Taushiyah

Pandangan LBM-PBNU Tentang Hukum Melaksanakan Shalat Jumat di Jalanan

Kamis, 24 November 2016 | 13:33 WIB

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

Shalat Jumat adalah kewajiban individual bagi laki-laki Muslim. Ia diwajibkan sejak periode Makkah. Namun, karena kuatnya resistensi orang musyrik Makkah, maka Nabi SAW tak bisa menjalankan shalat Jumat di sana. Nabi SAW baru menjalankan shalat Jumat ketika sampai ke Madinah. Beberapa referensi menyebutkan bahwa masjid yang pertama kali ditempati shalat Jumat adalah masjid yang berdiri di perkampungan Bani Sulaim. Yang lain berkata bahwa tempat pelaksanaan shalat Jumat pertama Nabi SAW itu bukan masjid melainkan sebuah lembah. Belakangan, di lembah itu dibangun sebuah masjid yang dikenal Masjid Jumat. 

Pasca shalat Jumat di perkampungan Bani Sulaim itu, Nabi SAW melaknakan shalat Jumat di dalam masjid. Sejauh yang bisa dipantau, tak terdengar kisah lanjutan bahwa Nabi SAW pernah shalat Jumat di luar masjid. Ini mungkin karena masjid-masjid masih bisa menampung laki-laki Muslim yang hendak shalat Jumat. Seiring waktu ketika jumlah umat Islam terus bertambah, maka muncul pertanyaan tentang boleh tidaknya umat Islam melaksanakan shalat Jumat di luar masjid. 

Dalam menjawab pertanyaan itu, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama lain mempersyaratkan agar shalat Jumat dilakukan dalam masjid. Artinya, shalat Jumat yang dilaksanakan di luar masjid seperti di jalanan tidak sah. Pendapat ini misalnya dikemukakan Mazhab Maliki. 

( وبجامع ) ابن بشير : الجامع من شروط الأداء ابن رشد : لا يصح أن تقام الجمعة في غير مسجد ( مبني ) الباجي : من شروط المسجد البنيان المخصوص على صفة المساجد فإن انهدم سقفه صلوا ظهرا أربعا (محمد بن يوسف بن أبي القاسم العبدري أبو عبد الله، التاج والإكليل لمختصر خليل، ج، 2، ص. 159)

Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa shalat Jumat tidak disyaratkan dilaksanakan di dalam masjid. Artinya, shalat Jumat bisa diselenggarakan di gedung-gedung perkantoran, di lapangan, dan lain-lain. Pendapat ini misalnya dikemukakan Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah.   

وذهب البعض إلى اشتراط المسجد قال لأنها لم تقم إلا فيه وقال أبو حنيفة والشافعي وسائر العلماء إنه غير شرط وهو قوي (محمد شمس الحق العظيم آبادي أبو الطيب، عون المعبود شرح سنن أبي داود، ج, 3، ص. 281) 

Merujuk pada teks di atas jelas bahwa Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah tak mempersoalkan sekiranya shalat Jumat di lakukan di luar masjid. Namun, Madzhab Syafii memberi penekanan agar pelaksanaan shalat Jumat dilaksanakan di area pemukiman. Dari sini bisa dipahami bahwa melaksanakan shalat Jumat di luar masjid adalah boleh, tetapi dengan ketentuan memenuhi standar dar al-iqamah.

الشرط الثاني دار الإقامة فلا تقام الجمعة في البوادي ولا عند الخيام لأنها معرضة للنقل وإن كان لإقامتهم أثر في قطع رخص السفر وإن كانت أبنيتهم من سعف وخشب جاز لأنهما لا ينقل ولا يشترط أن يعقد الجمعة في ركن أو مسجد بل يجوز في الصحراء إذا كان معدودا من خطة البلد فإن بعد عن البلد بحيث يترخص المسافر إذا انتهى إليه لم تنعقد إليه لم تنعقد الجمعة فيها بخلاف صلاة العيد فإنه لا يشترط فيها دار الإقامة (ابو حامد الغزالي، ج، 2، ص. 263)

