Risalah Redaksi

Mengelola Pendidikan Anak

Selasa, 24 Juni 2008 | 14:06 WIB

Masyarakat di masa lalu selalu mengandaikan untuk mendapatkan anak yang saleh. Kesalehan menjadi dambaan orang tua terhadap anak dan terhadap calon menantu selalu berusaha mencari menantu yang saleh atau salehah. Waladun sholih (anak saleh) merupakan kata kunci dalam kehidupan. Dan kesalehan itu tidak hanya ditandai dengan ketekunan dalam beribadah pada Tuhan, tetapi juga ditengarai dengan tingginya tingkat birrul walidain (bakti kepada orang tua).

Untuk mencapai kesalehan itulah berbagai pendidikan diselenggarakan, baik pendidikan di rumah tangga, di lingkungan masyarakat hingga lingkungan sekolah. Kalaupun mereka dididik dengan berbagai keilmuan dan pengetahuan sebenarnya sebagai penunjang kesalehan mereka. Karena itu mereka diperkenalkan tengan seperangkat kewajiban yang haris dilaksanakan.<>

Dengan pendidikan seperti itu tumbuh jiwa pengabdian, perjuangan, keuletan dan keikhlasan. Untuk mencapai taraf itu anak dilatih untuk mulai mengemban berbagai tanggung jawab, baik di lingkungan keluarga maupun sosial. Maka sering kali terjadi anak yang sudah bisa membaca beberapa huruf mengajarkan pada anak yang belum bisa. Yang sudah bisa membaca beberapa ayat Al-Qur’an sudah mendapatkan tugas untuk mengajarkan pada anak yang beru bisa membaca beberapa ayat pendek, dan seterusnya, semua dijalankan sebagai pengabdian yang tulus berdasarkan kasih saying.

Tetapi di zaman modern ini sangat berbeda kecerdasan dan kemampuan bersaing atau berkompetisi menjadi idaman masyarakat dan orang tua. Kesalehan telah tergeser urgensinya. Apalagi dalam sistem kehidupan kapitalistik yang individualistik seperti sekarang ini, anak dituntut kreatif agar bisa bersaing, seolah hidup hanya bisa bertahan kalau bisa memenangkan persaingan antar individu. Untuk meningkatkan daya saing itu sejak dini anak telah diperkenalkan dengan hak-hak. Program ini disebut dengan pendidikan berperspektif hak.

Sebagai ilustrasi murid di sebuah Madrasaah Ibtidaiyah mendapatkan buku dari Diknas yang mengajarkan tentang hak-hak anak, antara lain hak memperoleh layanan dari orang tua, memperoleh makanan yang sehat, mendapatkan pakaian yang layak dan memperoleh pendidikan yang memadai dan sebagainya. Sementara orang tua yang mendapatkan beban seperangkat kewajiban. Hubungan orang tua dan anak tidak lagi cukup diikat dengan kasih sayang yang tanpa batas, tetapi ditetapkan dalam hukum formal, akhirnya berwatak kontraktual.

Dengan model pendidikan semacam itu maka hubungan anak dengan orang tua menjadi kontraktual. Anak hanya tahu haknya dan tidak tahu kewajibannya, sehingga yang dilakuakan hanya mengajukan berbagai tuntutan. Karena mereka tidak pernah dilatih tentang tanggung jawab, maka kehidupan mereka disamping tidak pernah dewasa, juga tidak bisa mendiri, dan tidak ada rasa pengabdian, karena semuanya bersifat kontraktual dan jual beli.

Pendidikan yang individualistik dan komersialistik di sekolah itu kemudian mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari sinetron di televisi kita, sehingga individualisme anak semakin menjadi-jadi. Dalam sinetron itu tidk pernah memeperkenalkan perjuangan, keuletan,  pengabdian, rasa persaudaraan, kasih saying dan sebagainya. Anak muda hanya diperkenalkana dengan egoisme, keculasan, kedengkian, kekikiran. Jauh dari cita-cita kesalehan sebagaiman menjadi identitas kaum beragama dan masyarakat Timur pada umumnya.

Pendidikan semacam itu tidak akan mendapatkan hasil apa-apa, sebab nanti yang diperoleh kader yang sangat komersial, yang tidak bisa membawa kemajuan negara dan bangsa ini. Kader komersial itu hanya akan mengabdi kepada siapa yang bisa membayar mahal, mereka tidak terbiasasa melakukan pengabdian pada masyarakat miskin terbelakang, atau mengabdi pada kepentingan negara dan kemajuan bangsa. Pendidikan yang mahal serta ijazah mereka akan selalu ditukar dengan harga yang setara.

Sementara kemajuan bangsa dan negara membutuhkan adanya rakyat yang mau mengabdi bahkan mau berkorban. Tanpa pengorbanan para pejuang, tidak hanya pengorbanan harta, pangkat, jabatan bahkan nyawa negeri ini tidak akan pernah ada. Waktu itu Cipto Mangunkusumo semestinya bisa menikmati gaji tinggi sebagai dokter, tetapi malah berjuang, sehingga harus dikejar-kejar Belanda lalu dibuang, demikian juga Sekarni dengan iajazah insinyurnya, mestinya mendapatkan gaji besar kalau mau bekerja untuk kolonial.

Demikian juga Bung Hatta yang sekolah jauh di belanda, tetapi melihat penderitaan bangsanya, dia lempar ijazahnya, lalu singsingkan lengan baju membela bangsa, sehingga harus mengorbankan pangkat dan gaji besar, kehidupan mewah yang semestinya bisa dinikmati, ketimbang jadi buruan polisi Belanda dan ujungnya dibuang ke hutan. Apalagi kalangan kiai di pesantren, yang memang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk agama dan bangsa, mereka memang selalu melayani masyarakaat dan selalu siap membela Negara yang dinilainya sebagai kewajiban syar’i.

Semua perilaku itu terbangun berkat pendidikan yang dahulu dialaminya. Sejak awal mereka itu dididik dengan penuh pengabdian, penuh kepedulian sosial, terutama di lingkungan keluarga dan sosialnya. Dengan suasasna sosial yang komunalistik dan sistem kehidupan yang kekeluargaan itu mereka saling menjaga, saling membantu. Tingkat moralitas, dan budi peketi diukur melalui serawung (pergaulan) sosial yang mereka abangun. Komunalisme itu dihancurkan oleh semangat individualisme, karena pendidikan anak diarahkan ke sana.

Kalau pendidikan sekolah telah diarahkan pada individualisme, sementara lingkungan sosial juga sudah sangat individualistik, maka tinggal pendidikan keluarga yang masih bisa diharapkan bisa melahirkan waladun sholeh yang bertaqwa kepada Allah dan birrul walidain. (Abdul Mun’im DZ)