Risalah Redaksi

Mencapai Kesucian Spiritual dan Lingkungan

Sabtu, 22 September 2007 | 08:00 WIB

Bulan Ramadhan disebut sebagai bulan suci, karena itu di dalamnya penuh dengan barakah, maghfirah dan rahmah. Bulan suci tidak hanya berarti bulan itu sendiri yang suci, tetapi merupakan sarana manusia untuk mensucikan diri baik suci secara fisik dan lingkungan, juga suci secara rohani dari berbagai kesalahan dan dosa. Dalam kehidupan nyata memang dunia tidak selalu bersih, berbagai persoalan muncul dan membawa berbagai peristiwa yang posistif dan negatif, sehingga mendapatkan tangapan yang posistif dan negatif dari masyarakat.

Berbagai peristiwa sosial dan detak hati berupa rasa syukur, benci, dengki curiga dan lain sebaginya uncul. Tentu sifat madmumah (tercela) itu membawa pada tindak kejahatan dan dosa, sehingga manausia dituntun oleh Islam untuk selalu berpegang pada sifat mahmudah (terpuji). Sifat ini akan mengerahkan manusia pada kasih sayang dan persahabatan.

<>

Dalam situasi saat ini mencapai kesucian itu sangat sulit, sehingga memperoleh berkah juga menjadi sulit. Saat ini lingkungan sosial kita juga sangat tidak bersih, masyarakat yang terdesintegrasi menjadi masyarakat individualistis yang hanya sadar terhadap hak tetapi idak memiliki tanggung jawab sosial. Akhirnya ketegangan bahkan konflik muncul di mana-mana. Manusia menjadi musuh dari yang lain karena tidak saling kenal dan saling curiga.

Demikian juga lingkungan alam kita juga sangat tidak bersih, berbagai pencemaran melanda alam, air tercemar, udara tercemar. Tidak hanya itu makanan yang dikonsumsi masyarakat juga sengaja dicemari dengan berbagai bahan beracun, baik untuk pewarna maupun pengawet, pemanis dan penyedap semuanya terdiri dari bahan beracun. Tetapi semuanya bebas beredar akhirnya dikonsumsi masyarakat.

Tidak hanya itu lingkungan budaya kita sungguh sangat tercemar, setiap hari masyarakat menyaksikan televisi di sana berbagai budaya dekaden, penuh maksiat dan murahan ditampilkan. Kebudayaan tersebut masuk ke rumah masyarakat tanpa halangan dan seleksi. Generasi muda kita sepenuhnya dididik oleh televisi, sehingga masyarakat hanya mengenal dan mengkonsumsi budaya pop yang serba materialistik, pragmatis.

Memang saat ini memperoleh keucian itu sungguh sangat sulit, secara lingkungan saja sudah sulit diperoleh, karena yang kita makan serba baraang beracun dan itu dengan sendirinya haram. Demikian juga kebudyaan yang kita konsumsi juga sangat beracun, karena tayangan televisi yang disaksikan mengajak kepada kemaksiatan, kekufuran, permusuhan dan saling membenci.

Puasa kita mungkin secara formal telah memenuhi kaidah syarat dan rukunnya. Tetapi di tengah lingkungan sosial dan budaya yang ada puasa kita ini menjadi sangat sulit untuk mencapai kesalehan dan kesucian secara ruhani. Sebenarnya persoalannya bisa diatasi dengan mudah, yakni mengupayakan makanan yang tidak hanya halal, tetapi bersih dari segala racun. Demikian juga dengan tekun ibadah dan matlaah di majelis pengajian diharapkan bisa mengurangi konsumsi kebudayaan racun di radio televisi dan media lainnya.

Zaman berkembang, peluang besar, tetapi tantangan juga menjadi sangat besar. Risikonya adalah gangguan terhadap pencapaian kerohanian menjadi semakin sulit, demikian juga pencapaian intelektual juga tidak kalah sulitnya, ketika manusia telah kehilanagan ketenangan rohani dan konsentrasi pemikirannya. Diharapkan dalam puasa ini berbagai persoalan racun kehidupan baik yang bersifat fisik, materian serta ruhani, bisa diatasi. Sulit tetapi tetap harus dijalankan, dan pahala diperoleh sesuai dengan kesulitan yang dialami. Insyallah. (Abdul Mun’im DZ)