Risalah Redaksi

Perekonomian Rakyat Makin Tergusur

Selasa, 8 April 2008 | 06:21 WIB

Naiknya harga produk hulu seperti bahan bakar, tepung terigu, kedelai dan minyak goreng telah merontokkan usaha hilir yang merupakan usaha rakyat. Naiknya harga tersebut telah lama membuat industri roti gulung tikar, perusahaan krupuk juga kemudian ikut tersengat melambungnya harga terigu dan minyak goreng. Kemudian disusul ambruknya produksi tahu dan tempe ketika tiba-tiba harga kedelai impor melonjak.

Apalagi dengan kenaikan harga minyak tanah hingga melebihi harga di negara pengimpor minyak itu, tidak hanya kalangan perusahaan rakyat yang tertekan, kalangan rumah tangga pun semakin tidak berdaya mengatasi lambungan harga semacam itu. Mereka juga tidak mengkonversi ke gas, tetapi mengkonversi ke kayu bakar. Bayangkan jika penduduk Jakarta yang sumpek itu memasak dengan kayu bakar dari puing bangunan.<>

Kepedihan yang dialami rakyat itu dipandang dengan sangat optimis oleh kalangan penguasa yang kebetulan para pengusaha. Karena di tengah penderitaan rakyat itu mereka memperoleh keuntungan bisnis yang besar. Sistem Negara kapitalis memang membuat Negara tidak melayani rakyat, tetapi menghisap rakyat. Dengan sistem ini kehidupan menjadi sangat timpang.

Dalam kenyataan sehari-hari bisa disaksikan berdiri berbagai fasilitas hiburan dan perbelanjaaan mewah, sekolah mewah dengan harga yang sangat mahal. Tetapi di sisi lain jutaan rakyat yang semakin terncam mekonominya, terancam keberlangsungan pendidikannya dan terancam dari tempat tinggalnya oleh penggusuran guna pembangunan  fasilitas yang serba mewah, seraya mengabaikan nasib kaum tergusur itu.

Produk undang-undang yang dibuat parlemen pilihan rakyat itupun tidak bermaksud melindungi rakyat, sebaliknya hanya memberi fasilitas pada sekelompok elite yang kaya. Tindakan itu memberikan legitimasi kepada para pengusaha melakukan berbagai tindakan, seperti mengakuisisi atau bersaing secara tidak fair, yang terjadi kemudian banyak usaha kecil yang gulung tikar karena hadirnya perusahaan besar yang tidak mengenal toleransi dan kemitraan seperti yang sering diteriakkan, yang terjadi setiap pesaing harus dipinggirkan sampai mati.

Kalau sudah demikian maka pengangguran dengan sendirinya terus bertambah, selanjutnya kemiskinan akan terus meningkat. Bantuan yang sifatnya karitatif (santunan) seperti pemberian sembako tidak menyentuh persoalan dasar. Bantuan paling banter bisa dilakukan sehari, sementara mereka butuh makan setiap hari, karena itu bantuan karitatif akan menghabiskan dana tenaga dan tidak menyelesaikan masalah. Bantuan yang dibutuhkan adalah memberikan kesempatan dan fasilitas, baik berupa modal usaha, teknik produksi dan akses pasar.

Keduanya ini penting sementara pemerintah hanya mengucurkan kredit besar pada pengusaha besar, rakyat kecil masih susah mendapatkan modal dari bank  karena prosedur yang berbelit. Demikian juga pemerintah belum membantu dalam membuka akses pasar, sehingga sering hasil usaha rakyat mengalami kerugian karena tidak bisa diedarkan di pasar.

Bila usah rakyat ini difasilitasi untuk berkembang dan tidak dihantam oleh pemerintah sendiri dengan mendatangkan barang impor, rakyat tidak perlu diberi sembako, mereka akan bisa mencari penghidupan sendiri secara berkelanjutan. Dengan kemajuan ekonomi itu mereka akan bisa membiayai pendidikan dan bisa membangun kehidupan yang sehat dan sejahtera.

Kalau negara dalam hal ini pemerintah dan parlemen tidak terus-menerus menghantam ekonomi rakyat, rakyat akan mandiri secara ekonomi. Dengan demikian ekonomi Negara juga akan kuat. Perhitungan yang menyesatkan seperti GNP masih terus dipakai, sehingga seolah ekonomi rakyat maju terus, padahal yang berkembang hanya ekonomi beberapa biji konglomerat, rakyat semakin terpinggir. Kenyataan ini yang perlu dipahami oleh semua pihak, agar tidak ada kesenjangan antara elite dengan massa rakyat. Tidak hanya bidang pemngetahuan tetapi juga dalam bidang ekonomi.

Kondisi ekonomi yang buruk ini berbahaya secara politik, karena negara ini akan didatangi para penyelamat palsu baik yang datang dari negara-negara kapitalis langsung atau yang mendompleng tentara Sekutu (PBB) dengan program anti kemiskinan, peningkatan pendidikan, pemerintahan yang bersih dan sebagainya, yang terbukti malah menjerumuskan rakyat dalam kemiskinan, sistem semakin korup, sebab mereka hanya sebagai penyalur dana bank, sehingga rakyat Indonesia semakin dimiskinkan. Konsep yang dikembangkan PBB dengan MDGs tidak lebih dari konsep kapitalis yang tidak mungkin memberikan pemecahan bagi kemiskinan sebab merekalah biang kemiskinan. Mereka hanya berdagang dengan selubung bantuan kuratif yang kecil untuk memperlancar utang yang lebih besar, sehingga negara dan rakyat semakin jompo.

Negara harus menangani kemiskinan secara mandiri, sehingga tidak terus menerus terjerumus dalam utang. Masa negara sejak awal orde baru hingga saat ini hanya bisa utang!? Mestinya dengan hasil bumi dan sumber alam Negara telah bisa membangun dengan mandiri. Dengan demikian tidak hanya kabar buruk yang terdengar seperti bangkrutnya perusahaan rokok, perusahaan roti gulung tikar, perusahaan krupuk ambruk, pedagang sate dan bakso terpuruk, usaha gorengan pinggir jalan limbung lalu pulang kampung. Mestinya kabar buruk itu tidak boleh terjadi lagi, para pemegang amanah kekuasaan ini harus memahami tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka untuk mengabdi dan menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya. (Abdul Mun’im DZ)