Risalah Redaksi

Mudik ke Jombang

Jumat, 10 Juli 2015 | 03:01 WIB

Pada 1-5 Agustus 2015 dalam suasana mudik lebaran, Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan forum permusyawaratan tertinggi Muktamar ke-33. Muktamar kali ini sangat istimewa karena digelar di daerah asal para pendiri NU: KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri. Hampir satu abad organisasi NU berdiri baru kali ini muktamar digelar di Jombang. <>

Sebenarnya ada dua lagi pilihan lagi daerah yang diusulkan sebagai tuan rumah muktamar dalam Munas dan Konbes NU 2014 lalu, yakni Medan Sumatera Utara dan Lombok Nusa Tenggara Barat. Muktamar di luar Jawa akan mempunyai nilai syiar yang lebih luas. Pada masa awal-awal NU berdiri tahun 1936 pun NU sudah menggelar Muktamar di Banjarmasin. Selain itu, Muktamar ke-30 tahun 1999 kemarin sebagai salah satu muktamar terpenting karena waktu itu Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden RI juga telah diadakan di Jawa Timur, di Pesantren Lirboyo Kediri. Namun semangat untuk bermuktamar di daerah asal sekaligus daerah dimana para pendiri NU dimakamkan itu memang sudah tak terbendung. Menjelang peringatan satu abad, NU dirasa perlu memikirkan langkah dan strategi baru dari Jombang.

Muktamar ke-33 akan dihadiri oleh perwakilan 34 wilayah (PWNU) dan lebih dari 500 cabang (PCNU) seluruh Indonesia, ditambah perwakilan cabang istimewa (PCINU) luar negeri. Masing-masing akan mendelegasikan 6 peserta resmi, sesuai dengan jumlah sidang komisi yang ada: bahtsul masail diniyah waqiiyah, bahtsul masail diniyah maudluiyah, bahtsul masail diniyah qonuniyah, komisi program, organisasi dan rekomendasi. Namun panitia tidak mungkin membatasi warga NU yang ingin hadir menyaksikan muktamar di luar utusan resmi. Ditambah warga Nahdliyin yang ada di Jombang dan sekitarnya, diperkirakan ratusan ribu warga akan hadir memeriahkan Muktamar.

Muktamar Jombang akan diadakan di empat pondok pesantren besar yakni Pesantren Tebuireng, Pesantren Tambak Beras, Pesantren Denanyar, dan Pesantren Darul Ulum. Para Muktamirin akan menginap di empat pesantren itu. Masing-masing pesantren akan menjadi tuan rumah sidang-sidang komisi, sementara acara pembukaan dan sidang pleno akan dipusatkan di alun-alun kota Jombang. Warga Nahdliyin yang tidak mengikuti forum-forum resmi muktamar akan mengunjungi stand-stand pameran, bazaar dan pasar rakyat, pentas seni budaya, atau berziarah ke makam-makam para kiai dan pendiri NU di Jombang dan sekitarnya.

Salah satu yang menarik menjelang Muktamar ke-33 ini adalah tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.” Tidak biasanya tema muktamar menjadi bahan perbincangan dan diskusi karena media massa lebih suka mengolah isu-isu yang “news” yang dibahas dalam sidang-sidang komisi, terutama dalam komisi bahtsul masail diniyyah yang membahas berbagai persoalan hukum Islam. Istilah “Islam Nusantara” yang dimunculkan oleh NU ternyata memicu polemik yang berkepanjangan di sejumlah media massa nasional. Sebagian besar perbincangannya cukup menarik disimak karena melibatkan para tokoh dan cendekiawan muslim. Perkembangan media sosial modern berbasis internet juga menyebabkan perbincangan mengenai Islam Nusantara juga cepat sekali menyebar dan bersahut-sahutan. Beberapa kalangan Muslim yang merasa “terganggu” atau salah paham dengan istilah Islam Nusantara itu juga praktis menambah semarak suasana menjelang muktamar.

Forum permusyawaratan tertinggi lima tahunan tentunya juga mengagendakan proses pergantian kepemimpinan. Muktamar kali akan menerapkan model baru dalam pemilihan Rais Aam NU dengan sistem yang disebut ahlul halli wal aqdi atau sering disingkat ahwa. Sistem ini merupakan penerjemahan dari istilah musyawarah mufakat yang ada dalam AD/ART NU, yakni pemilihan oleh 9 orang kiai yang dipilih oleh utusan seluruh PWNU, PCNU dan PCINU. Jadi muktamirin tidak lagi memilih pemimpin NU secara langsung, namun mendelegasikan hak pilih kepada 9 orang ahlul halli wal aqdi itu. Dalam draft yang ada, 9 anggota ahlul halli wal aqdi akan memilih Rais Aam sebagai pucuk Pimpinan NU, setelah itu mereka akan menetapkan calon-calon Ketua Umum sebagai pelaksana organisasi dan kemudian dipilih secara langsung oleh muktamirin.

Sebenarnya ahlul halli wal aqdi sudah diterapkan sejak NU berdiri tahun 1926, namun kemudian berganti dengan sistem pemilihan langsung semenjak NU menjadi berubah menjadi partai politik tahun 1950-an. Kemudian pada Muktamar ke-27 tahun 1984, NU menyatakan “Kembali ke Khittah 1926” sebagai organisasi sosial keagamaan dan menerapkan kembali sistem ahlul halli wal aqdi. Namun sistem ini tidak berlanjut pada muktamar-muktamar berikutnya. Eforia demokrasi mengarahkan NU untuk menerapkan sistem pemilihan langsung.

Setelah beberapa kali pelaksanaan muktamar, terutama muktamar terakhir yang ke-32 kemarin di Makassar, model pemilihan langsung dirasakan tidak paas untuk organisasi ulama atau dalam pemilihan pemimpin para ulama. Para kiai atau para pendukungnya akan tampil berhadap-hadapan seperti dalam pelaksanaan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Maka dalam Rapat Pleno PBNU di Wonosobo tahun 2013 dan Munas-Konbes 2014 di Jakarta disepakati untuk diterapkannya kembali sistem ahlul halli wal aqdi, terutama dalam pemilihan Rais Aam. Jika telah diketok palu dalam muktamar ke-33 nanti, maka sistem ahlul halli wal aqdi langsung akan diterapkan.

Semua warga Nahdliyin pasti berharap yang terbaik dari pelaksanaan muktamar kali ini. Warga Nahdliyin saat ini sudah tersebar sedemikian rupa, tidak hanya di desa-desa, tetapi juga di kota-kota besar di berbagai daerah di Indonesia dan di luar negeri dengan berbagai polarisasi bidang, peran, dan konsentrasi dan dalam suasana yang berbeda dengan seratus tahun yang lalu menjelang NU didirikan. Bahkan menilik kembali tema muktamar yang sangat ambisius “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia,” berarti bukan hanya Nahdliyin yang boleh berharap kepada NU, tetapi juga bangsa Indonesia dan warga dunia. Bukan hanya soal pemimpin NU yang terpilih, tetapi juga keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam muktamar, gebyarnya, suasananya, dan proses-prosesnya adalah cerminan dari sebuah ormas Islam terbesar di dunia. (A. Khoirul Anam)