Risalah Redaksi

Recovery VS Korupsi

Sabtu, 13 Desember 2003 | 04:05 WIB

Dalam mengupayakan Indonesia recovery pasca krisis 1997, komitmen paling menonjol adalah pemberantasan terhadap korupsi dan nepotisme, karena keduanya sangat berkait, sehingga beberapa undang-undang dirumuskan, berbagai komite dibentuk dan beberapa langkah dijalankan. Walaupun dengan langkah tertatih, namun terus berusaha jalan dengan berbagai rintangan.

Tetapi di sisi lain belum terhentinya korupsi yang dilakukan oleh para politisi, birokrasi dan pengusaha lama, sudah disusul oleh politisi, birokrat dan pengusaha baru yang dengan stamina tinggi melakukan korupsi lebih rakus, sehingga kalau koruptor lama butuh waktu beberapa tahun, koruptor baru bisa memperkaya diri dalam beberapa bulan. Sebuah eskalasi yang menakjubkan dan sekaligus memprihatinkan.

<>

Bayangkan ketika berbagai ormas dan LSM membangun komitmen untuk pemberantasan korupsi, demikian juga, negara sebagaimana diamanatkan oleh reformasi sedang giat memproses Komite Pemberantasan Korupsi. Di luar sana korupsi merajalela seolah tidak peduli terhadap keprihatinan umum dan langkah gigih untuk mencegahnya, BNI yang baru saja kebobolan trilyunan sudah disusul BRI, dan katanya masik banyak bank negara yang bobol oleh para eksekutifnya sendiri.

Mengindikasikan adanya korupsi tidak sulit, sebab semuanya dilakukan sangat transparan bahkan nekad, tetapi menangkap koruptor sangat sulit, apalagi koruptor besar, dan setelah tertangkap juga sulit mengadili apalagi membuktikan bersalah, belum lagi banyak mendapat pertolongan baik dari pembela, hakim dan jaksa. Maka bisa kita saksikan banyak koruptor kakap yang satu persatu dibebaskan dari tuduhan. Kalau begini hampir mustahil memberantas korupsi sebab bagaimanapun ketatnya pengaturan peminjaman bank, tetapi kalau orang bank yang bertanggung jawab menyelamatkan uang rakyat itu bersekongkol untuk mencuri uang rakyat maka terjadilah dengan gampang.

Karena itu pembentukan KPK kali ini banyak yang sangsi, ditengarai banyak diantara tokoh yang dicalonkan tidak bersih, dan kalaupun ada orang yang bersih dan tegas, seperti biasanya akan terjegal di tengah jalan, padahal pemberantasan korupsi di masa depan sangat tergantung pada progresivitas komite itu. Dan kelihatannya masyarakat masih cukup kritis dn peduli sehingga berani menolak beberapa calon yang dikenal sebagai bekas koruptor, atau pejabat yang pernah bersekongkol.

Korupsi memang susah diberantas kalau masih diandaikan sebagai kejahatan oleh makhluk di luar sana, belum diakui sebagai problem bersama, atau bahkan kejahatan bersama oleh bangsa ini, baik sebagai pelaku, penadah, pelindung, penonton dan sebagainya. Dengan adanya pengakuan bahwa masyarakat ini langsung atau tidak merupakan bagian dari system yang korup maka korupsi sulit diberantas, sebab individu dalam level yang terkecil terlibat dalam korupsi.

Dengan adanya pengakuan itu baru korupsi bisa diperkecil, karena harus dimulaai dari diri sendiri, dengan menolak terlibat korupsi, menerima sumbangan dari dana korupsi dan sebagainya. Sementara selama ini masyarakat sendiri seolah tidak mau tahu sumber dana yang diterima, apakah dari uang halal atau dari hasil korupsi. Karena demi alasan kemajuan masyarakat baik individu maupun secara kelompok telah terbiasa memfasilitasi diri dengan fasilitas yang diluar kebutuhannya dan diluar jangkauan untuk membeayainya, akhirnya dibayar melalui sumbangan, sementara uang sumbangan tersebut diberikan oleh para donatur dan dermawan yang kebanyakan mereka adalah koruptor, yang menilep uang negara, atau merampas upah buruh, atau mengambil dari rakyat dan sebagainya.

Korupsi harus mulai dihentikan dengan cara mencari dana untuk keperluan malah salah sekalipun, sebab dari situ sering yang diperoleh dari dermawan yang korup, yang meratakan hasil korupsinya pada lembaga agama atau social, sebagai cara melakukan cuci tangan dan cuci uang. Karena itu lembaga agama dan lembaga social yang selama ini jauh dari kekuasaan juga rawan korupsi, karena mereka terbiasa menggalang dana dan sangat mungkin udah dimasuki dana-dana kotor hasil curian dan jarahan. Di situlah lembaga social dan keagamaan perlu introspeksi sebelum ikut-ikutan gerakan pemberantasan korupsi, sebab kalau todak hanya menjadi sebuah ironi. (MDZ)***