Mengikuti nalar mayoritas ulama tersebut, maka pelaksanaan shalat Jumat di jalanan umum adalah sah. Walau sah, shalat Jumat di jalanan itu tetap tak dianjurkan bahkan terlarang. Pendapat ini diacukan pada hadits yang melarang umat Islam menjalankan shalat di tujuh tempat. Satu dari tujuh lokasi yang terlarang melaksanakan shalat itu adalah jalanan. Nabi SAW tak menjelaskan alasan eksplisit pelarangan itu. Namun, argumen yang bisa diduga dari pelarangan shalat di jalan itu adalah karena bisa mengganggu kekhusuan shalat dan membuat tidak nyaman orang yang lewat. Para ulama memberi catatan bahwa pelarangan itu hanya sampai pada level makruh bukan haram.   

ذهب الحنفية والشافعية إلى كراهة الصلاة في الطريق ، والحمام ، والمزبلة ، والمجزرة ، والكنيسة ، وعطن الإبل ، والمقبرة لما روى ابن عمر - رضي الله تعالى عنهما - : أن النبي صلى الله عليه وسلم : نهى أن يصلى في سبعة مواطن :في المزبلة والمجزرة والمقبرة وقارعة الطريق وفي معاطن الإبل وفوق ظهر بيت الله (الموسوعة الفقهية الكويتية, ج، 27، ص. 114)

Jika shalat sendirian di jalanan saja dimakruhkan, maka shalat Jumat dengan massa (jamaah) besar di jalanan bisa diharamkan. Sebab, melaksanakan shalat Jumat di jalanan Jakarta jelas akan membuka terjadinya kemafsadatan yang tak diinginkan. Ia akan mengganggu ketertiban umum. Bayangkanlah, jika warga menduduki jalan-jalan utama Jakarta selama satu setengah jam shalat Jumat, maka itu akan membuat kemacetan total. Jakarta bisa lumpuh. Padahal, ada banyak orang lain yang hendak memanfaatkan jalan-jalan tersebut dengan segera, seperti orang yang harus dibawa ke rumah sakit karena sedang sakit keras, perempuan yang mau melahirkan, dan lain-lain. 

Di samping memacetkan jalan-jalan protokol Jakarta, shalat Jumat di jalanan juga potensial berdampak pada penelantaran masjid. Padahal kita tahu, memakmurkan masjid itu bagian dari anjuran agama. Masjid-masjid besar Jakarta seperti  Masjid Istiqlal, Masjid Sunda Kelapa, Masjid At-Tin, dan lain-lain kiranya masih cukup luas untuk menampung ribuan umat Islam yang hendak melaksanakan shalat Jumat. Jika masih bisa shalat Jumat di masjid, maka untuk apa shalat shalat Jumat di jalanan.  

Mengganggu ketertiban umum dan membuat kemacetan sudah cukup menjadi alasan utama untuk mengharamkan pelaksanaan shalat Jumat di jalanan. Keharaman tersebut tentu tak terkait langsung dengan shalat Jumatnya itu sendiri melainkan dengan pelaksanaannya yang mengganggu banyak orang karena di laksanakan di jalan-jalan. Ini yang dalam ushul fikih disebut muharram li ’aridhin.

فليس التحريم لذات الفعل ولكن لأمر خارجى  أى أن ذات الفعل لا مفسدة فيه ولا مضرة ولكن عرض له واقترن به ما جعل فيه مفسدة أو مضرة. { عبد الوهاب خلاف: علم أصول الفقه: ص: 133}

Demikian pokok-pokok pikiran yang bisa disampaikan terkait dengan pelaksanaan shalat Jumat di jalanan. Semoga ada guna dan manfaatnya untuk kepentingan ketertiban dan kedamaian Indonesia.

Jakarta, 24 November 2016

والله الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Dr KH Abdul Moqsith Ghozali                                       
Wakil Ketua                                                                 

H Sarmidi Husna, MA
Sekretaris

Mengetahui,


Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA
Ketua Umum PBNU