Risalah Redaksi

Penggusuran di Malam Lebaran

Sabtu, 29 November 2003 | 03:06 WIB

Puasa menjanjikan ketenangan dan kedamaian, karena dalam suasan berpuasa segala nafsu, baik yang bersifat hewani maupun setani, termasuk yang manusiawi berusaha dikendalikan. Pengendalian itu ditempuh dengan menahan nafsu makan, nafsu seksual, nafsu amarah dan nafsu kejahatan. Semua orang yang menjalankan ibadah puasa baik yang ikutan apalagi yang bersungguh-sungguh akan terobsesi oleh janji dan harapan  yang menyejukkan tersebut.

Tetapi apa yang terjadi, suasana modernitas yang melanda ke seluruh aspek kehdupan itu telah memporakporandakan semua tata nilai, prinsip-prinsip dan komitmen masyarakat. Kita lihat berulangkai puasa dan Idul Fitri terjadi, tetapi nafsu untuk menjarah tidak pernah berhenti, ketamakan, tetap tidak terkendali hal itu dibuktikan dalam bentuk konsumsi yang tinggi. Demikian juga nafsu amarah juga tidak cukup terkendali, bagaimana masih terlihat perkelahian antar penduduk terus terjadi.

<>

Demikian juga dalam aktivitas di jalanan sehari-hari, ketika orang berebut jalan agar bisa berbuka puasa di rumah, terpaksa harus sodok-sodokan di jalan. Dan yang lebih saru bagi para pemudik sering mengumbar nafsunya dengan melanggar tata tertib perjalanan, sehingga membuat jalanan macet total, hanya karena pelanggaran kecil dan kurangnya kedisiplinan. Di sini puasa belum berhasil mendisiplinkan sikap dan perilaku para Muslim yang berpuasa, artinya belum menumbuhkan kesadaran beragama dan bermasyarakat.

Kasus terakhir yang dilakuakan negara terhadap masyarakat lebih menyedihkan, bagaimana pemerintah melakukan penertiban dan penggusuran pedagang kaki lima di malam suci, malam keramat yaitu malam lebaran saat mereka melaksanakan takbiran. Ini sebuah kebiadaban sebuah rezim yang tidak memiliki perikemanusiaan. Hari suci dinodai dengan tindakan brutal yang mengancam kehidupan sebagian rakyat dan warga negara ini. Meskipun mereka bersalah, menggunakan lahan tidak sah, tetapi mereka mendapatkan tempat juga atas restu dari beberapa pejabat pemerintah yang telah mengutip pungutan setiap hari.

Lebih dari itu mereka terpaksa berjualan di sembarang tempat karena mereka tidak memperoleh fasilitas. Selain itu mereka tidak bisa mendapat fasilitas karena kurang modal,  sementara mereka miskin karena dimiskinkan. Sudah dalam kondisi semacam itu modal yang sudah ditanam dalam bentuk barang dagangan dihancurkan tapa ada upaya untuk menyelamatkan. Akhirnya setelah berlebaran mereka akan menjadi masyarakat pengangguran, padahal harus menyekolahkan anak dan membeayai berbagai kehidupan.

Nafsu berkuasa yang menghinggapi pemerintah kembali ke pola lama, di mana melihat rakyat sebagai musuh, sehingga secara politik harus dicurigai, secara social didiskriminasi dan secara ekonomi dieksploitasi. Penodaan terhadap malam suci itu kelihatannya belum banyak direaksi oleh para agamawan yang selama ini mengkhotbahkan tentang ketenangan dan kedamaian termasuk kemenangan di hari Idul Fitri, sehingga seolah harapan itu menjadi sia-sia. Persis seperti orang Quraisy yang hendak mengubah hari kasih sayang (yaumul marhamah) menjadi hari pembantaian (yaumul malhamah). Maka apa yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat Jakarta adalah menjadikan hari raya kedamaian menjadi hari Raya pembantaian.

Kalau para agamawan mau berpolitik, di wilayah moral itulah seharusnya mereka berpolitik, memang politik semacam ini beresiko, harus berhadapan dengan kekuasaan negara. Bagi mereka yang tidak berani ambil resiko tentau akan mendiamkan, tetapi bagi mereka yang peduli, risiko itu memang bagian dari perjuangan penegakan moralitas dan keadilan, baik keadilan secara social, politik dan ekonomi, karena itu Idul Fitri menawarkan kebebasan dan kesejahteraan melalui pembagian zakat fitrah atau zakat maal untuk membangun kesejahteraan social.

Idul Fitri dengan demikian tidak hanya dijadikan sebagai upacara perayaan kemenangan, yang dipenuhi dengan kemewahan, yang itu sendiri telah dikritik oleh para ulama terdahulu. Bagi masyarakat modern sudah selayaknya Idul Fitri dijadikan sarana refleksi, tidak hanya untuk merenungkan keberhasilan berpuasa, tetapi juga refleksi akan makna hidup secara keseluruhan, justeru inilah arti kembali ke suasana Fitri. (MDZ)***