Warta

Ancaman Golput Gus Dur Dinilai Pengaruhi Kualitas Pilpres 2009

Ahad, 20 Juli 2008 | 05:10 WIB

Pangkalpinang, NU Online
Ancaman mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akan golput dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang dinilai tidak banyak berpengaruh. Namun, kondisi massa “mengambang” yang jumlahnya banyak, justru mengancam kualitas pemilihan presiden (Pilpres) 2009.

"Kalau soal ancaman golput oleh Gus Dur, saya kira tidak besar pengaruhnya. Massa mengambang inilah masalah utama Pilpres 2009 yang harus segera dicarikan solusinya," kata Rektor Universitas Bangka Belitung (UBB), Dr Bustami Rahman, di Pangkalpinang, Bangka Belitung, Sabtu (19/7) kemarin.

<>

Ia menjelaskan, golput pada dasarnya sebuah gerakan elit tertentu yang dalam sejarahnya tidak begitu berhasil. Sebagai sebuah gerakan golput berbeda dengan massa mengambang yang jumlahnya cukup banyak.

"Dari hasil survei dan wawancara kami di berbagai daerah termasuk di Provinsi Jawa Timur dengan sasaran sopir taksi, pedagang kecil dan masyarakat umum ternyata mereka termasuk massa mengambang yang tidak memiliki kepentingan apa pun soal politik," ujar pakar Sosiologi Politik itu.

Menurut dia, massa mengambang ini terjadi karena masyarakat sudah lelah dan capek dengan perilaku elit politik yang setelah berkuasa tidak memiliki kepekaan sosial, sehingga masyarakat menanggapi dinamika politik secara setengah sadar.

"Pilpres 2009 akan dilaksanakan dalam kondisi massa mengambang yang setengah sadar ini, sehingga diprediksikan hasil pemilu akan sulit mendapatkan pemimpin berkualitas yang mampu mengatasi permasalahan bangsa," ujarnya.

Menurut Bustami, solusi cerdas yang bisa dilakukan untuk meminimalkan jumlah massa mengambang melalui pembelajaran hakekat demokrasi yang sesuai dengan karakter budaya bangsa Indonesia, hanya saja proses pembelajaran harus berlangsung secara sistematis.

"Dalam konteks ini sistem demokrasi di Indonesia sekarang ini juga perlu dikaji ulang, apakah sudah sesuai dengan karakter dan budaya bangsa sehingga bisa diterima, atau sebaliknya justru tidak sesuai dengan budaya bangsa," terang Bustami. (ant)