atau kosmologi yang ada di kumunitas itu. Dengan adaanya integrasi sosial itu akan terbentuk pula integrasi nasional. Maka pembangunan keluarga sebagai komunitas terkecil itu memiliki kaitan makro dengan pembangunan bangsa.

Keluarga yang harmoni akan membentuk masyarakat yang harmonis dan integratif. Kemasyarakatan yang integratif ini akan mengejawantah dalam kebangsaan yang integrative pula. Bangsa yang terintegrasi akan tangguh menghadapi situasi apapun, dan akan mempu membangun berbagain kemajauan, ketika masing-masing elemen saling menopang. Sementara bangsa lain tengah berusaha menghidupkan kembali nilai kekeluargaan sebagai saran memperkuat integrasi nasional, maka sangat aneh kalau bangsa ini justru meninggalkan nilai kekeluargaan. Di sinilah pentingnya agama kembali mendesakkan nilai-nilai keleuargaan yang diajarkan itu sebagai sarana untuk mengatasi kekeringan dan kekacauan kehidupan modern. (Abdul Mun’im DZ)