Warta Pagelaran Musik & Dialog Kebangsaan

Cak Nun: Indonesia Permainan “Matador" Asing

Sabtu, 10 Juni 2006 | 15:55 WIB

Kamis (8/6) lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah Ekstensi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta menggelar pegelaran musik dan dialog kebangsaan di Parker Student Center UIN Jakarta. Hadir dalam acara bertema “Kenduri Kampus dan Aksi Sosial untuk Yogyakarta dan Jateng” itu, Budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun), KH Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia dan Pengamat Intelejen Wawan Purwanto, serta group musik Kiai Kanjeng.

Acara pada malam itu berjalan sangat meriah dan khidmat. Selain Kiai Kanjeng, tampil menghibur para pengunjung, kelompok musik, L-KIS yang mayoritas anggotanya adalah mantan pengguna narkoba. Tiga lagu bertemakan sosial dilantunkan oleh kelompok musik yang cukup dikenal oleh kalangan muda di Jakarta itu.

<>

Seperti biasanya, setiap pagelaran musik yang dihadiri Kiai Kanjeng dan Cak Nun selalu mendapat perhatian banyak orang. Pada malam itu, ribuan massa yang terdiri dari para mahasiswa dan masyarakat umum berduyun-duyun datang ke Kampus UIN yang terletak di wilayah Ciputat itu. Mereka setia mengikuti acara yang dimulai pada pukul 20.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB itu.

Tidak banyak berubah pada diri Cak Nun. Budayawan kelahiran Jombang itu tetap vokal menyoroti masalah kebobrokan sosial dan masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Komentar-komentarnya banyak mengkritik pemerintah yang tidak berdaya mengatasi masalah bangsa, termasuk mengatasi para korban gempa bumi di Yogyakarta, akhir bulan Mei lalu.

Cak Nun yang saat ini tinggal di Yogyakarta menyatakan kurang setuju terhadap pemerintah yang memberikan bantuan berupa uang sebesar 30 juta terhadap penduduk Yogyakarta yang rumahnya rusak parah. Cak Nun tidak setuju, karena pemerintah mengumumkan adanya bantuan itu pada waktu yang tidak tepat.

“Pemerintah malah melakukan kapitalisasi gempa dan musibah. Banyak orang merobohkan rumahnya, karena berharap bantuan 30 juta,“ kata Cak Nun yang pada malam itu didampingi istri tercintanya Novia Kolopaking.

Sebagai orang yang paham kultur orang Yogyakarta, Cak Nun pantas melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap kebijakan pemerintah yang kurang strategis dalam menangani musibah gempa. Menurutnya, pemerintah banyak melakukan kesalahan fatal, karena tidak memahami kehendak dan kemauan orang Yogayakarta. “Yang paling berhak memperbaiki Bantul adalah orang yang paham Bantul, yaitu orang Bantul sendiri,“ ungkapnya.

Dengan diselingi lagu-lagu relegius, Cak Nun juga menyoroti masalah ekonomi, politik dan budaya. Soal ekonomi, Cak Nun banyak bicara masalah penjajahan bangsa asing terhadap Indonesia, meski bangsa ini telah menyatakan kemerdekaannya. Bagi Cak Nun, bangsa Indonesia saat ini sedang dikuasai oleh kapitalisme global yang digawangi Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi problem kemiskinan yang semakin luas.

Karena itu, Cak Nun meminta kepada bangsa Indonesia, terutama para pemimpinnya untuk segera melakukan perombakan untuk membenahi kondisi bangsa. Bangsa Indonesia akan cepat mengalami perubahan, jika para pemimpinnya jujur terhadap rakyatnya. Dikatakannya, selama ini pemimpin di Indonesia tidak ada yang jujur, sehingga berbagai masalah terus berdatangan. “Pemimpin kita tidak ada yang jujur,“ tuturnya.

Soal penjajahan asing, kata Cak Nun, bangsa Indonesia telah melakukan kesalahan dalam memilih lambang kerakyatan dalam Pancasila. Kerakyatan dengan lambang banteng dinilai kurang tepat, karena binatang itu adalah lambang kebodohan. Pernyataan itu bukan berati Cak Nun tidak setuju dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Baginya, Pancasila adalah cita-cita luhur yang harus dilestarikan. “Banteng itu adalah lambang binatang yang bodoh,“ ungkapnya.

Lambang banteng itulah, lanjut Cak Nun, yang membuat bangsa Indonesia menjadi permainan “matador” asing yang selama ini menyetir kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat Indonesia. “Banteng itu selalu menjadi permainan matador. Begitulah bangsa Indonesia,“ katanya. (amh)