Jakarta, NU Online
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS Al-Baqarah 2: 286). Potongan ayat ini menjadi pengantar dalam Pengajian Online Ramadhan kitab “Manahijul Imdad” bidang fikih-tasawuf karya ulama besar Nusantara Syeikh Ihsan Jampes di ruang redaksi NU Online, lantai V gedung PBNU Jakarta, Jum’at (21/9), yang diasuh oleh KH Arwani Faisal dari Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU. Pengajian kali ini membincang keringanan-keringanan dalam menjalankan ibadah puasa.
Bahwa Allah SWT memberikan keringanan (rukhshoh) bagi orang yang berkesulitan dalam menjalankan ibadah puasa. Namun definisi “kesulitan” (masyaqqah) dulu dan sekarang sangat berbeda. Sebagai misal adalah kesulitan apa yang membebani orang yang sedang bepergian (musafir), sementara betapa mudah alat transportasi saat ini.
<>Syeikh Ihsan Jampes dalam kitab Manahijul Imdad jilid 1 hal 491 mengutip pendapat dari madhab Syafi’i bahwa puasa lebih utama bagi musafir yang kuat menjalankan ibadah puasa atau tidak merasa mendapat masyaqqah, berbeda dengan para ulama madzab lainnya yang lebih memilih untuk membatalkan puasa, itupun dengan syarat bepergian dilakukan sejak sebelum waktu puasa.
Namun peserta pengajian dari Kebumen dan Jakarta yang mengikuti pengajian secara online melalui akun pbnu_online@yahoo.com justru menyoal definisi masyaqqoh yang dimaksud. Pada hampir semua kitab fikih masyaaqqah selalu didefinisikan dengan jarak perjalanan (masafah) yakni sepanjang 16 marhalah atau sekitar 96 km menurut madhab Syafi’i. Sementara masyaqqah saat ini tidak bisa didefinisikan sesederhana itu.
Menurut Kiai Arwani, masyaqqoh mengandung maksud sesuatu yang bisa mendatangkan kesengsaraan atau bahkan mendatangkan kejelekan (madzorot). “Misalnya Jakarta-Cikampek kan bisa menjapai 100 KM, padahal bisa ditempuh dengan cepat, dan pakai mobil ber-AC, apa lantas boleh meninggalkan puasa? Masyaqqah tidak seperti itu,” kata Kiai Arwani.
Dicontohkan juga pada kasus ibu yang hamil tua atau sedang menyusui, masyaqqoh yang dimaksud adalah kekhawatiran akan adanya kesengsaraan yang dalami oleh ibu atau bayinya. Menjawab pertanyaan Ibu Erwin, seorang peserta pengajian yang berada di Australia, mengenai wanita hamil dan menyusui, masyaqqah yang dimaksud adalah kehawatiran adanya bahaya bagi ibu atau anaknya menurut dokter ahli.
Namun demikian, ditambahkan Kiai Arwani, faktor terpenting adanya masyaqqah dalam setiap ibadah sebenarnya lebih diketahui oleh indivudu yang bersangkutan. Pada persoalan musafir dapat dipastikan bahwa masing-masing orang lebih tahu apakah dia merasa berat atau tidak dalam menjalankan ibadah pada saat dia bepergian, dan ini tentu tidak dimaksudkan bagi individu yang selalu manja dan menuntut keringanan dalam beribadah.
Keringanan lain dalam ibadah puasa adalah bagi orang yang sakit (maridl) dan para manula. Orang sakit sekiranya akan bertambah parah penyakitnya jika dia puasa diperkenankan mengganti atau meng-qodlo puasa di hari yang lain. Sementara para manula atau orang sakit yang sudah tidak mungkin menjalankan ibadah puasa diperkenankan mengganti puasanya dengan tebusan (fidyah) sebanyak 1 sho’ atau sekitar 0,6 kg atau 6 ons makanan pokok perhari puasa yang ditinggalkan.
Ditambahkan, madzab Syafi’i tetap tidak membolehkan membayar fidyah dengan uang, sementara madzab Hanafi membolehkan mengganti fidyah dengan uang senilai 1 sho’ makanan pokok. Namun demikian para ulama sepakat untuk memberikan fidyah kepada fakir-miskin di daerah mana orang yang bersangkutan tinggal.(nam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua